ISSN 2477-1686
Vol. 11 No. 41 September 2025
Penjelasan dari Hubungan Klasik antara Nilai Religio Toleransi dan Bhinneka Tunggal Ika
Oleh:
Eko A Meinarno
Fakultas Psikologi, Universitas Indonesia
Pendahuluan
Sebuah riset yakni mengukur bhinneka tunggal ika (Meinarno, 2017) dan nilai religio-toleransi (2011; 2017) pada 272 remaja menunjukkan bahwa nilai Nasional religio-toleransi berpengaruh terhadap Bhinneka Tunggal Ika (BTI). Lantas apakah hasil riset ini memiliki dampak bagi kehidupan kita sehari-hari?
Hasil riset itu bertententangan dengan kejadian di lapangan yang menunjukkan gejala etnosentrisme, misalnya hegemoni kebudayaan terhadap resep dan penjualan masakan, pelarangan peribadatan penganut agama minoritas, penghakiman dan penyerangan penganut agama minoritas, dan lain-lain. Di sisi lain perbincangan antara nilai nasional (yang dikenal sebagai Pancasila) terhadap keberagaman masyarakat Indonesia adalah hal yang klasik. Hal ini selalu menjadi tema atau materi pendidikan dari tingkat SMP sampai perguruan tinggi.
Apa yang Mesti Didiskusikan?
Bhinneka Tunggal Ika yang diterjemahkan secara bebas sebagai berbeda-beda, tapi satu jua (Farisi, 2014; Logli, 2015; Nguyen & Richter, 2003; Meuleman, 2006; Pursika, 2009; Suparlan, 2003) merupakan gejala psikologis dari masing-masing kelompok menyadari perbedaannya. Individu yang berbhinneka tunggal ika memiliki persepsi terhadap sikap, perilaku, beliefs (keyakinan) dan perasaan menjadi bagian dari kelompoknya sebagai penanda bahwa dirinya mengakui identitas-identitas kebudayaan. Sebagaimana indibidu dalam masyarakat multiultural lainnya, individu berhinneka tunggal ika juga mempunyai perasaan subyektif individu menjadi bagian dari lebih banyak kelompok kebudayaan (Cheng, Lee, Benet-Martinez, & Huynh, 2014). Berdasar hal ini maka individu akan menghadapi keadaan sekitar yang beragam dan hidup serta menjadi bagian dari keberagaman itu (Deaux & Verkuyten, 2014). Gejala lainnya adalah keinginan untuk bersatu sebagai kolektif atau kelompok yang lebih besar yakni Indonesia.
Dalam memaknai kesatuan dalam konsep Bhinneka Tunggal Ika penekanan ditujukan pada kesamaan yang dimiliki, bukan perbedaan yang diutamakan (Pursika, 2009). Cara membangun ide kesamaan ini sejalan dengan argumentasi Anderson (2001) yang menurutnya hal ideal bagi bangsa adalah kesatuan yang dibangun dari kumpulan kesamaan dari banyak perbedaan. Pendapat Schiefer, Möllering, Daniel, Benish‐Weisman, Boehnke (2010) bahwa nilai dapat dikatakan sebagai bagian mendasar dari identitas individu. Dengan berbasis nilai akan lebih mudah dalam membangun rasa ke-kita-an baru, yang pada akhirnya membentuk identitas nasional Indonesia. Kemudian, faktor psikologis apa yang memengaruhi semangat kebhinnekaan kita?
Nilai menjadi Penting
Nilai juga amat berperan ketika anggota kelompok bergabung dalam kelompok baru, dengan cara memperbaharui nilai yang sebelumnya ada (Hogg & Abrams, 1988). Riset mengenai nilai menjadi penting dalam pembentukan tingkah laku juga menunjukkan gejala konsisten yang positif (Jiga-Boy, Maio, Haddock, & Tapper, 2016; Meinarno, 2021).
