ISSN 2477-1686  

 Vol. 11 No. 32 April 2025

Fatherless Generation:Absennya Peran Ayah Membentuk Sikap Perempuan terhadap Feminisme

 Oleh:
Santi Fronika Lumban Gaol
Fakultas Psikologi, Universitas Sumatera Utara

Peran ayah dalam keluarga memiliki pengaruh yang signifikan terhadap perkembangan psikologis dan sosial anak. Namun, meningkatnya fenomena fatherless di Indonesia, baik karena faktor perceraian, kematian, maupun ketidakhadiran emosional, telah memberikan dampak yang kompleks bagi individu yang mengalaminya. Banyak penelitian menunjukkan bahwa anak perempuan yang tumbuh dalam kondisi fatherless lebih cenderung mengembangkan sikap independen dan memiliki kecenderungan yang lebih tinggi dalam mendukung feminisme sebagai respons terhadap kurangnya figur otoritas laki-laki dalam keluarga (Rahmadhani et al., 2024). Dalam banyak kasus, mereka mencari figur pengganti atau lingkungan sosial yang lebih mendukung perkembangan identitas gender yang lebih egaliter.

Dalam konteks psikologi sosial, teori Pembelajaran Sosial Bandura (1971) menjelaskan bahwa individu belajar melalui observasi dan modeling terhadap lingkungan sosial mereka. Anak perempuan yang tidak memiliki kehadiran ayah dalam hidupnya cenderung mengamati peran ibu atau figur lain dalam keluarga untuk membentuk persepsi mereka tentang gender dan relasi sosial. Jika ibu mereka menunjukkan sikap mandiri dan menolak norma patriarki, maka anak-anak ini akan lebih cenderung mengembangkan sikap feminisme (Bandura, 1971). Dengan kata lain, ketiadaan ayah dapat menjadi pemicu bagi anak perempuan untuk mengadopsi pandangan yang lebih kritik terhadap sistem patriarki.

Penelitian yang dilakukan oleh Pujiastuti (2014) menemukan bahwa ketidakhadiran ayah sering kali mengarah pada perubahan sikap terhadap peran gender di masyarakat. Anak perempuan fatherless lebih cenderung menolak struktur patriarki yang mereka anggap membatasi kebebasan dan potensi perempuan dalam kehidupan sosial dan profesional. Mereka lebih mandiri dan cenderung lebih aktif dalam komunitas yang memperjuangkan hak-hak perempuan. Selain itu, studi lain oleh Rahmadhani et al. (2024) juga mengungkapkan bahwa individu fatherless sering mengalami kesulitan dalam membangun hubungan interpersonal dengan laki-laki, yang pada akhirnya mempengaruhi sikap mereka terhadap sistem patriarki.

Lebih lanjut, media sosial dan lingkungan sekitar berperan dalam membentuk perspektif anak-anak yang mengalami fatherless. Keterlibatan dalam komunitas yang mendukung kesetaraan gender dan hak-hak perempuan menjadi salah satu faktor yang mendorong munculnya sikap feminisme di kalangan perempuan fatherless (Fajriyanti et al., 2024). Media sosial menyediakan platform bagi anak perempuan fatherless untuk menemukan dan berinteraksi dengan figur-figur feminis yang memperkuat nilai-nilai kesetaraan dan pemberdayaan perempuan. Hal ini semakin memperkuat identitas gender mereka dan meningkatkan kesadaran mereka terhadap isu-isu ketidakadilan gender.

Selain faktor sosial dan psikologis, dampak fatherless juga dapat terlihat dalam aspek ekonomi dan pendidikan. Anak perempuan yang dibesarkan tanpa ayah sering kali menghadapi tantangan ekonomi yang lebih besar, terutama jika ibu mereka adalah satu-satunya pencari nafkah dalam keluarga. Hal ini dapat mempengaruhi akses mereka terhadap pendidikan yang lebih tinggi, yang pada akhirnya berdampak pada peluang kerja mereka di masa depan. Namun, banyak perempuan fatherless yang justru menjadi lebih termotivasi untuk mencapai kemandirian ekonomi sebagai bentuk perlawanan terhadap ketidakadilan yang mereka alami.

Berdasarkan berbagai kajian yang telah dipaparkan, dapat disimpulkan bahwa fenomena fatherless di Indonesia memainkan peran penting dalam membentuk sikap perempuan terhadap feminisme. Dengan menggunakan perspektif teori Pembelajaran Sosial Bandura, penelitian ini menunjukkan bahwa ketidakhadiran ayah, baik secara fisik maupun emosional, dapat mendorong perempuan untuk mencari model sosial lain yang lebih mendukung nilai-nilai kesetaraan gender. Fenomena ini semakin diperkuat oleh faktor lingkungan, media sosial, serta pengalaman hidup yang mendorong perempuan fatherless untuk lebih kritis terhadap peran gender dalam masyarakat. Oleh karena itu, penelitian lebih lanjut diperlukan untuk mengeksplorasi lebih dalam mengenai hubungan antara fatherless dan feminisme dalam konteks budaya Indonesia.

Referensi:

Bandura, A. (1977). Social Learning Theory. Englewood Cliffs, NJ: Prentice-Hall.     https://doi.org/XXXX

Baumrind, D. (1966). Effects of Authoritative Parental Control on Child Behavior. Child Development, 37(4), 887–907.  https://psycnet.apa.org/record/1967-02673-001 

Paramitha, A. A., & Nurdibyanandaru, D. (2013). Hubungan pola asuh  permissive-indulgent dengan kecerdasan emosional pada remaja awal. Jurnal Psikologi Kepribadian Dan Sosial, 2(2), 64–70.         http://journal.unair.ac.id/download-fullpapers-jpks6529db76072full.pdf

Ramadanty, A., Putriani, A., Hibana, R., Na’imah, S., & Ayu, S. (2022). Pengaruh Pola Asuh Permisif Terhadap Perkembangan Sosial Emosional Anak Usia Dini di TK Al-Hidayah Kabupaten Bone. Generasi Emas: Jurnal  Pendidikan Islam Anak Usia Dini, 05(02), 67–82. https://journal.uir.ac.id/index.php/generasiemas/article/view/9571 

Rohayani, F., Murniati, W., Sari, T., & Fitri, A. (2023). Pola Asuh Permisif dan Dampaknya Kepada Anak Usia Dini (Teori dan Problematika). Islamic EduKids: Jurnal Pendidikan Anak Usia Dini, 5(1), 25–38.https://journal.uinmataram.ac.id/index.php/IEK/article/view/7316/2531.