ISSN 2477-1686

 

Vol.2. No.5.Maret 2016

Agresivitas Di Sekolah Dan Peran Orangtua     

Sri W Rahmawati

 

Fakultas Psikologi, Universitas Tama Jagakarsa

Kenaikan Kasus Agresivitas Siswa Di Sekolah

Sepanjang tahun 2015, perlakuan tindak agresivitas di sekolah (termasuk bullying) meningkat. Meskipun program untuk mencegah agresivitas di sekolah sudah diupayakan berbagai rupa, termasuk pemberian sanksi kepada siswa, guru bahkan kepala sekolah terkait agresivitas yang terjadi di sekolah, namun jumlah pelaku dan korban tidak juga berkurang. Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Asrorun Niam Sholeh menyayangkan kenaikan jumlah anak sebagai pelaku tindak agresivitas sepanjang tahun 2015 kemarin. Berdasarkan total kasus kekerasan di sekolah yang dihimpun, ada 79 kasus anak sebagai pelaku bullying dan 103 kasus dengan anak sebagai pelaku tawuran. “Jumlah ini bertambah jika dibandingkan tahun 2014, di mana bullying ada 67 kasus dan tawuran ada 46 kasus,"  kata Niam dalam wawancara dengan media.  Menurut penjelasan KPAI, kenaikan jumlah jumlah kasus tawuran termasuk yang cukup signifikan, yakni lebih dari 50 persen di tahun 2015 dibandingkan tahun 2014 lalu.

Corporat Parenting Dalam Pengasuhan Anak

Tindakan agresivitas di sekolah adalah sebuah ironi. Sebagai lembaga pendidikan, sekolah seharusnya menjadi tempat yang ideal untuk menimba ilmu, mengasah keterampilan serta mendidik siswa untuk memiliki perilaku normatif (Hoffman, 2010; Gallup dan Roose, 1993). Namun hal yang lebih ironi lagi adalah, kenyataan bahwa banyak orangtua kini yang menyerahkan pendidikan anak-anaknya ke sekolah sepenuhnya. Orangtua yang sibuk ini ‘sangat percaya’ pada sekolah sehingga cukup mengetahui perkembangan anaknya dengan datang ke sekolah dan bertemu dengan guru, hanya saat pembagian raport saja. Orangtua beralasan, mereka telah memilih sekolah yang baik dan dan berkualitas.  Ukuran kualitas itu sendiri terkadang dikaitkan dengan harga yang harus dibayar, sehingga bagi sebagian orangtua muda saat ini,  lumrah saja merencanakan jauh-jauh hari persiapan pendidikan putra putrinya dalam bentuk tabungan ataupun asuransi. Namun apakah dengan memilih sekolah  yang berkualitas, berarti dapat meminimalisir kewajiban orangtua untuk menjalankan fungsi pengasuhan? Termasuk diantaranya untuk melakukan pencegahan pada anak untuk terlibat sebagai pelaku maupun korban dari agresivitas di sekolah?

Peran ayah dan bunda sebagai orangtua sejatinya adalah peran yang melekat dalam melakukan pengasuhan untuk keberlangsungan dan pengembangan anak (Hoffman, 2010). Dalam proses pengembangan anak kemudian, tidak hanya orangtua yang terlibat, namun pihak lain seperti guru, sekolah, bahkan  juga masyarakat (Hughoghi, 2004). Fungsi pengasuhan kemudian berkembang menjadi bentuk yang lebih luas dengan keterlibatan berbagai pihak  dan menjadi sebuah corporate parenting. Baik orangtua, sekolah maupun masyarakat memiliki tanggung jawab pada porsinya masing-masing.

Tiga Prinsip Utama Pengasuhan Anak

Tiga hasil mendasar, yaitu kontrol, perhatian dan komunikasi (control, care and communication) adalah prinsip utama dalam pengasuhan. Sejumlah ahli parenting, seperti Diana Baumrind, Maccoby, Hughoghi, Hoffman, mengatakan bahwa praktek pola asuh perlu terus menerus perlu diperbarui sejalah dengan dinamika perkembangan anak maupun tuntutan di masyarakat.

Pengasuhan anak pada masa sebelumnya lebih ditujukan pada upaya penanaman aturan dan moral yang harus dimiliki anak, sehingga orangtua memberikan tekanan kuat pada hal-hal yang boleh dan tidak boleh dilakukan. Fokus pada kontrol orangtua anak menjadi dominan pada masa ini. Kontrol diarahkan pada upaya untuk menjaga anak tetap berada pada batasan-batas aturan yang berlaku.

