ISSN 2477-1686
Vol. 11 No. 41 September 2025
Bagaimana HRD dapat Mengintip Potensi Karier dan Menyaring Talenta Berkualitas?
Oleh:
Talenta Ruth Ulina Sihite dan Laila Meiliyandrie Indah Wardani
Fakultas Psikologi, Universitas Mercu Buana
Di era digital yang semakin berkembang pesat, media sosial tidak lagi hanya berfungsi sebagai sarana berbagi momen pribadi bersama keluarga atau teman. Platform seperti TikTok, Instagram, dan LinkedIn kini telah bertransformasi menjadi alat strategis yang digunakan baik oleh pencari kerja maupun oleh perekrut. Fenomena ini menunjukkan bahwa proses memperoleh pekerjaan tidak lagi terbatas pada pengiriman curriculum vitae (CV) atau wawancara formal semata, melainkan juga dapat diperoleh melalui kekuatan konten digital dan personal branding yang konsisten. Laporan Digital 2025 yang dirilis oleh We Are Social (2025) mencatat bahwa pada Januari 2025 terdapat sekitar 143 juta akun media sosial aktif di Indonesia. Jumlah ini hampir mencapai setengah dari total populasi Indonesia, yaitu sekitar 285 juta jiwa. Data tersebut menggarisbawahi betapa besar pengaruh media sosial dalam kehidupan sehari-hari, termasuk dalam ranah profesional dan karier.
Setiap unggahan di media sosial baik berupa foto, tulisan, maupun video secara tidak langsung merepresentasikan citra diri seseorang. Oleh karena itu, membangun dan menjaga personal branding menjadi sangat penting agar kesan yang diterima oleh orang lain sesuai dengan identitas yang ingin ditampilkan. Seperti yang dijelaskan oleh Safiaji (2020), personal branding di media sosial dapat memengaruhi bagaimana orang lain membentuk persepsi terhadap individu, termasuk dalam konteks dunia kerja dan peluang karier. Menurut Goffman (1959), setiap individu dalam kehidupan sosial berperan layaknya seorang aktor di atas panggung. Dalam interaksi sehari-hari, manusia secara sadar maupun tidak sadar memainkan peran tertentu dan cenderung menampilkan sisi terbaik dirinya di hadapan orang lain. Konsep ini dikenal dengan istilah self-presentation, yaitu cara seseorang membentuk dan mengelola kesan yang ingin ditampilkan kepada publik.
Pada masa lalu, bentuk presentasi diri ini umumnya terjadi dalam interaksi langsung, seperti saat berbicara dengan teman, guru, atau rekan baru. Namun, perkembangan media sosial telah memperluas ruang pertunjukan tersebut ke ranah digital. Platform seperti Instagram, TikTok, dan LinkedIn kini menjadi ”panggung” baru di mana individu dapat menyusun citra diri secara strategis dan menyampaikan kesan pertama kepada khalayak luas. Sebagai contoh, seorang mahasiswa psikologi yang secara konsisten membagikan konten mengenai teori psikologi, tips belajar, atau pengalaman kuliah, secara tidak langsung sedang membentuk citra dirinya sebagai individu yang kompeten dan antusias di bidang tersebut. Aktivitas ini mencerminkan konsep Goffman (1959) tentang presentasi diri, di mana audiensnya tidak lagi terbatas pada interaksi fisik, melainkan meluas hingga ke pengikut media sosial, rekan akademik, hingga calon perekrut.
Media sosial kini menjadi alat yang efektif dalam membangun karier, termasuk di bidang psikologi. Safiaji (2022) menjelaskan bahwa langkah pertama yang bisa dilakukan adalah membangun personal branding melalui konten yang relevan, seperti pembahasan teori atau isu psikologi. Ini membantu membentuk citra profesional dan menarik perhatian audiens yang sesuai. Langkah selanjutnya adalah memperluas jaringan. Dengan terhubung dengan mahasiswa lain atau profesional lintas bidang, seseorang dapat saling bertukar informasi dan memperluas jangkauan kontennya. Mengikuti tren di media sosial juga penting. Informasi mengenai lowongan kerja, pelatihan, atau webinar sering kali tersebar melalui platform digital. Konten yang mengikuti tren pun cenderung lebih mudah menjangkau banyak orang. Media sosial memiliki potensi besar dalam mendukung pengembangan karier melalui personal branding, penggunaannya dalam proses rekrutmen perlu disikapi secara kritis. Konsistensi dalam membagikan konten yang sesuai dengan bidang yang diminati memang dapat memperkuat citra profesional secara berkelanjutan. Namun demikian, jika perekrut terlalu mengandalkan media sosial sebagai alat penilaian utama, maka potensi bias dalam evaluasi kandidat pun meningkat.
