ISSN 2477-1686  

 Vol. 11 No. 40 Agustus 2025

Bisa Jadi, Positive Self Talk bukan hal yang kamu butuhkan saat menghadapi hal sulit?

 Oleh:

Irfan Aulia Syaiful & Annisa Fauziah Mukhlis

Fakultas Psikologi, Universitas Mercu Buana 

Dewasa awal di Indonesia rentan terhadap stress terutama mereka yang bekerja dan berada di usia 20 – 30 tahun (Wardani Oktaviani, & Nasution).  Fenomena yang seringkali dijumpai pada individu dewasa awal ialah munculnya berbagai pertanyaan  dari orang-orang di sekeliling individu,  misalnya seperti pertanyaan “kapan lulus?”, “kapan bekerja?”, “kapan menikah?”, dan beberapa pertanyaan serupa lainnya. Jika dalam budaya timur, pertanyaan semacam itu mungkin merupakan bentuk perhatian lingkungan terhadap individu tersebut. Namun pada beberapa individu yang kurang resilien, hal ini mampu memunculkan perasaan cemas, tidak nyaman, ketidaktahuan, keraguan, dan ketakutan, yang umum terjadi dan dikenal dengan Quarter-Life Crisis.

 Fenomena Quarter Life Crisis, yang secara emosional ditandai oleh kecemasan mendalam dan kebingungan mengenai arah masa depan—baik dalam karier, hubungan, maupun identitas diri—telah divalidasi sebagai pengalaman yang sangat umum. Sebuah studi kredibel oleh LinkedIn pada tahun 2017 yang menargetkan kelompok usia paling rentan (25-33 tahun) di berbagai negara, menemukan bahwa tiga perempat dari mereka pernah mengalami krisis ini. Hal ini menegaskan bahwa perasaan tersebut bukanlah sebuah kelemahan pribadi, melainkan sebuah fase transisi yang serang ditemukan di dewasa awal.   

Berdasarkan fenomena tersebut, maka individu dewasa awal harus memilikki resiliensi yang baik untuk terus bertahan dan bangkit dalam kondisi krisis tersebut. Dengan adanya resiliensi maka mampu menumbuhkan aspek-aspek positif dalam kehidupan individu dengan cara beradaptasi dengan situasi yang dihadapi, mengembangkan semangat, dan meningkatkan emosi positif. Hal ini tentunya didukung oleh hasil penelitian terdahulu yang membuktikan bahwa memang benar resiliensi mampu membantu individu untuk mengatasi krisis kehidupan.

Salah satu cara populer yang dapat dilakukan dalam meningkatkan resiliensi yaitu dengan Positive Self Talk. Positive Self Talk dinilai telah menjadi salah satu faktor yang membantu individu dewasa awal untuk terus tampil saat berada pada situasi yang penuh tekanan dan tantangan (Mosier, 2020). Hal ini juga didukung dalam sebuah studi yang dilakukan oleh Coulson (2006) terhadap 291 mahasiswa yang menemukan bahwa positive self  talk berhubungan dengan tingkat resiliensi individu setelah mengalami pengalaman buruk berdasarkan persepsi diri terhadap resiliensi dan karakteristik terkait resiliensi (misalnya, optimisme, kemampuan memecahkan masalah). Individu dengan self talk positif memiliki kecenderungan dalam melakukan self talk yang mengarah pada pengelolaan diri dan manajemen diri (Brinthaupt et al., 2009). Individu dewasa awal yang menerapkan metode positive self talk berharap akan menjadi lebih nyaman dan mampu bangkit saat menghadapi hal sulit.

Hal yang menarik yang dilakukan oleh Mukhlis (20223) menunjukkan hal sebaliknya. Pada penelitian yang dilakukan kepada 384 individu ternyata positive self talk berkorelasi negatif terhadap resiliensi.   Analisis data pada penelitian ini dilakukan kepada 384 individu dewasa awal dengan karakteristik demografi yang didasarkan dari segi usia, jenis kelamin, pendidikan terakhir, pekerjaan, dan domisili responden. Mayoritas responden dalam penelitian ini diketahui berusia 22 tahun, berjenis kelamin perempuan, memiliki pendidikan terakhir yakni SMA atau sederajat, berstatus sebagai pelajar/mahasiswa, dan berdomisili di Jakarta.

