ISSN 2477-1686
Vol. 8 No. 24 Desember 2022
“Lebih Besar Pasak Daripada Tiang”
Meninjau Pengeluaran Berlebihan Pada Dewasa Muda
Oleh:
Jessica Ariela
Fakultas Psikologi, Universitas Pelita Harapan
Dalam beberapa bulan terakhir, penulis menemui beberapa individu dewasa muda yang memiliki masalah yang sama, yakni masalah finansial. Herannya, walaupun didera masalah finansial, pengeluaran individu-individu ini tidak berkurang, bahkan cenderung boros. Mbak M, 32 tahun, merupakan seorang asisten rumah tangga dengan satu orang anak. Belum ada satu bulan bekerja, Mbak M sudah meminta pinjaman pada atasannya, dikarenakan ia perlu membayar cicilan bank, yang dipakai untuk membangun rumah. Bulan berikutnya, ia mengajukan pinjaman kembali untuk penguburan ibu mertua yang meninggal. Bulan berikutnya kembali ia meminjam untuk membayar cicilan motor. Namun, sehari-hari pengeluarannya terbilang cukup royal. Mbak M suka sekali memesan makanan menggunakan ojek online. Selain itu, pengeluaran untuk membeli paket data Internet-nya mencapai Rp. 100,000,- per minggu. Namun, berkali-kali juga ia harus mencari pinjaman untuk menutup utang maupun kebutuhan lainnya. Mbak M juga menyatakan ini sudah kebiasaannya untuk “gali lubang tutup lubang” – berhutang kembali untuk melunasi utang sebelumnya.
Individu lainnya, Ibu L, 33 tahun, seorang ibu rumah tangga dengan tiga orang anak, yang bekerja dari rumah secara paruh waktu. Ia beberapa kali curhat tentang keluarganya yang sulit secara finansial dikarenakan suaminya sedang studi lanjut dan tidak bekerja. Ia memilih untuk homeschooling anaknya dikarenakan ia merasa membayar uang sekolah itu mahal. Bahkan, ia juga memilih untuk memberikan imunisasi di Posyandu yang gratis daripada vaksin lengkap sesuai anjuran dokter anak di rumah sakit untuk anak-anaknya yang masih batita, dengan alasan vaksin Posyandu gratis dan biaya ke dokter anak mahal. Namun, hampir setiap hari Ibu L bekerja dari café dengan alasan ia tidak betah bekerja dari rumah. Saat ia bertemu dengan teman-temannya, ia juga sangat murah hati dan sering menawarkan untuk mentraktir teman-temannya.
Fenomena ini tidak hanya terjadi di rumah tangga, tetapi juga pada dewasa muda yang bekerja di area Sudirman Central Business District (SCBD) Jakarta Selatan. Dilansir dari riset yang dilakukan iPrice (Asih, 2022), gaya hidup karyawan entry-level di SCBD Jakarta bisa masuk dalam kategori hemat, menengah, maupun mewah, yang berkisar antara Rp. 3,57 juta hingga Rp. 12 juta. Sebagai gambaran, pendapatan posisi entry-level di Jakarta berkisar antara Rp. 4,78 juta hingga Rp. 8,6 juta dengan UMP Jakarta tahun 2022 sebesar Rp. 4,64 juta. Dengan gambaran seperti ini, individu bergaji tinggi pada entry-level pun sebenarnya belum bisa menikmati gaya hidup mewah, apalagi menyisihkan pendapatannya untuk menabung. Jikapun ia memiliki gaya hidup menengah, ia mungkin hanya bisa menyisihkan 30% dari pendapatannya untuk tabungan. Namun, realitanya tidak sedikit pekerja di SCBD yang memiliki gaya hidup konsumtif dan mewah melebihi pendapatannya, bahkan terjerat dalam utang konsumtif (Santosa, 2021).
