ISSN 2477-1686
Vol.3. No.12, November 2017
Jalan Keluar Bernama Pemaafan Diri
Nurindah Fitria
Fakultas Psikologi, Universitas YARSI
Saat memasuki masa tua, kita mungkin merenungi bahwa banyak sekali kekurangan-kekurangan atau kesalahan-kesalahan yang telah kita lakukan semasa muda. Misalnya, karena terlalu sibuk bekerja, kita tidak memperhatikan kebutuhan anak-anak kita. Sehingga saat kita sudah memasuki usia senja, anak-anak tak memiliki kedekatan dengan kita. Bahkan anak-anak kita tumbuh jauh dari harapan sebab kita tidak memberikan pendidikan dan pengasuhan yang sesuai. Penuhnya rasa kecewa terhadap diri sendiri dan penyesalan akan apa yang telah terjadi tentunya membawa pengaruh yang banyak dalam kehidupan kita di masa tua. Bisa jadi seperti yang dikatakan Erikson bahwa kita menjadi seorang dengan “Ego Despair”, bahwa kita tidak merasa memberikan apapun, gagal menjadi orang tua, bahkan gagal sebagai manusia seutuhnya.
Kegagalan yang dirasakan sebagai manusia ini tentunya memberikan dampak buruk bagi kondisi psikologis kita. Tidak hanya menganggap diri kita sebagai manusia yang gagal, aspek-aspek lain, seperti aspek afektif dan aspek perilaku pun akan terganggu. Pada aspek afektif, kita akan dipenuhi oleh emosi-emosi negatif mengenai diri kita, misalnya dipenuhi rasa malu, menyalahkan diri, menyesali segala sesuatu, bahkan mungkin membenci diri sendiri. Sedangkan pada aspek perilaku, kita merasa bahwa diri kita ditinggalkan, hubungan dengan orang lain pun menjadi terganggu karena kita merasa beban yang ditanggung amatlah berat, dan yang cukup menyedihkan kita berulang kali meminta maaf tetapi tidak mampu untuk menerima bahwa orang lain sudah memaafkan diri kita. Kita pun menjadi terobsesi dengan masa lalu dan berulang kali mengungkit bahwa diri kita tidak berarti, gagal, bersalah, dan tidak cukup untuk dimaafkan atas perbuatan kita.
Memaafkan Diri Sebagai Jalan Keluar
Pemaafan sendiri bukanlah barang baru di dunia psikologi. Sudah beberapa dekade belakangan ini dunia psikologi dipenuhi oleh kajian mengenai pemaafan. Kebanyakan kajian membahas tentang pemaafan kepada orang lain, yaitu kita memaafkan ketika ada orang lain yang melakukan kesalahan kepada kita. Sayangnya, dalam kehidupan tentunya individu tidak boleh menutup mata bahwa dirinya juga dapat melakukan kesalahan, baik kepada orang lain, kepada dirinya sendiri, maupun kepada Tuhan. Oleh karena itu, penting untuk melakukan pemaafan kepada diri sendiri (self-forgiveness) sebagai cara untuk mengatasi rasa bersalah yang muncul atas kesalahan yang pernah kita perbuat. Bisa dikatakan memaafkan diri adalah jalan keluar yang dibutuhkan saat kita terkurung oleh perasaan gagal akan masa lalu kita.
Pemaafan memiliki makna yang lebih mendalam daripada sekedar mengucapkan kata “maaf”. Pemaafan diri melibatkan perubahan pada motif sang pelaku, yang mana sang pelaku menjadi berkurang motivasinya untuk menghukum dirinya dan menghindari korban atau stimulus yang berkaitan dengan kesalahan yang telah terjadi serta meningkatnya motivasi untuk sekali lagi lebih menerima dirinya sendiri (Hall &Fincham, 2005).
