ISSN 2477-1686
Vol.2. No.23, Desember 2016
Fenomena 212: Crowd atau Community?
Oleh
Subhan El Hafiz
Fakultas Psikologi, UHAMKA
Jumat, 2 Desember 2016 yang lalu terjadi fenomena psikologi sosial yang luar biasa dimana jutaan massa berkumpul di satu lokasi di pusat kota Jakarta, Monas. Area ini tidak lagi dapat menampung jutaan orang yang datang hingga massa memenuhi sepanjang jalan Medan Merdeka Barat, Timur, dan Selatan hingga Bundaran HI. Kemudian, sesungguhnya masih ribuan lagi masyarakat yang akan hadir di area ini namun mereka masih berusaha mendatangi sekitar monas hingga waktu Shalat Jumat tiba. Akibatnya, beberapa mesjid yang berada dalam radius hingga 5 kilometer dari monas ikut penuh oleh massa yang awalnya berniat datang ke Monas.Lalu bagaimana fenomena ini dimaknai oleh ilmuan psikologi sosial?
Crowd/ Kerumunan
Salah satu konsep yang bisa digunakan untuk menjelaskan aksi tersebut adalah crowd. Dalam psikologi sosial crowd menunjukkan sekelompok orang yang berkumpul dalam lokasi yang sama dalam satu waktu, namun berbeda dengan kelompok (group), dalam crowd interaksi antar individu sangat minim. Ada lima tokoh utama yang berperan dalam menjelaskan tentang perilaku crowd, yaitu Le Bon, McDouglass, Freud, Turner, dan Allport (lihat Mondal). Namun kita akan lihat apakah kelima teori tersebut sesuai dengan fenomena 212. Le Bon menjelaskan bahwa fenomena crowd terjadi karena individu didalamnya cenderung menjadi anonim sehingga menurunkan rasa tanggung jawab individu. Oleh karena itu Le Bon mengkategorikan crowd sebagai sebuah fenomena berbahaya yang cenderung destruktif. Namun hal ini jelas tidak sesuai dengan aksi 212. Aksi 212 justru menunjukkan tingginya tanggung jawab individu didalam kerumunan massa itu. Hal ini juga disampaikan oleh Kapolri bahwa dalam aksi tersebut tidak ada satupun pohon yang rusak. Selain itu fakta bahwa setelah selesai aksi, lokasi silang monas, medan merdeka, hingga bunderan HI tetap bersih tanpa harus menurunkan pasukan orange, yaitu tim kebersihan pemprov. Hal ini menunjukkan bahwa aksi 212 tidak sesuai dengan konsep crowd dari Le Bon karena para peserta sangat bertanggungjawab.
Konsep crowd berikutnya adalah konsep yang ditawarkan oleh McDouglas. Menurut McDouglas, dalam crowd aspek emosi akan meningkat yang menyebabkan penurunan fungsi intelektual. Penurunan ini diantaranya kehilangan sikap kritis dan terjebak dalam emosi saat itu. Sama halnya dengan Le Bon, McDouglas melihat crowd sebagai fenomena yang berbahaya. Namun faktanya, hal ini juga tidak terbukti pada aksi 212. Pada aksi tersebut, emosi dari peserta aksi memang sangat meluap-luap. Hal ini dapat dilihat dari pekik takbir yang terus membahana dan lelehan air mata saat berdoa selain rasa senang untuk berkumpul bersama. Namun hal ini tidak menyebabkan mereka kehilangan fungsi kognisinya. Bayangkan saja, Presiden dan Wakil Presiden ada ditengah peserta aksi sehingga sangat mudah bagi pimpinan aksi untuk melakukan kudeta. Namun hal itu tidak terjadi, jutaan massa tersebut tidak ada yang melakukan tindakan emosional destruktif terhadap simbol tertinggi dalam negara walaupun sebelumnya banyak beredar informasi bahwa Presiden sebagai orang yang ikut bertanggungjawab terhadap kondisi Indonesia saat ini terkait kasus penistaan agama.
Teori berikutnya diajukan oleh Freud yang menyampaikan bahwa dalam crowd superego tidak perlu difungsikan dan dorongan id dapat dengan mudah disalurkan. Sehingga seseorang tidak lagi menjadi seperti dirinya yang biasa dimana banyak perilaku yang umumnya ditahan pada situasi 'normal', muncul dalam crowd. Namun hal ini juga tidak terjadi saat aksi 212. Aksi 212 memunculkan perilaku tertib, bersih, teratur. Selain itu juga banyak perilaku yang justru berasal dari ego ideal seorang muslim, diantaranya shalat berjamaah, takbir, dan shalawat. Sebagaimana kita pahami, menurut Freud ego ideal merupakan salah satu sub-sistem superego. Artinya, berbagai kegiatan dalam aksi 212 tidak dapat dianggap sebagai dorongan id yang cenderung mencari kesenangan semata (pleasure principle).
