ISSN 2477-1686

Vol. 8 No. 21 November 2022

Fenomena K-poppers Yang Habis-habisan

Wajar Ga sih...??

 

Oleh

Robi Maulana, Ananda Rizky Laila Meliyandrie Indah Wardani

Fakultas Psikologi, Universitas Mercu Buana

 

Pernah dengar istilah K-Pop...?? atau pernah dengar BTS, Blackpink, EXO, Super Junior. Hal ini mungkin beberapa tahun terakhir sudah menjadi hal yang sering kita dengar bahkan sampai saat ini pun demam K-pop semakin menjadi – jadi. K-pop adalah salah satu genre musik yang berasal Korea Selatan biasanya grup vocal ini beranggotaan lebih dari 2 orang, dengan gayanya yang khas dan tentu saja dengan penampilan yang sangat menarik dan rupawan. Inilah yang membuat remaja bahkan sampai anak – anak menyukai dan mengidolakan mereka. Berdasarkan atas The Korean Foundation di tahun 2018 penggemar K-pop memiliki peningkatan sebanyak 22,1% yang pada mulanya berjumlah 73,12 Juta penggemar menjadi 89,19 juta penggemar di seluruh negara, angka yang fantastis tentunya jika di hitung sampai dengan tahun 2022 saat ini. Jumlah penggemar K-pop menjadi 2 atau bahkan 3 kali lipat dari jumlah di tahun 2018 (Nurpratami, Fakhri, & Hamid. 2020).

 

K-popers adalah sebutan bagi penggemar aliran musik ini, tentu setiap fans dari grup musiknya mempunyai nama sendiri misalkan dengan grup musik BTS penggemarnya menamakan diri mereka dengan sebutan BTS Army. Tidak main-main, mereka sangat mengagung–agungkan para personil dari grup musik yang mereka sukai bahkan mereka sampai rela melakukan apapun demi grup musik yang mereka idolakan. mereka seringkali memunculkan perilaku agresif di media sosial bahkan di kehidupan sosialnya (Nurpratami, Fakhri, & Hamid. 2020). Perilaku ini timbul karena aktivitas para fans yang begitu luas dan bebas, sehingga akhirnya menimbulkan perilaku fanwar.

 

Fanwar adalah perselisihan antar kelompok sebagai bentuk untuk melindungi artis idolanya. Hal ini sering terjadi di kalangan para K-popers. Tidak hanya itu para fans juga rela mengeluarkan uang yang tidak sedikit hanya untuk mengkoleksi poster yang mudah di dapat hingga membeli tiket konser pertunjukan dari idolanya. Dengan berbagai cara para fans berlomba untuk mendapatkan tiket dan bertemu dengan idolanya. Terkadang hal yang tidak masuk akal ketika seorang fans memaksakan keadaannya untuk memenuhi hasrat kepada idolanya tersebut. Mulai dari menjual barang demi membeli tiket yang harganya selangit. Mengantri berhari hari, dan acap kali menjadi perebutan yang akhirnya berakhir dengan perselisihan dengan saling menjelekan antar fans (Andriani, Anwar, Akram, & Alimuddin, 2020)

 

Pada dasarnya apa yang terjadi pada para fans K-pop mungkin banyak di alami oleh banyak orang di indonesia walaupun konteksnya bukan sebagai fans K-pop. Dengan banyaknya orang yang dikuasai oleh hawa nafsu untuk pemuasan keinginannya sehingga tidak perduli dengan nilai moral yang berlaku di masyarakat. Hal ini sesuai dengan apa yang dikatakan Freud dalam teori psikoanalisisnya (Mushodiq & Saputra, 2021)

 

