ISSN 2477-1686

Vol.3. No.7, Juli 2017

Ada Apa dengan Belanja (Shopping)? 

Devi Jatmika

Fakultas Psikologi, Universitas Bunda Mulia

Semakin banyak libur semakin banyak berbelanja. Ya, belanja adalah suatu gaya hidup bagaimana masyarakat kota terutama menghabiskan waktu senggang mereka dan bersenang-senang dengan keluarga maupun teman-teman. Ada gurauan yang berkata bahwa perempuan tidak pernah merencanakan apa yang ingin dibeli namun ketika melihat suatu benda yang menarik alasan atau motif membeli menjadi muncul. Perempuan selalu identik dengan kemampuannya berbelanja. Benarkah itu?

Sudut pandang Biopsikologi

Beberapa orang menyatakan pergi berbelanja untuk menghilangan stres rasa bosan. Ketika berbelanja, otak kita merespon terhadap lingkungan sekitar. Secara ilmiah, berbelanja membuat otak menghasilkan neurostransmitter yang berperan dengan rasa senang, “high”, bersemangat, yaitu dopamine. Dopamine juga berperan dalam perilaku adiktif. Sebuah studi yang dilakukan di Universitas Kentucky (1995) pada tikus-tikus untuk bereksplorasi pada kompartemen-kompartemen di dalam kandangnya menemukan bahwa ketika seekor tikus bereksplorasi di tempat yang baru, dopamine naik menuju otak bagian rewards (penguatan). Begitu pula dalam berbelanja, studi ini memberikan penjelasan bahwa ketika berbelanja di tempat atau toko yang baru dopamine bereaksi. Studi mengenai adiksi berbelanja di Universitas Indiana (dalam Pope, 2005) menyatakan bahwa seseorang lebih banyak membeli dan mengeluarkan uang ketika berada di tempat atau toko di luar komunitasnya. Tidak heran ketika berada di sebuah mall baru atau kota yang belum pernah anda kunjungi, pengeluaran juga semakin banyak karena belanja.

Windows shopping, mengejar diskon (midnight sale) atau berbelanja yang sudah direncanakan? Aktivitas dopamine terkait dengan windows shopping dan mengejar diskon. Windows shopping dan mengejar diskon memberikan kesenangan yang lebih ketimbang berbelanja yang sudah direncanakan. Aktivitas dopamine juga meningkat dalam suasana belanja dan membuat kita mengambil keputusan yang salah. Ketika seseorang berjalan-jalan melihat sebuah sepatu yang tidak pernah dipakainya kemudian akhirnya ia beli, namun mungkin saja sesudah membeli muncul pertimbangan-pertimbangan penyesalan karena keputusan yang salah (dalam Pope, 2005).

Motivasi Berbelanja: Hedonic Shopping Motivation

Berbelanja tidak terlepas dari motif-motif yang mendasari.  Menurut Jin dan Kim (2003) motivasi berbelanja adalah dorongan perilaku yang membuat konsumen memuaskan kebutuhan internalnya (Nguyen, Nguyen & Barret, 2006). Berbicara mengenai konsep hedonik seringkali menimbulkan persepsi negatif, karena kata hedonism yaitu pencarian rasa senang dalam hidup. Namun dalam psikologi konsumen, pada dasarnya ini hanyalah istilah untuk menggambarkan hedonic shopping. Hedonic shopping berhubungan dengan senang dan nikmat yang diperoleh dari pengalaman berbelanja dan menghasilkan perasaan gembira (Babin, dkk dalam Lee, Kim & Lee, 2013). Hedonic shopping motivation merupakan motivasi yang cocok menggambarkan para pembelanja karena bersifat intrinsik. Menurut Engel, Blackwell dan Minard (dalam Jatmika, 2017) hedonic shopping motivation adalah motivasi yang berlandaskan respon emosi, kenikmatan sensori, mimpi-mimpi dan pertimbangan estetika.   Dimensi-dimensi hedonic shopping motivation, terbagi menjadi enam dimensi, yaitu (Arnold & Reynolds dalam Lee,Kim, & Lee, 2013; Furnman, 2015):

1.    Adventure shopping: motivasi berbelanja untuk stimulasi, petualangan, dan perasaan berada di dunia lain. Sehingga berbelanja menjadi solusi yang tepat bagi orang-orang yang mencari petualangan dalam dunia yang berbeda dengan visual, bau dan suara yang menarik.