Konsep berikutnya disampaikan oleh Turner yaitu emergent norm theory. Berdasarkan konsep Turner dalam crowd yang paling merusak sekalipun tetap akan ada norma yang muncul dan mengatur sekumpulan orang tersebut. Namun yang agaknya kurang sesuai dengan aksi 212 adalah norma yang ada tidak muncul secara situasional pada saat aksi sebagaimana penjelasan Turner. Norma ketertiban, kebersihan, tolong menolong sudah disampaikan secara viral kepada masyarakat yang hendak ikut dalam aksi beberapa hari sebelum 2 Desember. Bahkan jika melihat kepada nilai Islam, norma itu bukanlah norma yang muncul begitu saja dari peserta aksi namun norma yang sudah dikampanyekan lebih dari 1400 tahun silam oleh nabi Muhammad SAW. Terakhir adalah konsep crowd yang diajukan oleh Allport bahwa crowd terjadi karena individu "terpancing" oleh perilaku orang lain. Individu-individu yang secara mental sudah sama (membela Islam) kemudian terkuatkan dengan informasi bahwa orang lain akan hadir dan ikut dalam aksi.
Konsep Allport ini mungkin sangat sesuai untuk menjelaskan pengaruh besar dari para peserta aksi dari Ciamis yang berjalan kaki hingga ratusan kilometer ke Jakarta. Informasi dari Ciamis menjadi viral dan menularkan semangat untuk hadir dari calon peserta lain untuk datang ke Monas pada aksi 212. Tentu saja yang terpengaruh adalah individu yang secara mental sudah mendukung aksi bela Islam. Satu hal yang mungkin perlu di konfirmasi pada para peserta aksi adalah, "apakah kehadiran mereka di Monas dan sekitarnya karena terdorong informasi dari peserta aksi dari Ciamis?" karena banyak peserta yang juga menyampaikan bahwa kehadirannya lebih didorong kesadaran diri dan cinta agama daripada sekedar "terpancing" peserta lain. Untuk membuktikan hal ini, apakah teori Allport bisa digunakan untuk menjelaskan aksi 212 maka perlu dilakukan studi dan penyusunan kuesioner yang tepat sehingga terhindar dari kemungkinan faking good.
Community/ Komunitas
Jika kita melihat aksi 212 tidak sebatas pada hari Jumat semata, maka rangkaian aksi tersebut bisa dikategorikan sebagai kegiatan dari sebuah komunitas. Salah satu indikasi yang dapat dilihat untuk menentukan apakah aksi tersebut adalah aksi komunitas, kita bisa melihat sense of community dari individu yang terlibat. McMillan dan Chavis (lihat wikipedia) menyampaikan 4 elemen dari perasaan sebagai anggota komunitas (sense of community), yaitu: keanggotaan, pengaruh, integrasi dan pemenuhan kebutuhan, serta berbagi hubungan emosional. Sedangkan untuk keanggotaan terdapat lima atribut, yaitu: batasan, rasa aman (emotional safety), rasa memiliki dan identifikasi, investasi pribadi, dan kesamaan simbol.
Jika kita analisa aksi 212 dari aspek keanggotaan, maka komunitas ini merupakan komunitas Islam Indonesia karena aksi 212 tidak hanya terjadi di Jakarta. Namun karena tidak semua umat Islam Indonesia setuju dengan aksi ini maka komunitasnya pun menjadi semakin spesifik, kurang lebih menjadi komunitas Islam yang menuntut keadilan pada kasus penistaan agama. Siapakah yang kemudian menjadi anggota dalam komunitas ini? Jika dilihat dari batasannya maka anggota komunitasnya adalah umat Islam Indonesia yang menuntut keadilan pada kasus penistaan agama. Jika dilihat dari rasa aman, maka siapapun yang merasa aman dengan aksi ini (walaupun tidak ikut hadir dalam aksi), tidak khawatir menjadi korban atau menderita kerugian dari aksi ini, merasa tenang ditengah peserta aksi, dsb. merupakan anggota dari komunitas.
