ISSN 2477-1686
Vol. 11 No. 43 Oktober 2025
Mengurai Beban Pikiran: Puisi sebagai Terapi Psikologi
Oleh:
Chandra Yudistira Purnama
Fakultas Psikologi Universitas Jenderal Achmad Yani Cimahi
Puisi sering kali dianggap sebagai sebuah seni yang rumit dan hanya dinikmati oleh kalangan tertentu (Fitria Ika Farizha & Dwi Wahyu Candra Dewi, 2025). Namun, di balik keindahan rima dan metaforanya, puisi menyimpan kekuatan terapi yang luar biasa (Rizqi et al., 2025). Puisi, sebagai bentuk ekspresi artistik dan linguistik, telah lama diakui memiliki dampak yang signifikan terhadap kondisi psikologis dan emosional individu. Pemanfaatan puisi dalam konteks terapeutik, yang dikenal sebagai biblioterapi puitis atau terapi puisi, mendasari kemampuannya untuk memfasilitasi katarsis emosional, meningkatkan pemahaman diri, dan mendorong resolusi konflik internal (Cahya, 2022). Pendekatan ini berakar pada premis bahwa bahasa puitis mampu menyentuh lapisan terdalam kesadaran dan ketidaksadaran, sehingga memungkinkan individu untuk memproses pengalaman traumatik dan mengembangkan mekanisme koping yang adaptif.
Dari sudut pandang psikologi, menulis atau membaca puisi adalah sebuah alat yang efektif untuk melepaskan stres, mengolah emosi, dan bahkan meningkatkan kesejahteraan mental secara keseluruhan (Ahsan & Rizal, 2024; Rizqi et al., 2025). Kita semua pasti pernah merasakan stres, entah itu karena tekanan pekerjaan, masalah pribadi, atau kekhawatiran yang tak kunjung usai. Ketika stres menumpuk, pikiran menjadi kusut dan sulit untuk melihat jalan keluar. Di sinilah peran puisi masuk. Kita tidak perlu memikirkan tata bahasa yang sempurna atau struktur kalimat yang baku. Cukup biarkan kata-kata mengalir dari dalam hati. Dari sisi psikologi, proses ini dikenal sebagai katarsis, yaitu pelepasan emosi yang intens melalui ekspresi kreatif (Wahyuningsih, 2017).
Ketika kita menuangkan kekesalan, kesedihan, atau kecemasan ke dalam bait-bait puisi, kita secara tidak langsung sedang melepaskan beban emosional tersebut dari dalam diri. Puisi menjadi wadah yang menampung segala emosi yang sulit diucapkan, sehingga kita tidak perlu memendamnya. Tidak hanya sebatas katarsis, menulis puisi juga mendorong kita untuk melakukan refleksi diri (Sudarwo, 2024). Saat memilih kata-kata untuk menggambarkan perasaan, kita dipaksa untuk benar-benar memahami apa yang sedang dirasakan. Misalnya, alih-alih hanya mengatakan "saya sedih”, kita mungkin akan mencari metafora yang lebih mendalam, seperti "hujan tak berkesudahan di pelupuk mata" atau "langit yang runtuh di pundak." Proses ini membantu kita mengidentifikasi sumber stres dan memberikan perspektif baru terhadap masalah yang sedang dihadapi.
Selain menulis, membaca puisi juga memiliki manfaat psikologis yang signifikan (Agustiningsih & Nurhadi, 2024; Rizqi et al., 2025). Ketika membaca, kita terhubung dengan pengalaman dan emosi orang lain. Ini bisa memberikan perasaan validasi; bahwa kita tidak sendirian dalam menghadapi perjuangan hidup. Puisi-puisi yang menggambarkan kesedihan, harapan, atau kegelisahan dapat memicu empati dan membantu kita merasa lebih terhubung dengan kemanusiaan. Sensasi ini, pada gilirannya, dapat mengurangi perasaan isolasi yang sering menyertai stres. Secara ilmiah, beberapa penelitian telah menunjukkan bahwa aktivitas kreatif (Syafi’i, 2024), termasuk menulis (Nur Ellisa Fitriani & Ida Nur Imamah, 2023), dapat menurunkan hormon kortisol yang terkait dengan stres . Menulis puisi mengaktifkan bagian otak yang berkaitan dengan bahasa dan emosi, menciptakan jalur saraf baru yang membantu mengatur respons terhadap stres. Dengan kata lain, puisi tidak hanya menenangkan pikiran, tetapi juga memengaruhi biokimia otak secara positif.