Alasan di Balik Gaya Hidup Konsumtif
“Lebih besar pasak daripada tiang” merupakan peribahasa yang tepat menggambarkan fenomena di atas. Pengeluaran yang digelontorkan demi gaya hidup mewah dan nyaman jauh melebihi pendapatan individu, pada akhirnya membuat individu maupun keluarga tanggungannya hidup sulit. Berikut ini beberapa penyebab mengapa gaya hidup konsumtif ini terjadi dan bertahan pada individu dewasa muda.
1. Mendapatkan approval dari orang lain
Tidak dapat dipungkiri bahwa mendapatkan penerimaan atau approval merupakan salah satu kebutuhan mendasar dari manusia. Lewat penerimaan, seseorang merasa belong di dalam suatu komunitas ataupun kelompok. Menurut William Glasser (dalam Corey, 2013), love and belongingness merupakan salah satu dari lima kebutuhan mendasar dari setiap individu.
2. Konformitas dengan kelompok
Seringkali keinginan untuk belong membuat seseorang berusaha untuk menjadi serupa dengan kelompok tersebut, yang dikenal juga sebagai konformitas (Myers, 2010). Seseorang akan merasa aman jika ia makin serupa dengan anggota kelompok lainnya. Jika kelompok di mana ia berada cenderung berpenampilan tertentu maka seorang individu akan mencoba untuk mengikutinya agar ia merasa diterima di dalam kelompok tersebut.
3. Menjembatani ideal self dan real self
Konsep diri dapat dimengerti sebagai jawaban atas pertanyaan “siapa saya?” (Myers, 2010). Konsep diri merupakan gambaran seseorang akan dirinya, di mana bisa bermuatan positif maupun negatif. Sangat mungkin seseorang ingin memenuhi gambaran diri ideal yang ia miliki dan cita-citakan (ideal self) akan gaya hidup fantastis walaupun kondisinya saat ini tidak sesuai dengan realita diri (real self). Gap antara ideal self dan real self ini yang mendorong individu untuk akhirnya berusaha menjembatani dengan menggelontorkan uang demi menunjang gaya hidup fantastis tersebut.
Dengan memahami alasan di balik gaya hidup konsumtif ini, individu dapat mulai mengevaluasi apakah gaya hidupnya termasuk dalam gaya hidup konsumtif, dan apa alasan di baliknya. Hal pertama yang dapat dilakukan adalah mengevaluasi kembali apa yang menjadi prioritas hidupnya, apa yang dianggap penting. Kedua, individu dapat mencari komunitas di mana penerimaan bukan bergantung pada materi atau gaya hidup yang fantastis tersebut. Di samping itu, individu pun dapat berefleksi, apa yang menjadi gambaran diri ideal yang ia cita-citakan, dan bagaimana kondisinya saat ini. Dengan pemahaman akan diri tersebut, individu akan lebih mudah dalam menerapkan gaya hidup yang lebih realistis dan tetap dapat memenuhi kebutuhan fisiologis maupun psikologisnya dengan cara yang lebih efektif.
Referensi:
Asih, R. A. (2022). Riset Biaya Hidup di Jakarta untuk Pekerja Entry-Level, Minimal Butuh Rp12 Juta? Bisnis.com. https://kabar24.bisnis.com/read/20220725/79/1558919/riset-biaya-hidup-di-jakarta-untuk-pekerja-entry-level-minimal-butuh-rp12-juta.
Corey, G. (2013). Theory and practice of counseling and psychotherapy, Ninth Edition. Belmont, CA: Brooks/Cole Cengage Learning.
Myers, D. G. (2010). Social psychology, Tenth Edition. New York, NY: McGraw-Hill.
Santosa, A. A. (2021, 19 November). Bikin Miris! Ini Kenyataan Gaya Hidup Mbak-Mbak SCBD. Finansialku.com. https://www.finansialku.com/bikin-miris-ini-kenyataan-gaya-hidup-mbak-mbak-scbd/