Pertanyaan yang mengemuka apa yang terjadi pada dewasa awal tersebut? Neff dan Germer (2018) membuat satu buku menarik mengenai welas asih atau self compassion. Di dalam buku ini dijelaskan beberapa metode praktis yang dapat dipakai oleh individu saat mengalami hal sulit. Salah satu hal yang menarik adalah tidak semua kata kata positif yang diucapkan berdampak positif. Ada saatnya yang diperlukan adalah penerimaan diri.

Penerimaan diri yang dimaksud adalah menerima dengan penuh kasih sayang bahwa sebagai manusia mendapatkan hal buruk adalah sebuah keniscayaan. Dengan penerimaan ini maka individu dewasa awal akan melihat fenomena yang ia alami bukan hanya milik dirinya. Hal buruk ini dapat juga menimpa orang lain yang seusia dengan dirinya. Hal ini membuat ia terlepas dari pikiran buruk dan merasa kesepian.

Pada posisi ini bicara hal yang positif justru menjadi kontra produktif karena individu merasa hal ini sedang tidak relevan dengan kondisi yang dialami. Ia menyadari bahwa kondisi ini memang tidak baik atau buruk. Yang dibutuhkan bukan menghindari atau mengatakan hal positif, namun menerima dulu kondisi saat ini, lalu mencari hal baik yang dapat dipelajari dari kondisi buruk tersebut.

Wyatt (2024) memberikan perhatian pada penekanan berlebihan pada berpikir positif hingga meniadakan pengalaman emosional yang sebenarnya. Hal ini cenderung berbeda dengan healthy positivity yang mengakui seluruh spektrum emosi. Proses mengakui seluruh spektrum emosi akan lebih menurunkan kecemasan dan memicu ketahanan emosional. Putra dkk. (2023) menjelaskan secara lebih dalam alasan kata kata positif ini menjadi racun dan kurang bermanfaat bagi individu karena kalimat ini mempunyai maksud untuk tidak mengakui emosi negatif. Proses meniadakan emosi negatif menjadi kontra produktif untuk meningkatkan resiliensi saat mengalami hal buruk.

Jadi tidak selamanya berkata positif pada diri sendiri adalah hal yang baik. Anda harus dapat melihat konteks dari situasi yang dihadapi. Tekanan untuk selalu bahagia bisa jadi merupakan hal yang menjadikan anda lebih rentan saat menghadapi hal yang buruk (Mahdiani & Ungar, 2021). Kalimat positif atau positive self talk berfungsi dengan optimal ketika diiringi dengan sikap welas asih dan penerimaan diri terhadap seluruh spektrum emosi termasuk emosi negatif.

 

Daftar Pustaka

Brinthaupt, T. M., Hein, M. B., & Kramer, T. E. (2009). The self-talk scale: Development, factor analysis, and validation. Journal of personality assessment91(1), 82-92.

Coulson, R. (2006). Resilience and self-talk in university students.

Mosier, I. T. (2020). Coaching yourself through: Exploring the relationship between positive self-talk and resilience. Southern Illinois University at Carbondale.

Mukhlis, Annisa Fauziah (2023) Hubungan Mindfulness Dan Positive Self Talk Dengan Resiliensi Pada Individu Dewasa Awal Di Jabodetabek. S1 thesis, Universitas Mercu Buana Jakarta.

Mahdiani, H., & Ungar, M. (2021). The dark side of resilience. Adversity and Resilience Science2(3), 147-155.

Neff, K. D., & Germer, C. K. (2018). The mindful self-compassion workbook: A proven way to accept yourself, build inner strength, and thrive. Guilford Press.                     

 Wyatt, Z. (2024). The dark side of# PositiveVibes: Understanding toxic positivity in modern culture. Psychiatry.