Jadi, jangan ragu untuk mencoba. Kita tidak perlu menjadi seorang penyair profesional untuk merasakan manfaatnya. Cukup ambil pulpen dan kertas, atau buka aplikasi catatan di ponsel, dan biarkan kata-kata menemukan jalannya sendiri. Biarkan puisi menjadi sahabat yang mendengarkan, cermin untuk refleksi, dan pintu keluar dari labirin pikiran yang rumit. Mulailah dengan menulis tentang hal-hal kecil yang membuat risau, dan saksikan bagaimana kata-kata sederhana dapat melepaskan beban yang selama ini dipikul. Puisi bukan hanya tentang seni, melainkan juga tentang penyembuhan diri.
Daftar Pustaka:
Agustiningsih, D. D., & Nurhadi, J. (2024). POTENSI PUISI INDONESIA SEBAGAI MEDIA BIBLIOTERAPI KESEHATAN MENTAL: KAJIAN PSIKOLOGI SASTRA. 13(2), 2252–4657. https://doi.org/10.22460/semantik.v13i2.p256-276
Ahsan, M., & Rizal, S. (2024). Memperkuat Kesejahteraan Mental Melalui Sastra: Sebuah Tinjauan Literatur. INNOVATIVE: Journal Of Social Science Research, 4, 8285–8299.
Cahya, K. (2022). KONFLIK BATIN DAN NILAI KARAKTER TOKOH UTAMA DALAM NOVEL LOVE, INTERRUPTED KARYA MAYA LESTARI GF SEBAGAI ALTERNATIF BAHAN AJAR SASTRA DI SMA KELAS XII: KAJIAN PSIKOLOGI SASTRA. Jurnal Edukasi Khatulistiwa : Pembelajaran Bahasa Dan Sastra Indonesia, 5(1), 20. https://doi.org/10.26418/ekha.v5i1.48243
Fitria Ika Farizha, & Dwi Wahyu Candra Dewi. (2025). Representasi Romantisme dalam Puisi “Aku Ingin” Karya Sapardi Djoko Damono. Jurnal Bima : Pusat Publikasi Ilmu Pendidikan Bahasa Dan Sastra, 3(2), 266–274. https://doi.org/10.61132/bima.v3i2.1772
Nur Ellisa Fitriani, & Ida Nur Imamah. (2023). Penerapan Expressive Writing Pada Mahasiswa Yang Menyelesaikan Tugas Akhir Dengan Tingkat Stres Di Universitas ‘Aisyiyah Surakarta. Jurnal Ilmu Kesehatan Dan Gizi, 1(4), 102–114. https://doi.org/10.55606/jikg.v1i4.1718
Rizqi, S., Al Jamiliyati, N. U., Shafa, S. I. A., Yasmin, A., Maulida, T. A., Syafina, V. P. D. N., & Setyawati, Z. A. A. S. (2025). Pengaruh Puisi Terhadap Kesehatan Emosional : Sebuah Tinjauan Pustaka. KIRANA : Social Science Journal, 2(1), 16–19. https://doi.org/10.61579/kirana.v2i1.278
Sudarwo, R. (2024). Menggali Makna Kehidupan Melalui Puisi: Refleksi Diri, Empati, dan Ketahanan dalam Pendidikan. Jurnal Pembelajaran Bahasa Dan Sastra, 11(1), 2024–2220. https://doi.org/10.30595/mtf.v11i1.23122
Syafi’i. (2024). Pengaruh Aktivitas Seni Terhadap Kesehatan Mental Mahasiswa di Lingkungan Kampus. Jurnal Kajian Ilmu Seni, Media Dan Desain, 2(1), 72–82. https://doi.org/10.62383/abstrak.v1i6.480
Wahyuningsih, S. (2017). Teori Katarsis dan Perubahan Sosial. Jurnal Komunikasi, 11(1), 39. https://doi.org/10.21107/ilkom.v11i1.2834