2.    Gratification shopping: menekankan pada keinginan para pembelanja untuk meningkatkan keadaan suasana hati mereka dengan menggunakan uang dan membeli sesuatu yang bagus. Berbelanja untuk menciptakan perasaan positif, merasa lebih baik atau memberikan perlakuan spesial kepada diri sendiri. Motivasi ini menjadikan shopping bagian dari terapi untuk menghilangkan sres.

3.    Social shopping: motivasi belanja yang berhubungan dengan kesenangan berbelanja atau menghabiskan waktu dengan teman-teman dan keluarga. Tempat-tempat makan dan minuman yang merambah di berbagai tempat, mall menjadi tempat tujuan untuk menghabiskan waktu. Pertemuan setiap minggu dengan teman di mall atau café menjadi contoh social shopping.

4.    Idea shopping: motivasi belanja yang berhubungan dengan belajar mengenai dan mengikuti tren-tren, produk dan mode terbaru.

5.    Role shopping: kesenangan ekstrinsik dan instrinsik yang dirasakan oleh pembelanja ketika menemukan benda-benda yang sempurna untuk orang lain.

6.    Value shopping: belanja untuk tawar menawar, mencari produk-produk dengan potongan harga dan menemukan diskon atau harga rendah.

Gender dan Shoppings

Wanita menghabiskan banyak waktu untuk berbelaja daripada pria. Hal ini dikarenakan wanita lebih memperhatikan, menyelidiki dan sabar dalam belanja sedangkan pria lebih cepat, sedikit melihat dan tidak terlalu banyak bertanya-tanya. Pria akan membeli barang yang memang ia inginkan dan tidak banyak terdistraksi oleh beragam produk-produk pria lainnya. Ketika sudah mendapatkan barang yang diinginkan, pria akan berpikir belanja sudah selesai. Berbeda dengan pria, wanita akan dengan senang hati berkeliling-liling melihat berbagai macam produk, melakukan survey ke satu toko ke toko lainnya untuk mendapatkan penawaran terbaik untuk sebuah barang yang ia inginkan, mereka akan berkonsultasi dan berbicara. Wanita akan berbelanja lebih lama jika ditemani oleh teman wanita sedangkan akan lebih cepat jika ditemani oleh teman pria (Frunman, 2015). Menurut Pucinelli seorang ahli dalam psikologi konsumen (dalam Canton, 2013), wanita memproses informasi lebih mendalam ketika berbelanja ketimbang pria dan mereka lebih dapat mengingat kembali dengan tepat mengenai harga yang terdapat dalam iklan.

Peran Budaya

Budaya merupakan salah satu faktor yang paling mempengaruhi motif, sikap, intensi dan pembelian (Jarvepaa & Tracinsky dalam Ozen & Kodaz, 2012). Sehingga anggota dari budaya yang berbeda mempengaruhi motivasi berbelanja yang dilakukan oleh anggota budaya tersebut. Dari sudut pandang budaya, berbelanja memiliki makna simbolis, asosiasi emosi, dan kognitif. Makna ini berbeda dari satu budaya dengan budaya lainnya (Kaul dalam Jatmika, 2017). Budaya individualis vs kolektif adalah “sindrom budaya” yang merupakan refleksi dari sikap, keyakinan, kategorisasi, peran dan nilai-nilai yang dibagikan dan dtemukan pada individu-individu yang berbicara bahasa tertentu dan tinggal di daerah geografis tertentu, selama periode sejarah tertentu pula (Triandis, dkk dalam Cozma, 2011). 