Pada perkembangan berikutnya, kontrol menjadi tidak cukup memadai bila tidak disertai kehangatan secara emosi, yang menciptakan suasana batin antara orangtua dan anak. Orangtua perlu menyertainya dengan perhatian (care), yang dilakukan setidaknya pada tiga hal: perhatian fisik, yaitu dukungan untuk keberlangsungan anak pada kebutuhan dasar, termasuk perlindungan/penanganan terhadap kecelakaan yang dialami anak;   perhatian emosi merupakan perhatian untuk mendukung anak dalam situasi sulit, perasaan cemas, ketakutan, dan kejadian-kejadian traumatis; serta  perhatian sosial, berupa dukungan anak mampu menjalin interaksi sehat dengan orang lain yang berguna bagi pengembangan konsep diri positif.

 

Sejalan dengan perkembangan jaman, teknik pengasuhan berikutnya yaitu komunikasi perlu dikuasai. Komunikasi berupa penyampaian pesan kepada anak secara efektif, baik secara verbal (penyampaian kata-kata);  maupun komunikasi non verbal dalam bahasa tubuh, mimik, raut wajah dan tingkah laku. Komunikasi juga melibatkan kemampuan mendengar aktif dan mengembangkan empati pada  persoalan atau permasalahan yang dimiliki anak.

Kerjasama Orangtua Dan Sekolah

Orangtua yang menerapkan teknik pola asuh kontrol, perhatian dan komunikasi, akan dengan mudah mengantisipasi peristiwa yang dialami anak, termasuk kejadian di sekolah. Penerapan kontrol yang tepat akan membuat anak memiliki rambu-rambu moral saat terjadi pelanggaran, baik dalam posisi menjadi pelaku ataupun korban; termasuk hal ini adalah ketika mengalami kekerasan di sekolah. Selain itu kehangatan perhatian orangtua juga menjadi kunci bagi anak untuk terbebas dari perasaan terbebani, sehingga anak percaya kepada orangtuanya. Kepercayaan yang diwujudkan dalam bentuk komunikasi sehingga anak mampu menyampaikan apa yang dialaminya secara terbuka.

 

Sekolah memiliki otoritas untuk menjalankan fungsi pendidikan, namun orangtua sebaiknya tidak berlepas tangan terhadap proses pendidikan, pembentukan perilaku, termasuk kejadian yang dialami anak. Peran orangtua tetaplah utama, di dalamnya termasuk mengupayakan agar kerja sama dengan pihak sekolah terbangun secara kokoh. Bila  hal tersebut dapat terlaksana, maka rasa cemas orangtua terhadap kemungkinan terjadinya tindak agresivitas di sekolah diharapkan tidak lagi terjadi. Sekolah pun diminta untuk lebih membuka diri dalam melakukan pembenahan setiap saat, sehingga dapat mengoptimalkan fungsi utamanya sebagai lembaga pendidikan. 

Referensi:

 

Gallup, A.M. & Rose, L.C. (1993). The 31st Annual Phi Delta Kaplan/Gallup Poll of the Public Attitudes towards Public Schools. Phi Delta Kaplan, 81., 41-56.

 

Hoffman,  B. (2010). Cooperative Learning, Character Education, Conflict resolution Among Eighth Graders, Their Teacher Intervention with Bullying and Their Experiences with Cyber, Physical, and Relational Bullying. Department of Educational Administration, Leadership and Technology Dowling College. Ann Arbor: ProQuest, LLC.

 

Hughoghi, M., Ling, Nicholas. (2004). Handbook of Parenting. Theory and Research for Practice. London: Sage Publication.

 

Rahmawati, SW., Iskandar, Tb. Z., Setiono, K., Abidin, Z (2014). Parenting dan Pencegahan Kekerasan di Sekolah. Prosiding Seminar Nasional Ketahanan Keluarga sebagai Aset Bangsa. Malang: Universitas Merdeka. ISBN 978-979-3220-32-1.

 

 

http://megapolitan.kompas.com/read/2015/12/30/16480051/KPAI.Pelaku.Kekerasan.dan.Bullying.di.Sekolah.Tahun.2015.Meningkat. Diunduh 4 Januari 2016.