ISSN 2477-1686
Vol.4. No.6, Maret 2018
Pentingnya Edukasi Tentang Korupsi Pada Anak: Pendekatan Lintas Ilmu
Oleh
Clara Moningka dan Emma Aliudin
Program Studi Psikologi, Universitas Pembangunan Jaya
Istilah Korupsi
Istilah korupsi cukup akrab di telinga kita. Umumnya korupsi diasosiasikan sebagai perbuatan tidak baik atau berdosa, namun kerap dilakukan. Akar dari korupsi pada dasarnya adalah sikap egois manusia (Modern Didactic Center, Ministry of Education and Science Republic of Lithuania, 2006). Korupsi kerap dilakukan karena kebutuhan pribadi tanpa memperhatikan kesejahteraan publik. Menurut sudut pandang etika, pada dasarnya manusia sudah memiliki pertimbangan moral dalam menjalani kehidupan. Namun dalam mengambil keputusan untuk bertindak, manusia sangat dipengaruhi oleh faktor personal dan lingkungan. Di sinilah pendidikan etika berperan dalam memberikan pertimbangan rasional untuk memberikan panduan bertingkah laku secara tepat dan bertanggung jawab.
Konsep “jahat’, “salah”, “berdosa” sehubungan dengan perilaku tersebut memang sudah ada, namun bagaimana pemahaman terhadap konsep korupsi sendiri? Apakah kita menyadari perilaku apa saja yang termasuk dalam korupsi? Apakah kita sudah mengajarkan anak-anak mengenai pentingnya memperhatikan kesejahteraan umum? Pada dasarnya usia sekolah dasar merupakan usia di mana identitas moral individu berkembang. Identitas moral sendiri berkembang melalui identifikasi individu terhadap lingkungan sosial, di mana lingkungan membentuk persepsi terhadap apa yang dianggap baik dan berharga atau perilaku apa yang seharusnya dilakukan (Lapsley, dalam Moningka dan Rachmawati, 2018; Moningka, 2017).
Pendidikan Anti Korupsi Pada Anak
Moningka dan Rachmawati (2018) dalam penelitian berkaitan dengan pembentukan perilaku korupsi pada anak, mengidentifikasi bahwa konsep korupsi adalah hal buruk yang sudah dialami, namun bentuk korupsi yang diketahui anak usia sekolah (usia 8-11 tahun) masih sangat terbatas yaitu tindakan mengambil uang atau benda milik orang lain. Lebih lanjut, dibutuhkan kolaborasi dari berbagai disiplin ilmu mengenai hal-hal yang perlu dipelajari anak dan bagaimana menyampaikannya secara tepat. Dalam hal ini, ilmu psikologi dibutuhkan dalam pembuatan modul pelatihan, pelaksanaan dan cara penyampaian materi kepada siswa dengan cara mengajar, role play dan permainan-permainan yang mengajarkan nilai-nilai moral seperti kejujuran, bekerjasama, berkomunikasi dan berempati terhadap orang lain, sedangkan ilmu komunikasi akan membantu pemilihan media yang tepat dalam proses pembelajaran. Menurut Chalkley (Dalam Moningka & Rachmawati, 2018) media massa memiliki fungsi pendidikan yang Pertama, yaitu memberitakan fakta kehidupan ekonomi masyarakat. Dengan cara ini, masyarakat, khususnya anak teredukasi untuk mengetahui gambaran kehidupan ekonomi secara umum, memahami bahwa maju atau mundurnya kemajuan ekonomi membutuhkan serangkaian usaha dalam meningkatkan kesejahteraan ekonomi, nukan dengan cara-cara korupsi dan merugikan Negara. Kedua menginterpretasikan fakta itu agar dapat dipahami oleh masyarakat. Media massa juga memiliki fungsi persuasi atau fungsi untuk mempengaruhi opini masyarakat agar terbentuk paradigma atau pandangan-pandangan tertentu terhadap suatu masalah yang terjadi di sekitar mereka. Pemilihan media komunikasi yang tepat akan sangat menentukan efektivitas penyampaian pesan mengenai antikorupsi pada anak, sehingga anak-anak dapat teredukasi agar di masa depannya dapat menjadi pribadi yang jujur, berakhlak dan berintegritas.
Referensi:
Ministry of Education and Science Republic of Lithuania. (2006). Anti-corruption education at school: Methodical material for general and higher education schools. Virnius: Garnelis Publishing
Moningka, C. (2017). Studi pendahuluan: Pendidikan anti korupsi di Sekolah Dasar. Manuskrip dalam proses penerbitan.
Moningka, C., & Rachmawati, E. (2018). Pendidikan anti korupsi di sekolah dasar: Underprivileged school. Manuskrip belum diterbitkan.