Satya dan Muluk (2024) menyoroti pengaruh Social Endorsement Cues (SECs) seperti jumlah likes, komentar, dan label peringatan dalam membentuk persepsi terhadap kredibilitas suatu informasi di media sosial. Ketergantungan berlebihan pada elemen-elemen tersebut dapat mendorong individu, termasuk perekrut, untuk menilai kualitas konten berdasarkan popularitas semata, bukan atas dasar penalaran kritis. Akibatnya, interpretasi terhadap kepribadian atau kemampuan kandidat dapat menyimpang dari kenyataan, sehingga berisiko memperkuat penyebaran informasi yang tidak akurat dan menimbulkan fragmentasi persepsi publik. Merespons hal tersebut, Berkelaar dan Buzzanell (2014) dalam studinya mengenai praktik cybervetting menekankan perlunya kebijakan seleksi yang lebih objektif dan menyeluruh. Salah satu langkah penting adalah tidak menjadikan informasi dari media sosial sebagai dasar utama dalam mengevaluasi kandidat, sebab personal branding di ranah digital dapat membentuk impresi yang tidak selalu mencerminkan kualitas dan kompetensi yang sesungguhnya. Lebih lanjut, proses penilaian hendaknya difokuskan pada keselarasan nilai, aspirasi, dan motivasi kandidat dengan budaya organisasi. Ini penting agar evaluasi tidak hanya terpaku pada citra daring, tetapi mencerminkan pemahaman terhadap kepribadian dan potensi individu secara lebih autentik.
Integrasi antara informasi media sosial dan metode seleksi tradisional seperti wawancara mendalam, asesmen berbasis kompetensi, serta verifikasi referensi diperlukan untuk mendapatkan gambaran menyeluruh mengenai kandidat. Pendekatan ini tidak hanya meningkatkan akurasi penilaian, tetapi juga memperkuat validitas proses seleksi. Selain itu, perekrut perlu memiliki literasi digital yang memadai untuk memahami potensi manipulasi informasi di media sosial. Kemampuan membedakan antara strategi personal branding dengan jati diri kandidat yang sebenarnya menjadi penting agar tidak terjebak pada kesan semu yang dibangun secara strategis.
Akhirnya, evaluasi secara berkala terhadap praktik cybervetting juga penting dilakukan. Hal ini bertujuan untuk memastikan bahwa pendekatan digital dalam rekrutmen tetap sejalan dengan prinsip keadilan, objektivitas, dan integritas organisasi, sekaligus mendukung pengambilan keputusan yang lebih bijak dan berorientasi pada mutu. Dengan menerapkan langkah-langkah tersebut, proses seleksi karyawan dapat terlindungi dari bias persepsi yang tidak perlu, serta menghasilkan keputusan rekrutmen yang lebih valid, reliabel, dan sesuai dengan kebutuhan organisasi.
Daftar Pustaka
Berkelaar, B. L., & Buzzanell, P. M. (2014). Cybervetting, Person–Environment Fit, and Personnel Selection: Employers’ Surveillance and Sensemaking of Job Applicants’ Online Information. Journal of Applied Communication Research, 42(4), 456–476. https://doi.org/10.1080/00909882.2014.954595
Goffman, E. (1959). The presentation of self in everyday life. Doubleday.
https://psycnet.apa.org/record/1959-15044-000
Satya, M.R., & Muluk, H. (2024). Melihat Pengaruh dari Social Endorsement Cues (SECs) dalam 10 Tahun Terakhir: Systematic Literature Review. G-Couns: Jurnal Bimbingan dan Konseling. https://doi.org/10.31316/gcouns.v9i1.6386
Safiaji, A. (2020, Juli). Media sosial sebagai sarana personal branding. Media sosial sebagai sarana personal branding: Meningkatkan citra diri di era digital. BINUS Malang: Public Relations. Diakses pada 9 April 2025, dari https://binus.ac.id/malang/2020/07/media-sosial-sebagai-sarana-personal-branding/
We Are Social. (2025, Maret 5). Digital 2025: All reports out now. Diakses pada 9 April 2025, dari https://wearesocial.com/id/blog/2025/03/digital-2025-all-reports-out-now