Nilai Religio-Toleransi
Para pendiri bangsa mengajukan Pancasila sebagai nilai baru bagi bangsa Indonesia. Nilai utama ini dikenalkan sebagai nilai acuan kelompok besar yakni bangsa Indonesia. Pancasila sebagai himpunan nilai-nilai yang disepakati bersama (Soekarno, 1945), menjadi jembatan dari semua identitas sosial yang ada di masyarakat Indonesia. Hal ini didukung oleh kenyataan bahwa Pancasila adalah modal “pengikat kesatuan” Indonesia (Widjanarko, 2008), sekaligus pengejawantahan pandangan hidup yang muncul dari sari-sari kebudayaan masyarakat yang ada dalam negara Indonesia (Djamily, 1988; Soekarno, 1945/2008; Soetarto, 2006).
Nilai religio-toleransi menerangkan untuk toleransi antarumat beragama. Pemaknaan toleransi tidak dibatasi pada masalah agama. Toleransi juga dapat diberlakukan pada kebiasaan kelompok-kelompok yang berbeda-beda (Ali, 2009; Poespowardojo, 1990; Ramage, 2005). Keadaan ini memungkinkan semua kelompok termasuk individu dari etnis minoritas membangun identitas diri dan kepercayaan diri (Verkuyten, 2014).
Dari pemahaman Pancasila dan kajian psikologis tadi maka nilai religio-toleransi yang dibangun adalah percaya pada Tuhan dan menjalankan perintah-Nya sesuai keyakinan dan tidak memaksakan kepercayaan pada orang lain (Meinarno, 2017; 2021; 2024).
Diskusi dan Penutup
Kembali pada riset Meinarno (2017) yang menghasilkan temuan kontribusi nilai religio-toleransi positif terhadap BTI yang berarti semakin kuat nilai religio-toleransi dimiliki individu maka akan semakin kuat kecenderungan individu untuk menjalankan BTI. Adanya pengaruh nilai nasional pertama terhadap Bhinneka Tunggal Ika terjadi karena kandungan ide nilai nasional pertama adalah ide toleransi. Pada kajian yang dilakukan oleh Verkuyten (2014), dinyatakan bahwa toleransi adalah perwujudan konkrit dari memahami perbedaan antaragama dan antarkebudayaan. Konsep toleransi dan bhinneka tunggal ika menjadi menerima satu sama lain, sehingga ketika diukur maka menghasilkan pola hubungan positif yang signifikan.
Riset yang dikaji saat ini memberi jawaban empirik dan dapat dijelaskan secara lebih baik. Bisa jadi bukan yang terbaik, akan tetapi uji empirik yang dilakukan dan mampu memaknai temuan secara psikologis akan memberi tambahan pemaknaan atas pertanyaan “bagaimana hubungan Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika?”, maka jawabannya bukan “hubungan mereka baik-baik saja”.
Daftar Pustaka:
Ali, AS. (2009). Negara Pancasila: Jalan kemaslahatan berbangsa. Jakarta. LP3ES.
Anderson, B. (1991). Imagined communities: Komunitas-komunitas terbayang. Insist Press. Yogyakarta.
Cheng, C. Y., Lee, F., Benet-Martínez, V., & Huynh, Q. L. (2014). Variations in Multicultural Experience: Influence of Bicultural Identity Integration on Socio- Cognitive Processes and Outcomes. The Oxford handbook of multicultural identity, 276.
Deaux, K., Verkuyten, M. (2014). The social psychology of multiculturalism: Identity and intergroup relations. Dalam The Oxford Handbook of Multicultural Identity. Ed. Veronica Benet-Martinez & Ying-Yi Hong. Oxford University Press. Oxford.
Djamily, HB. (1988). Bung Karno: Ajarannya dan pelaksanaannya. Biro Ikhwan Suryabana. Jakarta.
Farisi, M. I. (2014). "Bhinneka Tunggal Ika"[Unity in Diversity]: From Dynastic Policy to Classroom Practice. Journal of Social Science Education, 13(1), 46-61.
Hogg, MA; Abrams, D. (1988). Social identifications: A social psychology of intergroup relations and group processes. London. Routledge.