Selain itu, anggota komunitas ini juga orang yang tidak ikut aksi namun merasa memiliki terhadap aksi atau mendukung aksi serta mengidentifikasikan dirinya bagian dari komunitas aksi. Dengan demikian, anggota komunitas ini juga termasuk orang-orang yang sulit datang ke Jakarta, orang yang memiliki aktifitas lain yang tidak bisa ditinggalkan, orangtua atau orang yang sakit sehingga tidak dapat ikut dalam aksi namun mengidentifikasikan dirinya sebagai bagian dari peserta aksi dan mendukung aksi. Anggota komunitas juga terdiri dari orang-orang yang memberikan investasi pribadinya untuk komunitas. Diantara yang muncul pada aksi 212 adalah memberikan waktu untuk ikut aksi, memberikan tenaga terutama peserta Ciamis yang rela berjalan kaki, memberikan dana dan materi baik dalam bentuk penyediaan makanan gratis, ongkos gratis, kendaraan gratis, sendal jepit, sajadah, hingga kesediaan menyebarkan informasi positif tentang aksi dan banyak lagi investasi pribadi yang diberikan pada komunitas ini. Dengan demikian, anggota komunitas ini juga terdiri dari ibu-ibu yang sibuk di dapur menyiapkan logistik namum tidak ikut hadir dalam aksi.
Terakhir, anggota komunitas ini juga mengakui kesamaan simbol. Tentu saja simbol yang utama adalah Islam dan kasus penistaan agama. Dengan demikian, anggota komunitas akan menjadi sangat besar jumlahnya. Peserta aksi 212 yang berkumpul disekitar Monas hanya sebagian diantaranya.Elemen pengaruh dari sense of community juga terlihat dalam komunitas ini. Aksi jalan kaki peserta Ciamis sangat mempengaruhi semangat calon peserta lainnya. Postingan berita menjelang 212 hingga postingan berita dan foto-foto pasca 212 menunjukkan bahwa pengaruh tidak hanya dimiliki oleh perencana aksi dan pimpinan aksi namun pengaruh ini juga dimiliki oleh seluruh komunitas pendukung aksi.
Elemen integrasi dan pemenuhan kebutuhan juga sangat terlihat dimana peserta membantu peserta lainnya, baik pengadaan logistik, air untuk minum dan air untuk wudhu. Semua terlihat sangat teratur dan terintegrasi untuk saling memenuhi kebutuhan. Begitu juga bantuan selama perjalanan bagi anggota komunitas yang hendak ke lokasi oleh anggota komunitas yang berada di area yang dilewati peserta aksi. Baik bantuan makanan, sendal, hingga penginapan. Elemen terakhir, yaitu berbagi emosi juga terlihat nyata dalam komunitas ini. Rasa bangga menyebar kepada setiap orang yang merasa bagian dari komunitas karena aksi berjalan tertib dan lancar. Rasa khawatir juga menyebar pada tiap orang yang merasa bagian dari komunitas menjelang aksi, yaitu kekhawatiran aksi akan disusupi. Begitu juga rasa haru yang menyebar pada saat doa-doa dipanjatkan. Tidak ketinggalan, emosi marah dan kecewa yang menyebar pada anggota komunitas kepada pihak yang terus meremehkan aksi 212.
Aksi 212 Adalah Aktivitas Komunitas
Aksi 212 adalah fenomena Psikologi Sosial yang luar biasa. Fenomena ini hanya akan dilihat sebagai kerumunan (crowd) manakala fenomena dilihat hanya pada tanggal 2 Desember semata. Akibatnya banyak komentar dan kebijakan yang cenderung tidak sesuai menjelang aksi 212.
Jika melihat 212 sebagai rangkaian kegiatan, maka sangat jelas bahwa aktivitas tersebut adalah aktivitas komunitas. Bahkan bisa dinilai sebagai komunitas yang sangat solid karena besarnya pengaruh masing-masing anggota terhadap keseluruhan komunitas. Pengaruh dan investasi pribadi yang tidak dimonopoli oleh penggagas aksi atau pemimpin aksi menunjukkan kekuatan dari komunitas tersebut.
Dengan demikian 212 dapat dinilai sebagai kegiatan dari sebuah komunitas yang terorganisir dengan sangat baik dan bukan kerumunan massa (crowd) yang muncul tiba-tiba tanpa tujuan yang jelas.
Referensi:
Mondal, Puja. 5 Most Important Theories Regarding Crowd Behaviour. Diakses dari http://www.yourarticlelibrary.com/sociology/collective-behavior/5-most-important-theories-regarding-crowd-behaviour/31283/ (3 Desember 2016).
Wikipedia. Sense of Community. Diakses dari https://en.m.wikipedia.org/wiki/Sense_of_community