ISSN 2477-1686

Vol. 6 No. 12 Juni 2020

 

Mengapa PSBB “Kurang Berhasil”? Tinjauan Berdasarkan Analisa Perilaku

 

Oleh

Yohan Kurniawan1 & Yudi Tri Harsono2

1Pusat Pengajian Bahasa dan Pembangunan Insaniah, Universiti Malaysia Kelantan, 2Fakultas Pendidikan Psikologi, Universitas Negeri Malang

 

 

Pandemi Covid-19 telah melanda hampir semua negara di dunia dan tidak terkecuali Indonesia. Berdasarkan data worldmeters.info sampai 23 Mei 2020 terdapat 20,796 pasien Covid-19 di Indonesia. Data statistik menunjukkan peningkatan jumlah pasien Covid-19 di Indonesia, bermula pada 2 Maret 2020 terdapat 2 orang pasien dan jumlah orang yang terpapar virus ini semakin meningkat sampai hari ini. Beberapa daerah sudah melaksanakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) seperti DKI Jakarta, Jawa Barat, Kota Surabaya Raya (Surabaya, Sidoarjo, Gresik), Malang Raya (Kota Malang, Kabupaten Malang, dan Kota Batu), Makassar, Palembang, Riau, dan masih banyak lagi. Fakta menarik dari pelaksanaan PSBB di beberapa wilayah di Indonesia adalah semakin meningkatnya jumlah pasien Covid-19. Hal ini sangat mengejutkan dan mengherankan karena seharusnya PSBB dapat membantu mengurangkan jumlah paparan virus Covid-19. Pertanyaan yang bermain dipikiran kita adalah bagaimana hal ini dapat terjadi? Terdapat beberapa konflik antara masyarakat dengan petugas di lapangan sewaktu PSBB di beberapa daerah di Indonesia. Banyak masyarakat terutamanya pengguna jalan yang marah dan melawan petugas ketika diperingatkan karena melanggar aturan PSBB, pengguna jalan marah ketika diminta putar balik, bahkan terjadi pertengkaran antara pengguna jalan dan petugas keamanan seperti yang terjadi di Jawa Timur.

 

Beberapa negara di dunia telah menerapkan kebijaksanaan seperti PSBB, akan tetapi sangat sedikit kasus penolakan atau perlawanan yang dilakukan oleh masyarakat dengan petugas keamanan seperti di Indonesia. Hal ini sangat menarik untuk dipelajari mengapa masyarakat kita bersikap demikian? Apakah petugas keamanan bersikap arogan? Masyarakat tidak paham maksud dan SOP PSBB? Atau informasi lengkap PSBB tidak sampai kepada masyarakat dengan benar? Pertanyaan utama yang sering bermain dipikiran kita adalah mengapa masyarakat Indonesia “suka” melawan kepada pihak berwenang seperti petugas keamanan (polisi, tentara, satpol PP)?

 

Kepatuhan terhadap PSBB oleh masyarakat Indonesia mengacu kepada konformitas. Konformitas adalah suatu sikap mengalah seseoang pada tekanan sosial, baik yang nyata maupun yang dibayangkan (Matsumoto, 2008). Sikap konformitas ini berhubungan dengan sikap tunduk atau compliance yang bermakna sikap mengalah seseorang kepada tekanan sosial daam kaitannya dengan perilaku sosial mereka, akan tetapi sikap ini tidak merubah keyakinannya (Matsumoto, 2008). Salah satu bentuk sikap tunduk adalah kepatuhan atau obedience yaitu sikap tunduk yang muncul ketika seseorang mengikuti suatu perintah langsung dari seseorang yang mempunyai posisi otoritas (Matsumoto, 2008). Terkait dengan PSBB, masyarakat dituntut untuk mematuhi arahan PSBB yaitu tinggal di rumah, sekiranya perlu keluar rumah hanya untuk tujuan tertentu seperti membeli keperluan pokok, ke apotek, ke rumah sakit dan selalu menggunakan masker serta menjaga jarak (social distancing), tidak berada di tempat keramaian dan kumpul banyak orang, dan sebagainya. Akan tetapi kenyataannya di lapangan selama PSBB adalah sebagian besar masyarakat tidak mematuhi aturan PSBB bahkan cenderung untuk “melawan” dan “tidak peduli” terhadap PSBB. Penelitian berhubung konformitas yang terkenal adalah penelitian eksperimental yang dijalankan oleh Asch pada tahun 1951, 195, dan 1956 (Matsumoto, 2008). Hasil penelitian ini menemukan bahwa faktor yang paling berpengaruh adalah ukuran kelompok dan derajat kesepakatan kelompok. Dalam eksperimental yang dijalankan konformitas muncul ketika melibatkan 7 orang anggota kelompok dan seluruhnya sepakat dalam penilaian mereka (meskipun penilaian mereka adalah salah) (Matsumoto, 2008). Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa tingkat konformitas lebih mudah terbentuk pada kelompok kecil, sedangkan PSBB melibatkan kelompok masyarakat dalam jumlah yang besar sehingga agak sukar untuk mendapatkan tingkat konformitas yang sama.

