ISSN 2477-1686
Vol. 11 No. 40 Agustus 2025
Altered State of Consciousness pada Fenomena Kerauhan di Bali
Oleh:
Delvia Evelyn dan Laurentius Purbo Christianto
Fakultas Psikologi, Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya
Upacara-upacara keagamaan telah menjadi bagian dari sikap dan cara berpikir masyarakat Bali selama bertahun-tahun (Wisnawa & Fridari, 2021). Sebagian besar kegiatan di Bali berkaitan dengan upacara dan ritual. Salah satu fenomena yang kerap dikaitkan dengan unsur magis serta religi adalah kerauhan. Menganalisis fenomena ini menggunakan perspektif psikologi merupakan hal yang menarik untuk memahami kerauhan dari sudut pandang yang lebih ilmiah. Tujuannya bukanlah untuk menentukan perspektif apa yang lebih benar, tetapi untuk menambah harmonisasi antara budaya, agama, dan science.
Kerauhan
Secara etimologi, kerauhan berasal dari kata rauh dalam bahasa Bali yang artinya “datang”. Selanjutnya, kata rauh ini ditambahkan imbuhan ke- dan -an sehingga menjadi kata kerauhan. Jadi, kerauhan adalah kondisi adanya sesuatu yang datang (Widana & Sadri, 2023; Wirawan, 2020). Sesuatu yang datang ini merujuk pada energi-energi tertentu yang tidak tampak oleh mata dalam suasana sakral. Energi-energi ini dianggap sebagai energi dari suatu sosok misterius yang berasal dari dimensi lain yang dikenal dengan “Ida Bhatara/Dewa” (sesuhunan). Oleh karena itu, kerauhan sangat berkaitan dengan ritual dan bersifat sakral. Kerauhan diyakini sebagai sebuah keadaan yang hadir atas perintah dari roh atau dewa (Wisnawa & Fridari, 2021). Roh atau dewa tersebut bertindak dan turun melalui individu yang sedang mengalami kerauhan. Oleh sebab itu, banyak orang yang menganggap bahwa kerauhan merupakan sebuah jembatan komunikasi yang menghubungkan para makhluk tidak kasat mata dengan manusia.
Kerauhan biasanya terjadi pada saat ritual keagamaan tengah berlangsung di pura. Seseorang yang mengalami kerauhan dianggap sebagai orang yang layak sehingga terpilih untuk “dipinjam” raganya oleh kekuatan-kekuatan tertentu. Agar dapat dikatakan layak, seseorang harus menjalankan proses penyucian diri. Suasana yang sakral merupakan syarat utama dari terjadinya kerauhan. Suasana yang sakral ini diperoleh dari proses penyucian tempat tersebut dan sarana-sarana pendukung, seperti banten (simbol Sang Hyang Widhi), musik dan nyanyian suci (kidung), minuman beralkohol, air suci (tirta), serta asap dan bau harum dari menyan, cendana, atau majegau (Wirawan, 2020). Kerauhan dapat terjadi pada siapa saja, tidak dibatasi oleh umur dan jenis kelamin, asalkan syarat-syarat yang diperlukan telah terpenuhi (Wisnawa & Fridari, 2021). Orang yang mengalami kerauhan biasanya akan berperilaku menyerupai sosok yang memasuki raganya. Hal ini meliputi tutur kata, ekspresi, dan gerak-gerik. Jika seseorang yang kerauhan menampilkan ekspresi wajah yang sangar, mata memerah, tutur kata kasar, dan perilakunya agresif, maka orang tersebut dipercaya telah dimasuki oleh energi yang cenderung negatif. Di sisi lain, apabila orang yang kerauhan menampilkan ekspresi wajah yang teduh dan damai serta ucapannya lembut, maka orang tersebut dipercaya telah dimasuki oleh energi dari sosok yang suci (Widana & Sadri, 2023).
