ISSN 2477-1686
Vol. 8 No. 22 November 2022
Gotong-Royong Sebagai Wujud Dari Empati
Oleh
Puji Lestari Suharso & Eko A. Meinarno
Fakultas Psikologi, Universitas Indonesia
Maraknya kasus perundungan di sekolah pada siswa yang tidak mendapatkan bantuan dari siswa lain, menimbulkan pertanyaan, apa yang terjadi pada siswa atau anak-anak kita? Sebenarnya siswa lain tahu akan masalah ini, namun keinginan menolong tidak terjadi karena mereka tidak ingin mendapat perlakukan dirundung. Di sisi lain ada pula siswa yang tidak peduli dengan adanya perundungan ini karena peristiwa semacam ini sudah sering terjadi. Jika hal ini dibiarkan dan tidak ada siswa yang membantu, akan membuat siswa yang dirundung merasa terabaikan, dan ini dapat membuat siswa semakin merasa terkucil dan akhirnya berdampak pada perkembangan psikologisnya. Jika mengacu pada hasil penelitian Rahmawati, pengasuhan orang tua memiliki kaitan erat dengan tingkah laku perundungan (Markam & Rahmawati, 2018).
Perundungan tidak berhenti pada siswa, tapi berlanjut pada orang tua siswa. Anak-anak secara alami diasuh oleh orang tua di rumah. Keluarga tempat awal anak menerima diri dan keberadaan orang lain. Dengan demikian orang tua memegang posisi penting untuk menumbuhkembangkan watak atau karakter anak.
Dimulai dari Empati
Individu yang peduli menunjukkan bahwa ia mampu merasakan dan memahami apa yang dirasakan orang lain. Hal ini erat kaitannya dengan empati, karena empati juga menunjukkan bahwa kemampuan untuk memahami perasaan dan masalah orang lain, berpikir dengan sudut pandang mereka, serta menghargai perbedaan perasaan orang lain tentang berbagai hal (Goleman, 1996; Baron, Byrne, & Branscombe, 2006). Adanya rasa empati dalam diri seseorang membuat ia mampu memahami akan kebutuhan orang lain. Individu yang memahami akan kebutuhan orang lain akan lebih tergerak untuk membantu dan menolong orang lain. Oleh karena itu ketika seseorang atau sekelompok orang tergerak untuk proaktif menggalang dana atau memberikan bantuan kepada korban bencana, misalnya, maka dapat dikatakan bahwa hal ini timbul karena adanya rasa kepedulian dan empati. Begitu pula dalam kasus perundungan, jika ada teman serta beberapa teman menolongnya dari peristiwa perundungan, maka hal ini menunjukkan bahwa teman dan beberapa teman yang membantu mau menolong dirinya dari kesulitan.
Empati ini penting untuk dikembangkan pada diri anak-anak sejak dini dan salah satu faktor yang mempengaruhi empati adalah pengasuhan dari orang tua (Syafitri, 2020). Pengasuhan dalam suasana rumah yang harmonis, saling membantu antarsaudara saling menghargai, maka akan dapat mengembangkan sikap empati yang baik. Oleh karena itu untuk mengembangkan empati dapat dimulai antara lain dari bagaimana pengasuhan orang tua yang diterima anak, mengembangkan komunikasi dan penggunaan bahasa, bersosialisasi dengan lingkungan sekitar baik teman sebaya maupun di sekolah.
Empati Modal dari Watak Gotong-royong
Dengan empati memungkinkan seseorang untuk membangun hubungan sosial dengan orang lain, dengan memahami pikiran perasan orang lain maka seseorang yang berempati dapat memberikan respon yang tepat. Berempati dengan orang lain dapat membantu seseorang untuk belajar mengatur atau mengelola emosi (suasana hati), dengan empati juga membuat seseorang mengembangkan perilaku membantu, menolong sesama.
Gotong-royong diartikan sebagai melakukan kegiatan secara bersama-sama dengan sukarela agar kegiatan yang dikerjakan dapat berjalan lancar, mudah, dan ringan (Kemdikbud, 2020). Dalam perspektif psikologi, gotong-royong adalah hubungan timbal balik yang mendorong individu untuk saling menolong untuk menyelesaikan pekerjaan yang membutuhkan orang lain pada satu waktu, baik untuk tujuan perorangan maupun kelompok (Meinarno & Fauriziana, 2019 dalam Meinarno, Putri, & Fauriziana, 2019).