 

Erich Fromm mengatakan bahwa untuk mendapatkan kemerdekaan yang hakiki dalam kehidupannya, manusia harus memiliki semangat, cinta, kerja sama, serta sikap tunduk kepada penguasa yang baik (Irawan, 2015). Sehubungan dengan PSBB, masyarakat masih menginginkan “kebebasan” seperti saat kehidupan normal, walaupun keinginan tersebut agak susah dilakukan saat ini. Berdasarkan pandangan Fromm, apabila masyarakat ingin berdamai dengan Covid-19 maka mereka harus dapat menerima dan tunduk kepada aturan PSBB, memberikan kerjasama kepada pemerintah, menyadari pentingnya PSBB dan mulai menerima serta “mencintai”. Itulah persyaratan yang diberikan oleh Fromm supaya masyarakat dapat berdamai dengan PSBB dan dapat menjalani hidup “new normal” ini dengan baik.

 

Menurut Fromm, manusia memiliki tiga mekanisme pelarian dari kebebasan dalam kehidupan manusia yaitu (Irawan, 2015):

 

1.    Otoritarianisme (Authoritarianism)

yaitu kecenderungan untuk menyerahkan kemandirian diri dan menggabungkan dengan sesuatu di luar dirinya untuk memperoleh kekuatan yang dirasa tidak dimiliki.

 

2.    Perusakan (Destructiveness)

yaitu pencarian terhadap kekuatan tanpa membangun hubungan dengan pihak luar, tetapi melalui usaha merusak kekuatan orang lain.

 

3.    Penyesuaian (Conformity)

yaitu upaya penyerahan individualitas menjadi apa saja yang diinginkan oleh kekuatan dari luar dirinya.

 

Bagaimana hubungan antara mekanisme pelarian dari kebebasan Erich Fromm dengan pelaksanaan PSBB di Indonesia?

Pada saat ini ketika dilaksanakannya PSBB, urutan mekanisme pelarian dari kebebeasan berdasarkan pandangan Fromm adalah perusakan – penyesuaian – otoritarianisme. Masyarakat masih “melawan” petugas di lapangan dengan berbagai alasan untuk saat ini, akan tetapi setelah PSBB ini dilaksanakan setelah beberapa waktu, misalnya 1 bulan atau 2 bulan, maka masyarakat akan mulai menyesuaiakan kehidupan mereka atau istilahnya “berdamai” dengan PSBB, dan akhirnya mereka akan patuh dan mengikuti semua aturan PSBB dari pemerintah.

 

Berdasarkan hasil pengamatan selama pelaksanaan PSBB di beberapa daerah di Indonesia, mengapa PSBB “kurang berhasil” dilaksanakan di Indonesia? Hal ini disebabkan masyarakat di Indonesia masih berada dalam tingkat penyesuaian untuk menerima PSBB dalam kehidupan new normal mereka. Selain itu “penolakan” dan pelanggaran PSBB saat masih banyak terjadi disebabkan tidak adanya kesepakatan diantara masyarakat untuk mematuhi aturan PSBB. Ketidaksepakatan ini dapat disebabkan berbagai faktor diantaranya ketidakpahaman masyarakat terhadap konsep dan aturan PSBB, kekhawatiran terhadap masalah ekonomi, ketidakpastian berapa lama PSBB akan dilaksanakan, keadilan pembagian bantuan sosial dari pemerintah, dan sebagainya. Ketidakpastian ini yang akhirnya menyebabkan masyarakat tidak mematuhi arahan PSBB. Jadi “kurangnya keberhasilan” PSBB saat ini lebih disebabkan karena masyarakat masih dalam proses penyesuaian atau membiasakan diri dengan PSBB, masyarakat tidak tahu dan tidak jelas tentang konsep, aturan dan pelaksanaan PSBB  karena cara dan teknik penyampaian informasi tentang PSBB yang kurang tepat dan jelas kepada masyarakat.