Seseorang yang menyatakan memaafkan dirinya akan melibatkan semua aspek psikologis dalam dirinya, yaitu aspek afektif, kognitif, dan perilaku. Seseorang yang memaafkan akan mengalami perubahan pada ranah afektif, ranah kognitif, dan ranah perilakunya. Pada ranah afektif, individu tidaklah lagi merasa bersalah terhadap apa yang telah terjadi, tidak merasa malu, atau tidak lagi merasa ‘jijik’ terhadap dirinya. Intinya emosi-emosi negatif akan berganti dengan emosi-emosi positif. Pada ranah kognitif, individu akan menunjukkan perubahan bagaimana memandang diri sepenuhnya. Individu akan menunjukkan pemikiran yang positif mengenai diri, bahwa dirinya adalah orang yang berharga, baik, dan tidak terkungkung keburukan yang pernah dilakukan sebelumnya. Terakhir, pada ranah perilaku, individu secara sadar menunjukkan perubahan dalam berperilaku, seperti tidak lagi menyalahkan diri, menunjukkan sikap negatif terhadap diri, dan sebagainya. Ketika individu mampu mencapai perubahan pada ketiga ranah inilah pemaafan diri baru bisa dicapai.
Pemaafan Diri sebagai Sebuah Proses
Enright dan the Human Development Study mengkonseptualisasikan model pemaafan yang mencakup empat fase, yaitu fase uncovering, decision, work, dan outcome. Fase uncovering melibatkan reaksi afektif terhadap kesalahan yang terjadi, seperti tidak menyukai diri dan kurangnya penerimaan diri. Berikutnya fase decision, fase ketika seseorang membuat diskursus mental mengenai makna pemaafan yang sejalan dengan komitmen untuk memaafkan, biasanya ditandai dengan pikiran-pikiran negatif, seperti berpikir bahwa diri mereka busuk, buruk atau tidak berharga untuk mendapatkan kasih sayang dari orang lain. Selama fase work, seseorang melakukan tindakan untuk meringankan rasa sakit akibat kesalahan yang terjadi. Individu bisa saja diberhenti untuk merendahkan dirinya dan menunjukkan penerimaan diri. Terakhir, fase outcome menghasilkan perubahan dalam pikiran, keyakinan, dan perilaku terhadap dirinya sendiri.
Fase-fase ini tentunya tidak mudah dilewati dan memang membutuhkan waktu agar pemaafan yang kita lakukan bukanlah sesuatu yang semu/pseudo. Pemaafan yang dilakukan secara terburu-buru, atau hanya sekedar berkata, “ya saya memaafkan diri saya” tetapi tanpa diiringi perubahan menyeluruh pada aspek afektif, kognitif, dan perilaku, dapat kita anggap bahwa orang tersebut tidaklah memaafkan dirinya secara murni. Terlalu cepat memaafkan membuat kita tidak mempertanggungjawabkan diri sepenuhnya atas kesalahan yang pernah terjadi. Pemaafan diri yang murni/ genuine membutuhkan proses rekonsiliasi perasaan bersalah menjadi perasaan positif mengenai dirinya.
Berulang kalinya meminta maaf kepada orang lain juga merupakan wujud belum sepenuhnya kita memaafkan diri. Perlu adanya penerimaan bahwa apa yang sudah terjadi merupakan bagian yang tidak dapat diubah dari kehidupan kita akan menjadi langkah awal agar pemaafan diri dapat tercapai dengan baik. Kita harus dapat menghargai (respect) akan martabat kita sebagai seorang manusia yang memiliki banyak kelemahan dan kekurangan agar kita mampu mencapai kedamaian atas diri kita dan menjalani hidup kita dengan baik hingga akhir hayat. Jadi, sudah siapkah kita memilih untuk memaafkan diri sebagai jalan keluar?
Referensi:
Dillon, R.S. (2001). Self-forgiveness and self respect. Ethics, 112(1), 53-83.
Fisher, M. L., & Exlne, J. J. (2006). Self-forgiveness versus excusing: The role of remorse, effort, and acceptance of responsibility. Self and Identity, 5, 127-146.
Hall, J. H., & Fincham, F. D. (2005). Self-forgiveness: The stepchild of forgiveness research. Journal of Social and Clinical Psychology, 24(5), 621-637.
Ingersoll-Dayton, B. & Krause, N. (2005). Self-forgiveness: A component of mental health in later life. Research on Aging. 27(3), 267-289.
