ISSN 2477-1686
Vol.5 No. 2 Januari 2019
Well-being Pada Pekerja Workaholic
Irene Evita & Devi Jatmika
Universitas Bunda Mulia
Seringkali kita mendengar istilah workaholic yang cenderung memiliki konotasi negatif di masyarakat. Workaholic diartikan sebagai “pecandu kerja” atau “penggila kerja” yang dikarakteristikan sebagai pekerja dengan jam kerja yang lama secara sukarela. Asia khususnya Jepang secara statistik memiliki masalah kematian yang disebabkan terlalu lama dan lelah bekerja paling banyak, selain itu Korea Selatan, India dan Afrika juga memiliki jam kerja yang banyak (Duarte, 2018). Di Indonesia sendiri juga ada beberapa kasus mengenai pekerja yang meninggal karena bekerja terlalu lama. Hal ini menjadi fokus penelitian saat ini untuk meneliti hubungan workaholic dengan kondisi kesehatan terutama dalam bidang psikologi yaitu isu psikologikal dan perilaku pada adiksi/kecanduan kerja (Schaufeli, Taris & Bakker, 2006).
Penelitian workaholic saat ini
Schaufeli, Taris dan Bakker (2006) mendefinisikan workaholism sebagai keadaan tidak diinginkan yang menyerupai adiksi/kecanduan kemudian membuat analisis yang memisahkan aspek positif workaholism (disini disebut work engangement) dari aspek negatif (di sini disebut working compulsively [workaholism]). Hasilnya menunjukkan bahwa “working excessively” memiliki baik karakteristik positif dan karakteristik negatif workaholism, sementara “working compulsively” adalah bentuk klasik aspek negatif workaholism. Dalam penelitian ini “well-being” yaitu keadaan kesehatan, absen dan kebahagiaan seseorang, memperlihatkan asosiasi negatif dengan workaholism dan memperlihatkan asosiasi positif dengan work engagement (Schaufeli, Taris & Bakker, 2006). Dengan kata lain, kecenderungan workaholic mempengaruhi kesejahteraan psikologis seseorang.
Penelitian Shimazu dan Schaufeli (2009) juga menunjukkan bahwa workaholism berkorelasi positif dengan stres psikologikal dan keluhan fisik, namun berkorelasi negatif dengan kepuasan pekerjaan, keluarga dan performansi pekerjaan. Penelitian lanjutan Shimazu dan Eguchi (2012) menunjukkan work engagement mengarahkan pada kondisi yang diinginkan sementara workaholism mengarahkan pada kondisi yang tidak diinginkan.
Namun workaholic juga mempunyai aspek positif selain dari aspek yang tidak diinginkan, seperti kesenangan pada pekerjaan atau mendapatkan beragam keuntungan lain dari pekerjaan (Fujimoto, 2014).
Tiga elemen workaholism
Terdapat 3 elemen dalam workaholism yaitu (a) “work involvement” yang dibanding pekerja normal memiliki keterlibatan tinggi dalam pekerjaannya, (b) “driven” yang dibanding pekerja normal memiliki dorongan internal untuk kerja, dan (c) “work enjoyment” yang dibanding pekerja normal memiliki kesenangan dari bekerja. Ketiga elemen ini dikatakan sebagai penyebab perpanjangan waktu kerja karyawan (Spence & Robbins dalam Fujimoto, 2014). Masing-masing individu dapat memiliki kecenderungan kuat di salah satu dari ketiga elemen-elemen tersebut, atau dua dari ketiga elemen-elemen tersebut, bahkan dapat memiliki kombinasi ketiga elemen-elemen tersebut (Fujimoto, 2014).
Workaholism dan kesehatan
Fujimoto (2014) membuat penelitian menggunakan 3 elemen workaholism tersebut. Fujimoto melakukan analisis berdasarkan pengukuran yang mencakup banyak item dengan mempertimbangkan aspek positif dan negatif dari workaholism. Didapatkan bahwa pekerja yang “work enjoyment” cenderung tidak mengalami masalah dengan kesehatan mereka, sementara pekerja yang “driven” dan “work involvement” cenderung mengalami masalah kesehatan. Sehingga meskipun sama-sama memiliki level aktivitas yang tinggi, ketiga elemen tersebut memiliki perbedaan sikap dan persepsi pada kerja serta berpengaruh pada kondisi kesehatan. Penelitian tersebut juga menunjukkan bahwa untuk pekerja non-manajer, ketiga elemen workaholism berpengaruh secara signifikan terhadap kesehatan mental atau fisikal (ada deteriorasi), dengan rincian elemen “work enjoyment” memiliki asosiasi negatif, sementara elemen “driven” dan elemen “work involvement” memiliki asosiasi positif. Sehingga dapat disimpulkan semakin pekerja non-manajer mendapat makna dari pekerjaannya, akan memiliki kecenderungan kesehatan mental atau fisik yang lebih baik, sementara semakin pekerja non-manajer merasakan dorongan untuk bekerja atau semakin seseorang terlibat dalam pekerjaan akan semakin buruk kesehatan mental atau fisiknya. Kemudian untuk seorang manajer dan di atasnya, ketiga elemen workaholism juga berpengaruh secara signifikan pada kesehatan mental atau fisik (ada deteriorasi), dengan rincian elemen “work enjoyment” memiliki asosiasi negatif, sementara elemen “driven” dan elemen “work involvement” memiliki asosiasi positif.