Jiga-Boy, G. M., Maio, G. R., Haddock, G., & Tapper, K. (2016). Values and behavior. Handbook of Value, 243-262.
Logli, C. (2015). Bhinneka Tunggal Ika (Unity in Diversity): Nationalism, ethnicity, and religion in Indonesian higher education. PhD diss., University of Hawaii at Manoa.
Meinarno EA. (2017). Peran identitas etnis, identitas agama, dan identitas nasional yang dimediasi nilai nasional terhadap Bhinneka Tunggal Ika. Disertasi strata tiga program doktoral Fakultas Psikologi Universitas Persada Indonesia YAI. Tidak dipublikasikan.
Meinarno, EA. (2021). Pancasila: The Indonesian’s source of behavior. Dalam Empowering Civil Society in the Industrial Revolution 4.0. Penyunting Sukowiyono, Siti Awaliyah, Peter B.R. Carey, Max Lane, Chen Fei. Routledge, Taylor & Francis Group. New York.
Meinarno, EA. (2024). Basis Tingkah Laku Manusia Indonesia: Nilai Nasional Kita. Buletin KPIN. Vol. 10 No. 20 Oktober 2024. Basis Tingkah Laku Manusia Indonesia: Nilai Nasional Kita. https://buletin.k-pin.org/index.php/daftar-artikel/1646-basis-tingkah-laku-manusia-indonesia-nilai-nasional-kita.
Meinarno, EA., Suwartono, C. (2011). The measurement of Pancasila: An effort to make psychological measurement of Pancasila scale. Jurnal Ilmiah Mind Set. 2(2). Juni, 104-110.
Meinarno, E. A., Putri, M. A., & Fairuziana. (2019). Isu-isu kebangsaan dalam ranah psikologi Indonesia. Dalam S. E. Hafiz & E. A. Meinarno (Eds), “Psikologi Indonesia”. Jakarta: Rajawali Pers.
Meuleman, J. (2006). Between unity and diversity: The construction of the Indonesian nation. European Journal of East Asian Studies, 5(1), 45-69.
Nguyen, TD., Richter, FJ. (2003). Introduction. Dalam Indonesia matters: diversity, unity, and stability in fragile times. Times Editions.
Poespowardojo, S. (1990). Pancasila sebagai ideologi ditinjau dari segi pandangan hidup bersama. Dalam Pancasila sebagai Ideologi. Penyunting: Oetojo Oesman dan Alfian. Jakarta. BP7 Pusat.
Pursika, I. N. (2009). Kajian analitik terhadap semboyan ”Bhinneka Tunggal Ika”. Jurnal Pendidikan dan Pengajaran, 42(1 Apr).
Ramage, DE. (1995). Politics in Indonesia: Democracy, Islam and the ideology of tolerance. Routledge. London.
Schiefer, D., Moollering, A., Daniel, E., Weisman, MB., Boehnke, K. Cultural values and outgroup negativity: A cross-cultural analysis of early and late adolescents. European Journal of Social Psychology. 2010, Vol. 40, pp 635-651.
Soekarno. (1945 [2008]). Pancasila dasar negara: Kursus presiden Soekarno tentang Pancasila. TIFA-UGM. Yogyakarta.
Soertarto, E. (2006). Pancasila dan pembaruan agraria. Prosiding Simposium Peringatan Hari Lahir Pancasila: Restorasi Pancasila: Mendamaikan Politik Identitas dan Modernitas. Penyunting: Irfan Nasution dan Ronny Agustinus. FISIP UI. Depok.
Suparlan, P. (2003). Bhinneka Tunggal Ika: Keanekaragaman Sukubangsa atau Kebudayaan? Antropologi Indonesia.
Verkuyten, M. (2014). Identity and cultural diversity: What psychology can teach us. Routledge. London.
Widjanarko, P. (2008). Indonesia: Sebuah bangsa yang tak pernah sudah? Dalam Reinventing Indonesia: Menemukan kembali masa depan bangsa. Penyunting: Komaruddin HIdayat dan Putut Widjanarko. Mizan. Bandung.
