ISSN 2477-1686

Vol.4. No.2, Januari 2018

Juara Juga Manusia

Oleh:

Gita Widya Laksmini Soerjoatmodjo, Clara Moningka dan Yulius Fransisco Angkawijaya

Program Studi Psikologi Universitas Pembangunan Jaya

Fenomena Atlet Remaja di Indonesia

Seperti apakah kehidupan remaja pada umumnya? Sementara remaja lazimnya bergaul dengan teman-teman, remaja berprofesi atlet memiliki rutinitas jauh berbeda dibandingkan rekan sebaya. Selama 4 hari seminggu 05.00-19.00 WIB, atlet 12-18 tahun di Persatuan Bulutangkis Jaya Raya menjalani “menu” latihan fisik, bersekolah, lalu latihan teknik menguasai service, lob, dropshot, smash, backhand, drive sampai netting (Putri, 2016). Khusus bulutangkis, cabang olahraga ini efektif dikembangkan di usia 11-12 tahun dan diharapkan atlet mencapai kondisi puncak pada usia 20-25 tahun. 

Atlet yang cemerlang berkesempatan mengharumkan nama Indonesia di tingkat internasional, sedangkan yang tak berprestasi menghadapi resiko degradasi alias dikeluarkan (Moningka, 2017). Hidup sesak kompetisi, pertandingan tanpa henti, latihan di bawah tekanan sampai ancaman kekalahan, berpotensi menimbulkan stres baik secara fisik, sosial, psikologis maupun endemik dari luar kendali (Widiani, 2011). Jangan lupa, mereka tetap remaja biasa dengan tugas perkembangan yang sarat perubahan biologis, kognitif dan sosioemosional dalam proses pencarian jati diri (Santrock, 2012).

Hidup penuh tekanan membuat mereka butuh dukungan. Konseling adalah salah satu bentuk dukungan sosial (social support) dengan adanya orang lain di sekitar mereka yang memberi rasa nyaman, informasi positif yang menenangkan, menaruh perhatian terhadap kesejahteraan, serta percaya mereka mampu (Soerjoatmodjo, Moningka & Angkawijaya, 2017a). Sayangnya sebagian besar belum mampu melakukanya. Hal ini ditangkap Soerjoatmodjo, Moningka dan Angkawijaya (2017b) yang menunjukkan keterampilan mental (mental skills) atlet remaja Persatuan Bulutangkis Jaya Raya berada di tahap cukup.

Berikut adalah keterampilan mental atlet yang berhasil menurut Lesyk (2007):

  1. Keterampilan mental tingkat dasar (basic skills) dalam konteks keseharian: sikap (attitude) yaitu mampu memilih sikap positif terhadap pilihan berkarir sebagai atlet, motivasi (motivation) yakni mampu mengidentifikasi hal-hal yang mendorong dirinya berprestasi, tujuan dan komitmen (goals and commitments) yaitu mampu menetapkan target dan berkomitmen mencapai tujuan), dan menjalin hubungan dengan orang lain (people skills) yakni mampu menempatkan diri dalam konteks sosial dan membangun hubungan dengan sesama dan efektif mengelola konflik.
  2. Keterampilan mental tingkat persiapan (preparatory skills) dalam konteks latihan menjelang pertandingan: kemampuan berbicara dengan diri sendiri (self-talk) yaitu bicara pada diri seolah-olah bercakap dengan sahabat, dan kemampuan imajeri mental (mental imagery) yaitu mampu membayangkan diri berhasil dalam pertandingan.
  3. Keterampilan mental tingkat performa (performance skills) dalam unjuk kemampuan saat bertanding: mengelola kecemasan (dealing with anxiety) yaitu menerima kecemasan sebagai bagian pertandingan dan memahami pengendaliannya, mengelola emosi (dealing with emotion) yaitu mampu menerima dan mengungkap emosi dengan tepat dan memanfaatkannya guna meningkatkan performa; juga berkonsentrasi (concentration) yaitu mempertahankan konsentrasi selama dibutuhkan. 

Salah satu hal hal yang dapat membuktikan keterampilan mental atlet yang berhasil adalah Emas dari Tontowi Ahmad dan Liliyana Natsir di Kejuaraan Dunia Bulutangkis 2017 yang menunjukkan komunikasi yang baik dan pengalaman bertanding membuat mereka mampu bermain tenang dan penuh percaya diri (Soerjoatmodjo, Moningka & Angkawijaya, 2017c). Atlet sukses adalah mereka yang sanggup melepas stres melalui kegiatan fisik, bisa rileks tanpa tergantung pelatih, melakukan aktivitas nyaman dan menenangkan, menguasai teknik dan strategi pertandingan, menyusun strategi mental, dapat mengembangkan kepercayaan tinggi dan memberi makna proporsional atas kekalahan (Putri, 2016). 

Menyitir lirik lagu pop, rocker juga manusia, punya rasa punya hati. Demikian juga halnya dengan para atlet remaja juara bulutangkis dunia, rasa dan hati diasah lewat keterampilan mental. Keterampilan mental berperan penting melahirkan sang juara.

Referensi

Lesyk. C. (2007). The nine mental skills of successful athletes: A holistic model for assessing and teaching mental skills to athletes. Sport Psychologist. Vol. 11. pp. 1-6.

Moningka, C. (2017). Life skills untuk atlet di Indonesia. Buletin Konsorsium Psikologi Ilmiah Nusantara Vol. 3 No. 10 Oktober 2017.

Putri, D. (2016). Gambaran penerapan managing anxiety pada atlet tunggal taruna di klub bulutangkis "XYZ". Skripsi. Universitas Pembangunan Jaya Tangerang Selatan.

Santrock, J.W. (2012). Life span development. New York: McGraw-Hill.

Soerjoatmodjo, G.W.L., Kaihatu, V. Moningka, C. & Angkawijaya, Y.F. (2017a). Prospek kebutuhan layanan psikologis untuk atlet Jaya Raya. Jurnal Widyakala. Vol. 4. No. 1. Maret 2017. hal. 11-20.

Soerjoatmodjo, G.W.L., Moningka, C. & Angkawijaya, Y.F. (2017b). Layanan konseling atlet: Pengabdian masyarakat untuk Persatuan Bulutangkis Jaya Raya. Prosiding Seminar Nasional Aplikasi Sains dan Teknologi (Senastek) Pekan Baru: Universitas Abdurrab.

Soerjoatmodjo, G.W.L., Moningka, C. & Angkawijaya, Y.F. (2017c). Membangun mental juara. Info Bintaro. 29 Agustus.

            [https://www.infobintaro.com/membangun- mental-juara/]

Widiani, H. (2011). Sumber stres dan strategi coping pada pelajar atlet bulutangkis.  Skripsi Fakultas Psikologi Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.