Altered States of Consciousness
Altered state of consciousness (ASC) adalah kondisi kesadaran yang berbeda dengan kondisi sadar yang normal (Wirawan, 2020). Akapo (2020) menjelaskan bahwa ASC adalah perubahan umum dalam pola perilaku sadar seseorang yang biasanya terjadi tanpa disengaja. Pada beberapa kasus, individu mungkin sadar mengenai perubahan tersebut, tetapi tidak dapat melawan apa yang telah menguasainya. Menurut Akapo (2020) ASC dapat disebabkan karena aktivitas ritual atau spiritual.
ASC berkaitan dengan perubahan dari fungsi kognitif yang normal. Individu yang sedang dalam keadaan ASC akan berperilaku lebih aktif atau justru lebih pasif daripada biasanya (Wahab, 2014). Ciri-ciri lain dari seseorang yang mengalami ASC adalah kehilangan kontrol, perubahan ekspresi, perubahan body-image, ketidakmampuan untuk menceritakan perasaannya, merasa seperti terlahir kembali, merespon begitu saja perintah atau permintaan yang diberikan (Wahab, 2014).
Usaha mencapai ASC disebut dengan inducing altered state of consciousness, meliputi usaha secara psikologis dan fisiologis. Induksi yang pertama adalah dengan mengganggu stabilisasi kondisi kesadaran normal, misalnya dengan memberikan atau menghilangkan stimulus tertentu.
Kerauhan sebagai kondisi Altered States of Consciousness
Kerauhan dapat dijelaskan melalui konsep altered state of consciousness. Individu yang mengalami kerauhan sedang berada dalam kondisi kesadaran yang berbeda dari biasanya; hal ini didukung faktor eksternal seperti ritual, musik, bau harum, serta suasana sakral. ASC sering kali dipicu melalui ritual yang melibatkan elemen sensoris seperti musik, nyanyian suci (kidung), dan bau harum. Pada kasus kerauhan, individu mengalami perubahan kesadaran karena proses penyucian dan stimulasi sensoris yang mendalam.
Individu yang mengalami kerauhan biasanya menunjukkan perilaku, ekspresi, serta pola tutur kata yang menyerupai sosok yang dipercayai memasuki raganya. Kondisi ini dapat dikaitkan dengan fenomena disosiasi, di mana seseorang mengalami pemisahan dari kesadaran diri normal dan "mengadopsi" identitas lain sementara. ASC juga menjelaskan bahwa fenomena seperti kerauhan dapat terjadi karena ada sugesti dan harapan sosial dalam komunitas. Keyakinan yang kuat terhadap kehadiran roh atau dewa, serta ekspektasi komunitas, dapat menciptakan kondisi yang memungkinkan terjadinya kerauhan. Pelbagai penjelasan ini menggambarkan bahwa kerauhan terjadi karena adanya kombinasi lingkungan yang menstimulus, individu yang sengaja mencari stimulus, dan adanya “harapan” komunitas yang mendukung.
Referensi:
Akapo, S. S. (2020). Altered State of Consciousness: Dance-Induced Spirit Possession and Trance. Ibadan Journal of Theatre Arts, 13 & 14, 58–71. https://www.academia.edu/download/65411701/ALTERED_STATE_OF_CONSCIOUSNESS_DANCE_INDUCED_SPIRIT_POSSESSION_AND_TRANCE.pdf
Wahab, Z. (2014). Altered State of Consciousness in Karomahan Performance (A Case Study in Pondok Pesantren Rahmatul Ummah Assalafy Jekulo Kudus) [Undergraduate (S1)]. UIN Walisongo.
Widana, I. G. K., & Sadri, N. W. (2023). Marginalisasi Karakter Agamais Menjadi Magis di Kalangan Umat Hindu di Bali. VIDYA SAMHITA: Jurnal Penelitian Agama, 9(2), 83–94. https://doi.org/10.25078/vs.v9i2.3143
Wirawan, K. I. (2020). Karauhan dan Ngiring: Kajian Teologi, Psikologi dan Etnografi (I. E. Ariana, Ed.). Bali Wisdom.
Wisnawa, G. A., & Fridari, I. G. A. D. (2021). Gambaran Dinamika Psikologis dan Konsep Diri Remaja yang Sering Mengalami Kerauhan. Jurnal Psikologi Udayana, 8(2), 85–98. https://doi.org/10.24843/JPU/2021.v08.i02.p10