Hofstede (2011) menjelaskan perbedaan dari budaya individualis vs kolektif. Individu dalam budaya kolektif memperhatikan kesejahteraan dari in-group, meletakkan tujuan dari kelompok dahulu diatas tujuan pribadi dan perilaku mereka diatur oleh norma sosial daripada sikap pribadi. Individu sejak lahir bergabung dalam kohesivitas kelompok yang kuat dan keluarga besar. Sedangkan, individu dalam budaya individualis lebih fokus pada tujuan personal dibandingkan kelompok dan berperilaku sesuai dengan sikap mereka daripada norma dalam masyarakat.

Menurut Hofstede (2011), Indonesia merupakan negara kolektif. Sebagai negara kolektif, Indonesia menekankan hubungan jangka panjang dengan anggota-anggota di dalam kelompok. Sebuah penelitian yang dilakukan oleh Jatmika (2017) kepada kelompok umur 17-40 tahun di Jakarta, diperoleh hasil kecenderungan budaya kolektif pada masyarakat kota Jakarta dan berkorelasi signifikan dengan role shopping, value shopping dan social shopping. Penelitian sebelumnya dilakukan oleh Evanschitzky, dkk (2014) kepada empat negara USA, Jerman (negara dengan budaya Individualis) dan Oman, India (negara dengan budaya kolektif) diperoleh hasil budaya kolektif berkorelasi dengan value shopping, role shopping dan adventure shopping sedangkan budaya individualis berkorelasi signifikan dengan gratification shopping. Hal ini terkait dengan karakteristik budaya kolektif yaitu orientasi untuk orang lain atau sekitarnya ketimbang diri sendiri.

Keberagaman masyarakat Indonesia dan budaya kebersamaan yang kental mewarnai kehidupan masyarakat Indonesia. Acara berkumpul rutin dengan teman dan keluarga seringkali dijumpai entah dalam bentuk arisan keluarga, urusan meeting, hang out dengan teman di mall, perayaan-perayaan hari raya dari setiap suku dan agama yang berbeda mendukung motivasi berbelanja. Hari-hari raya mengandung emosi rasa senang, berbagi dan berkumpul. Hal ini pula menjadi strategi pusat perbelanjaan agar selalu dipenuhi orang dan diskon-diskon selalu ada untuk menyambut hari-hari raya.

Referensi:

Canton, N. (2013). The psychology of shoping. Diunduh dari http://www.oxfordtoday.ox.ac.uk/features/psychology-shopping.

Cozma, I. (2011). How are individualism and collectivism measured?. Romanian Journal of Applied Psychology, 13(1), 11-17.

Evanschitzjy, H., Emrich, O., Sangtani, V. Ackfeldt, A-L., Reynolds, K. E & Arnold, M. J. (2014). Hedonic shopping motivations in collectivistic and individualistic consumer cultures. Intern. J. of Researach in Marketing, 31, 335-338.

Furnham, A. (2015). The joy od shopping. Diunduh dari https://www.psychologytoday.com/blog/sideways-view/201511/the-joy-shopping.

Hofstede, G. (2011). Dimensionalizing Cultures: The Hofstede Model in Context. Online Readings in Psychology and Culture, 2(1) at http://dx.doi.org/10.9707/2307-0919.1014.

Jatmika, D. (2017). Hubungan budaya individualis-kolektif dan motivasi berbelanja hedonic pada masyarakat kota Jakarta. Jurnal PSibernetika, 10(1), 9-19. Diunduh dari  http://journal.ubm.ac.id/index.php/psibernetika/article/view/544/506.

Lee, M. Y., Kim, Y. K., Lee, H. J. (2013). Adventure versus gratification: Emotional shopping in online auctions. European Journal of Marketing, 47(2), 49-70.

Ozen, H., & Kodaz, N. (2012). Utilitarian or hedonic? A cross cultural study in online shopping. Organizations and Markets in Emerging Economies, 3(2), 80-90.

Pope, T. P. (2005). This is your brain at the mall: Why shopping makes you feel so good. Diunduh dari https://www.psychologytoday.com/blog/sideways-view/201511/the-joy-shopping