Freud menjelaskan bahwa jiwa manusia memiliki tingkatan dalam kesadaran yaitu, sadar (Conscious),prasadar (Preconscious), dan tak sadar (Unconscious), Freud juga mengenalkan tiga struktur kepribadian yang lain yaitu, Id, Ego, dan Super Ego. Di mana ketiganya memiliki unsur asal, aspek, fungsi, prinsip operasi, dan perlengkapan sendiri (Rani, Ardha, Marlina, 2022) dijelaskan bahwa id adalah sumber segala energi psikis, yang mana ini adalah komponen pertama dalam kepribadian. Id di dorong oleh prinsip kesenangan, hawa nafsu untuk memenuhi kebutuhan dan keinginan, tanpa memikirkan aspek moralitas yang ada. Selanjutnya super ego, super ego adalah batasan batasan yang menjunjung tinggi aspek moralitas. Ini lah yang menekan id agar tidak mengenyampingkan moral dalam pemenuhan keinginan, sedangkan ego adalah komponen yang mendeskripsikan realita. Ego adalah penyeimbang antara id dan super ego. Selain itu Freud juga mengemukakan tentang dinamika kepribadian yang mendistribusikan bagaimana energi psikis yang dihasilkan oleh ketiga struktur kepribadian (Rani, Ardha, Marlina, 2022). 

 

Dalam fenomena fanatisme fans K-pop atau yang sering dikenal K-poppers ini di mana mereka rela mengeluarkan uang yang tidak masuk akal untuk pemenuhan nafsu keinginan demi kepuasannya dan perbuatan yang tidak memikirkan orang lain demi sang idolanya (Damasta & Dewi, 2020).  Jika kita lihat dari teori psikoanalisis Freud konsep ini berlaku dengan dinamika kepribadian yang lebih mengedepankan Id dan melepaskan struktur Superego dalam perilakunya, dengan kata lain secara tidak sadar para fans K-pop tersebut melakukan hal yang melewati batas moral dalam realita (Mushodiq & Saputra, 2021).

 

Sebenarnya hal ini dapat dihindari dengan cara kontrol diri dengan memperkuat sisi dari super ego dalam diri, harus menyadari batasan batasan moral dalam konteks menggemari sesuatu, dan harus selalu berfikir positif. Karena sangat jelas bahwa fanatisme yang melebihi batas kewajaran akan lebih besar berdampak negatif terhadap orang yang mempunyai perilaku tersebut dan lingkungan sekitarnya.

 

 

Referensi :

 

Andriani, A., Anwar, R. A., Akram, N. F., & Alimuddin, N. A. (2020). Cyberbullying among teenage K-Pop fans. Jurnal Psikologi Pendidikan dan Konseling, 6(2), 9-16. Doi: 10.26858/jppk.v6i2.16696

Rani. F. H., Ardha . D. C., Marlina. H. (2022). Memahami Hubungan Teori Psikoanalisis dan Teori Pengembangan Moral terhadap terjadinya Suatu kejahatan di masyarakat. Jurnal Ilmiah Universitas Batanghari Jambi, 22(2) 1021-1026. Doi10.33087/jiubj.v22i2.2269

Mushodiq. M. A. & Saputra. A. A. (2021). Dinamika Kepribadian Amarah, Lamawah dan Mutmainnah Serta Relevansinya dengan Struktur Kepribadian Sigmund Freud. Bulletin of Counselling and Psychotherpy, 3(1), 38-48. Doi: 10.51214/bocp.v3i1.49

Damasta. G. A. & Dewi. D. K. (2020). Hubungan Antara Fanatisme dengan Pderilaku Konsumtif pada Fans JKT 48 di Surabaya,  Character: Jurnal Penelitian Psikologi, 7(4), 13-18.

Nurpratami. A., Fakhri. N., & Hamid. A. N. (2022). Fanatisme dan Kontrol diri dengan Agresi Verbal Penggemar Kpop di Media Sosial. Jurnal Psikologi: Jurnal Ilmiah Fakultas Psikologi Universitas Yudharta Pasuruan9(20), 178-195. Doi: 10.35891/jip.v9i2.2531