Gotong-royong, membuat individu berkolaborasi dengan individu lainnya untuk memikirkan dan secara proaktif mengupayakan tercapainya kebahagiaan dan kesejahteraan orang-orang di sekitarnya. Dalam gotong-royong, individu menyadari bahwa keberhasilannya akan tercapai karena adanya peran dari orang lain. Sebagai makhluk sosial, individu hidup bersama orang lain dan individu mempunyai kemampuan dan kebutuhan untuk berkomunikasi dan berinteraksi serta berkelompok bersama dengan individu lainnya. Hubungan antar kelompok seyogianya menjadi suatu ajang saling kenal dan saling peduli yang memungkinkan adanya kerja sama yang baik antarindividu maupun antarkelompok dengan kelompok (Meinarno, 2018). Sebagai bagian dari kelompok, maka individu perlu terlibat, mau bekerja sama dan membantu kegiatan yang bertujuan untuk mensejahterakan kelompok. Individu yang memiliki kemampuangotong-royong, menunjukkan bahwa ia peduli pada lingkungan dan ingin berbagi dengan anggota kelompoknya untuk saling meringankan beban dan menghasilkan mutu kehidupan yang lebih baik (Kemdikbud, 2020).
Bergotong-royong dan Empati
Terdapat berbagai elemen dalam gotong-royong, seperti kolaborasi, kepedulian dan berbagi (Kemdikbud, 2020). Kolaborasi adalah kemampuan untuk bekerja bersama dengan orang lain disertai perasaan senang ketika berada bersama dengan orang lain dan menunjukkan sikap positif terhadap orang lain. Kepedulian menunjukkan bahwa individu tanggap terhadap kondisi yang ada di lingkungan maupun masyarakat untuk menghasilkan sesuatu yang lebih baik. Berbagi yaitu kemampuan memberi dan menerima segala hal yang penting bagi kehidupan pribadi dan bersama, serta mau dan mampu menjalani kehidupan bersama yang mengedepankan penggunaan bersama sumber daya dan ruang yang ada di masyarakat secara sehat (Kemdikbud, 2020). Penelitian yang dilakukan Syafitri (2020) pada anak-anak yang menonton tayangan prososial nyata dapat membantu anak mengeksplorasi hal-hal baru. Adapun eksplorasi ini adalah mereka mampu mengupayakan pemecahan masalah atas gejala ditampilkan dengan dasar pemikiran diri sendiri dan bagaimana pikiran orang lain. Anak-anak juga menyadari keberuntungan yang mereka miliki daripada orang yang ada dalam video.
Empati dapat menjadi penumbuh elemen-elemen gotong-royong. Kita akan mau berkolaborasi, peduli dan berbagi jika kita mampu paham keadaan pihak lain. Ketidakmampuan empati akan menyulitkan upaya gotong-royong. Dapatkah seorang anak tidak mendukung perundungan jika dia tidak dapat merasakan betapa tidak enaknya dirundung? Bisakah anak melakukan kerja sama tanpa mampu melihat pihak lainnya membutuhkan dirinya atau sebaliknya justru dia yang membutuhkan orang lain?
Penutup
Pentingnya mengembangkan watak gotong-royong di masyarakat Indonesia yang sangat beragam latar dan masalahnya masih amat dibutuhkan. Berawal dari pengembangan empati di lingkungan keluarga, khususnya orang tua, karena empati menunjukkan adanya rasa kepedulian yang merupakan salah satu elemen dari gotong-royong. Untuk itu para orang tua diharapkan dapat memberikan dan menjalankan pengasuhan yang dapat mengembangkan kemampuan empati anak agar tumbuh menjadi individu yang peduli pada lingkungannya.
Referensi:
Baron, R. A., Byrne, D., & Branscombe, N. R. (2006). Social psychology, 11/E. Aufl, Boston.
Goleman, D. (1996). Kecerdasan Emosional . Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.
Kembikbud (2017). Transformasi Budaya Gotong Royong. Pusat Penelitian Kebijakan Pendidikan Dan Kebudayaan Balitbang Kemendikbud. 2017. https://pskp.kemdikbud.go.id/assets_front/images/produk/1-gtk/kebijakan/2017_TRANSFORMASI_BUDAYA_GOTONG_ROYONG.pdf
Kemdikbud. (2020). Kajian Pengembangan Profil Pelajar Pancasila. https://kurikulum.kemdikbud.go.id/wp-content/unduhan/Kajian_PPP.pdf
Markam, S.S & Rahmawati, S.W. (2018). Keluarga dan Pembentukan Karakter: https://buletin.k-pin.org/index.php/arsip-artikel/284-keluarga-dan-pembentukan-karakter
Meinarno, E.A. (2018). Amalkan Pancasila: Kita Bhinneka, Kita Indonesia: https://buletin.k-pin.org/index.php/arsip-artikel/309-amalkan-pancasila-kita-bhinneka-kita-indonesia
Meinarno, EA., Putri, MA., Fauriziana. (2019). Isu-isu kebangsaan dalam ranah psikologi Indonesia. Dalam Psikologi Indonesia. Penyunting Subhan El Hafiz dan Eko A Meinarno. Rajawali Pers. Jakarta.
Syafitri, S. M. (2020). Menumbuhkan Empati Dan Perilaku Prososial Terhadap Anak Usia Dini Dalam Menanggapi Pelajaran Isu Dunia Nyata. Jurnal Visi Ilmu Pendidikan, 12(2), 140-147.