ISSN 2477-1686
Vol. 1., No. 4, Desember 2015

Sarlito W. Sarwono

Salah satu cucu saya bernama Ammar. Umurnya 3 tahun, tetapi dia fasih sekali bermain gagdet. Yang paling disukainya adalah berbagai game tentang mobil. Dia sama sekali belum bisa membaca, tetapi dia tahu persis mana-mana yang harus disentuh dengan jari mungilnya untuk memunculkan merek mobil yang mana yang dia mau dan mau balapan dengan mobil yang merek apa. Bukan itu saja, dia menirukan suara-suarayang didengarnya, mulai dari bunyi tabrakan sampai kalimat-kalimat bahasa Inggris yang diucapkannya begitu saja tanpa dia mengerti artinya, persis seperti burug beo.

Cucu saya yang lain, sepupu Ammar, namanya Khalif. Umurnya 6 tahun, sudah di kelas 1 SD. Dia juga mulai karirnya seperti Ammar. Main gadget, dilanjutkan dengan nonton kartun Spiderman dan Ben 10, menirukan kata-kata bahasa Inggris dari gadget dan film, maka ketika masih di TK B, dia sudah fasih melahalkan Martin Luther King “Ihave a dream” dalam bahasa Inggris yang bebas dari aksen Tegal seperti kalau Eyang Kakungnya ceramah bahasa Inggris di Kongres Psikologi Internasional.

Di sisi lain, ketika saya seumur kedua cucu saya itu, saya tinggal di Tegal, dengan bahasa Jawa Tegal yang kental. Ketika saya ditest TOEFL untuk dikirim ke Amerika setelah menyelesaikan pendidikan psikolog, saya tidak lulus karena berpikirnya pun masih bahasa Jawa Tegal. Maka saya terpaksa les bahasa Inggris dulu di LIA (Lembaga Indonesia Amerika) dan mengulang tes lagi, kali ini untuk ke Inggris. Alhamdullilah, saya diterima belajar di Universitas Edinburgh, Skotlandia, dan di sanalah saya baru belajar bahasa Inggris betulan, sampai bisa berdiskusi dan menulis makalah dan makalah saya dimuat dalam jurnal internasional untuk yang pertama kali.

Itu terjadi di awal tahun 1970an. Tetapi karena saya sudah terlanjur beraksen Tegal, maka logat Tegal itu tidak bisa lepas dari bahasa apapun yang saya ucapkan. Dalam hal teknologi informasi, sampai jadi mahasiswa tahun kedua, saya hanya tahu radio. TVRI (hitam putih) baru ada ketika saya sudah kuliah di tingkat dua itu. TV berwarna baru saya kenal ketika saya sudah punya dua anak, komputer baru saya tahu ketika saya belajar lagi di Belanda untuk S3 saya (akhir 1970an), dan sejak 1980an saya mulai menggunakan radio panggil atau biasa disebut Starko (salah satu merek provider radio panggil ketika itu), dan kemudian dengan cepat saya menggunakan internet, HP (handphone), email, twitter, blog, Facebook dan tentu saja HP saya berganti menjadi smart phone yang bisa untuk BBM, WA, selfie, bahkan untuk mencari jalan non-macet di Jakarta dengan menggunakan fasilitas GPS Googlemap atau Waze. Pokoknya dibandingkan dengan pprofesor lain seusia saya, saya tergolong paling canggih dalam ilmu per-gadget-an.

Tetapi dibandingkan dengan cucu-cucu saya, saya tetap kalah jauh. Baik dalam soal bahasa, maupun dalam soal per-gadget-an. Ibaratnya cucu-cucu saya ini adalah native speakers dalam dunia bahasa Inggris dan per-gadget-an, karena sejak lahir sudah terpapar dengan semua hal yang generasi saya baru mempelajarinya setelah jauh masuk ke usia dewasa.

***

Kesenjangan antara saya dan cucu saya memang sering dijadikan bahan lucu-lucuan kalau seluruh keluarga sedang ngumpul, tetapi kesenjangan tersebut sebetunya mencerminkan perbedaan antar generasi yang di dunia sudah menimbulkan banyak problem yang serius.

Dalam ilmu Kependudukan, generasi saya yang lahirdi sekitar tahun 1940-1960-an disebut generasi Baby Boomers (BB), anak-anak saya yang lahir antara 1960-1980-an disebut Generasi X (Gen-X) dan generasi yang lahir setelah tahun 1980 biasa disebut Generasi Y (Gen-Y). Ketiga generasi itu mempunyai cara pikir, perilaku dan gaya hidup serta artefak (benda-benda yang digunakan sehari-hari) yang sangat berbeda, terutama di masyarakat golongan menengah-atasyang rata-rata juga berpendidikan menengah-atas. Dengan perkataan lain, secara antropologis ketiga generasi itu hidup dalam budaya yang berbeda.

Artinyaketiga generasi itu sebenarnya mengalami kesenjangan budaya, walaupun mereka boleh jadi tinggal dalam satu rumah. Itulah sebabnya hampir setiap ABG (Anak Baru Gede) berkonflik dengan orangtuanya. Di perusahaan-perusahaan, para Direktur dari generasi BB yang biasa dengan keteraturan dan disiplin, loyalitas serta kemapanan, tidak bisa mengikuti jalan pikiran para manager dari Gen-X yang serba mau cepat, serba terobosan dan cepat pindah kerja kalau ada job yang lebih baik. Gen-X lebih loyal pada dirinya sendiri bukan pada tempatnya dia bekerja. Tetapi Gen-Y lebih dahsyat lagi. Dunia mereka sudah masuk ke dunia virtual (maya), bukan dunia nyata, apalagi lokal (keluarga, tetangga, teman sekolah dll).

Seorang Gen-Y bisa duduk sama pacarnya di kafe, sambil masing-masing ngobrol melalui gadget masing-masing dengan teman masing-masing yang berada di tempat lain, boleh jadi si teman maya itu ada di negara lain, ribuan mil dari kafe tempat mereka pacaran. Karena itu Gen-Y disebut juga generasi Milenial atau generasi Internet atau bahkan Generasi Autis. Karena dunia mereka adalah dunia global, dan pengaruh media sosial lebih kuat dari pada media massa, maka berbagai ide dan ideologi masuk ke kepala mereka. Kalau globalisasi Gen-X masih terbatas pada budaya pop Amerika, termasuk McD dan KFC, globalisasai Gen-Y sudah mengadopsi K-pop (Korea), komik Manga (Jepang), bahkan radikalisme agama dari Timur Tengah.

Akibatnya nilai-nilai Pancasila yang yang dimaksud sebagai niai-nilai pemersatu bangsa Indonesia oleh para pendiri bangsa (generasi pra-BB), sekarang ini menghadapi tantangan yang sangat berat, karena harus berhadapan dengan nilai-nilai global dari Gen-Y yang sangat mungkin bisa mengoyak persatuan dan kesatuan bangsa dan negara kita.

/cache/remote_images/31e9fe8032c61958afa8bdc99e361191.png