Dari hal itu dapat disimpulkan bahwa elemen “work enjoyment” (kesenangan dalam pekerjaan) berperan besar dalam menjaga “well-being” pada pekerja workaholic. Sementara elemen “driven” (dorongan) dan “work involvement” (keterlibatan pekerjaan) dalam workaholism dapat menurunkan “well-being” (kesejahteraan) pada pekerja workaholic.
Dampak dari bekerja terlalu lama setiap tipe-tipe workaholic mempengaruhi kebiasaan atau gaya hidup pekerja. Ketika jam kerja menjadi lebih lama, tidak hanya tenaga untuk kerja yang dikeluarkan lebih banyak tapi waktu untuk tidur dan beristirahat juga berkurang, begitu pun kehidupan rumah tangga, keseharian dan waktu luang (Iwasaki, Takahashi, & Nakata, 2006). Kecenderungan workaholic yang kuat pada seseorang cenderung membuatnya menderita isu yang berhubungan dengan tidur, seperti keadaan mengantuk saat kerja, sulit bangun tidur dan merasa lelah ketika bangun dari tidur (Kubota et al, 2011). Seorang yang workacholic berbeda pula dengan pekerja keras. Orang workacholic cenderung akan mengabaikan aspek-aspek kehidupan lainnya diluar pekerjaan, sednagkan orang yang bekerja keras ia memiliki alasan untuk bekerja dengan beban tanggungjawab kehidupan yang dipikulnya tidak melupakan peran dan kewajibannya diluar pekerjaan .
Meskipun pekerja workaholic melakukan pekerjaan dalam waktu lama secara sukarela, jika kecenderungan tersebut menghasilkan isu-isu yang berpengaruh pada kesehatan dan well-being individu, hal itu dapat mengganggu hasil dan kinerja pekerja tersebut jika kebiasaan dari gaya hidup tidak diperbaiki. Dalam lingkungan kerja, manajer atau jabatan lebih superior juga berperan penting untuk mengarahkan pekerja workaholic untuk tetap memperhatikan dan menjaga kesehatan, sosialisasi mengenai gaya hidup sehat dan tetap bahagia dalam bekerja. Dalam kehidupan sehari-hari, kita dapat berupaya memiliki well-being yang tinggi dengan cara: 1). memperhatikan keadaan sekitar, orang-orang di sekitar siapa dan membuat koneksi, membangun hubungan sosial yang mendukung; 2). Menyisakan waktu luang untuk melakukan hal-hal yang disukai dan bermanfaat untuk kesehatan seperti berolahraga, meditasi, dan lainnya; 3). Mempelajari hal-hal baru diluar pekerjaan dan bidang kita, seperti ikut kursus memasak, menggambar dan lainnya.
Referensi
Duarte, F. (2018, Juni 05). Negara mana yang jam kerjanya paling panjang?. Retrieved from https://www.bbc.com/indonesia/vert-cap-44264175
Fujimoto, T. (2014). Workaholism and Mental and Physical Health. The Japan Institute for Labour Policy and Training 11(1), pp. 50-67.
Iwasaki, K, Takahashi, M., & Nakata, A. (2008). Health problems due to long working hours in Japan: Working hours, worker;s compensation (Karoshi) and preventive measures. Industrial Health, 44, 537-540.
Kubota, K., Shimazu, A., Kawakami, N., Takahashi, M., Nakata, A., & Schaufeli, W. B. (2011). Association between workaholism and sleeping problem among hospital nurses. Industrial Health, 48(6), 864- 871.
Schaufeli, W, B., Taris, T. W., & Bakker, A. B. (2006). Dr Jekyll or Mr Hyde? On the differences between work engagement and workaholism. In R. J. Burke (Ed.). Research Companion to working time and work addiction (pp. 193-217). Northampton, MA, US: Edward Elgar Publishing
Shimazu, A & Eguchi, H. (2012). Work engagement: A literature review on current situation and future directions. Occupational Health Review, 25(2), 79-97.
Shimazu, Akihito & Wilmar B.Schaufeli. (2009). Is workaholism good or bad for employee well-being? The distinctiveness of workaholism and work engagement among Japanese employees. Industrial Health, 47(5), 495-502.