 

Mengapa masyarakat belum jelas atau kurang paham terhadap aturan PSBB? Hal ini dapat disebabkan beberapa faktor diantaranya:

·         Komunikasi antara pemerintah ke masyarakat yang “tidak jelas” termasuk materi tentang PSBB yang harus disampaikan kepada masyarakat.

·         Penyampaian informasi yang ambigu atau membingungkan dari pemerintah.

 

Ketidak jelasan informasi tentang PSBB ini menyebabkan terjadinya “perlawanan” oleh masyarakat kepada pelaksanaan PSBB. Selain itu, kurangnya penerimaan dan kerjasama masyarakat terhadap PSBB disebabkan juga persepsi. Persepsi adalah mengacu pada proses di mana informasi inderawi diterjemahkan menjadi sesuatu yang bermakna (Matsumoto, 2008). Permasalahan yang terjadi berhubungan dengan persepsi adalah persepsi atas dunia belum tentu mewakili secara nyata realitas fisik dunia atau indera kita (Matsumoto, 2008). Persepsi manusia sering berubah, terutamanya setelah kita mengetahui lebih banyak tentang sesuatu (informasi) (Matsumoto, 2008). Penelitian yang dilakukan oleh Chase dan Simon (1973) kepada orang-orang yang ahli catur menunjukkan bahwa secara konsisten penelitian ini menemukan ketika orang belajar lebih banyak tentang sesuatu, mereka akan “melihatnya” secara berbeda dari saat pertama kali melihatnya (Matsumoto, 2008). Pengalaman melihat, mendengar atau mengalami kejadian “tidak menyenangkan” dengan petugas di lapangan pada masa lalu akan “terimbas” kembali ketika mereka bertemu dengan petugas ketika PSBB akibatnya secara tidak disadari muncul perasaan tidak percaya dan dorongan untuk “melawan” petugas PSBB muncul kembali.

 

Faktor lain yang menyebabkan kurang berhasilnya PSBB di Indonesia adalah sikap pemerintah yang dinilai “tidak tegas dan ambigu/membingungkan”. Sikap tidak tegas ini berhubungan dengan strategi yang diambil oleh pemerintah untuk mengatasi penyebaran virus Covid-19 di Indonesia. Dalam menentukan strategi yang tepat untuk menangani virus Covid-19 ini, pemerintah dihadapkan dengan dilema dan konflik yang agak besar yaitu upaya menghentikaan penyebaran virus - mengantisipasi terjadinya masalah ekonomi - serta mengantisipasi terjadinya krisis sosial akibat krisis ekonomi. Akibatnya saat ini pemerintah mengambil tindakan yang dinilai “prematur” karena usaha untuk menghentikan penyebaran virus masih belum berhasil tetapi pada waktu yang sama, pemerintah ingin menyelamatkan perekonomian yang terdampak buruk dengan membuka kembali aktivitas ekonomi dengan mengedepankan aturan kesehatan. Walaupun demikian segolongann pakar menilai usaha tersebut sangat beresiko meningkatkan penyebaran Covid-19 di Indonesia.

 

Sikap ambigu ini berhubungan erat dengan kemampuan pemerintah menyampaikan pesan yang tepat, jelas dan cepat kepada masyarakat. Kemampuan menyampaikan pesan yang tepat, jelas, dan cepat berhubungan dengan keterampilan berkomunikasi ketika terjadi bencana atau pandemik. Ketidakjelasan komunikasi ini disebabkan informasi yang diberikan oleh pemerintah diinterpretasikan berbeda-berbeda sehingga mengakibatkan kebingungan dalam masyarakat. Hal ini terjadi ketika sebuah informasi atau arahan yang diberikan oleh pemimpin diinterpretasikan secara berbeda oleh staf pelaksana di bawahnya sehingga arahan yang sampai kepada masyarakat menjadi bercabang, bahkan bertentangan dengan arahan awal. Informasi yang tidak jelas tersebut mengakibatkan ketegangan antara rakyat dengan petugas keamanan di lapangan, serta ada kecenderungan untuk mengabaikan arahan PSBB karena rakyat sendiri tidak mengetahui secara pasti bahaya Covid-19.

 

 

Referensi:

 

Irawan, E. N. (2015). Buku Pintar Pemikiran Tokoh-Tokoh Psikologi Dari Klasik Sampai Modern. Yogyakarta: IRCiSoD

 

Matsumoto, D. (2008).  Pengantar Psikologi Lintas Budaya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.