ISSN 2477-1686  

 Vol. 11 No. 38 Juli 2025

Berkebangsaan sambil Jalan-jalan

Oleh:

Immanuel Yosua1 & Eko A Meinarno2

1Fakultas Psikologi, Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya

2Fakultas Psikologi, Universitas Indonesia 

Pendahuluan

Salah satu isu utama pelarangan study tour oleh Gubernur Jawa Barat, Dedy Mulyadi, adalah dikarenakan muatan study tour yang dianggap lebih banyak bersifat rekreasi daripada edukasi. Lebih lanjut ia menilai kegiatan study tour lebih banyak didominasi kepentingan bisnis dan pariwisata alih-alih edukasi, yang bahkan tak jarang membuat orang tua harus berutang demi membiayai anak ikut dalam kegiatan tersebut (Rachmawati, 2025)Pada sisi sebaliknya Ketua Perhimpunan Usaha Taman Kreasi Bekasi Zakky Afifi memandang kebijakan tersebut memukul aktivitas wisata khususnya pada sektor wisata edukasi yang lebih mentargetkan pelajar (Saubani, 2025). Meskipun secara umum kegiatan berwisata dapat menimbulkan suka cita, kegiatan tersebut bagaimanapun dapat memberikan wawasan baru kepada siswa sekolah (Saubani, 2025). Ketika seseorang berwisata, ia mampu mengembangkan pengenalannya baik terhadap wilayah yang dikunjungi maupun kebudayaan dari tempat-tempat wisata yang ada di sana. Hal ini tentu saja kami duga akan mampu tidak saja meningkatkan kapasitas kognitif seseorang namun juga bagaimana ia dapat mengembangkan insight mengenai bangsanya sendiri. Dengan demikian kami ingin mengakhiri bagian ini dengan sebuah pertanyaan pemantik “Apakah keaktifan berwisata dalam negeri bisa mengembangkan identitas nasional?”

Berwisata Suatu Kesempatan Bertumbuh

Penelitian-penelitian mengenai manfaat berwisata telah banyak dilakukan.  Hasil riset menegaskan bahwa kegiatan berwisata yang dilakukan tidak sekedar dapat berdampak pada munculnya emosi positif, kenyamanan/kenikmatan, namun juga mampu mendorong pertumbuhan pribadi, yang dapat dikategorisasikan ke dalam dua perspektif yaitu hedonik dan eudaimonic (Filep et al., 2024; Kay Smith & Diekmann, 2017; Xu, 2025; Yi et al., 2022). Adapun perspektif hedonik berakar pada filosofi kenikmatan, yaitu mendapatkan kenikmatan sebesar mungkin dan penghindaran penderitaan. Sebaliknya perspektif eudaimonik lebih berorientasi pada realisasi potensial manusia dalam rangka mencapai kebermaknaan hidup, sebagai lawan dari pencarian kepuasan secara ‘vulgar’ (Kay Smith & Diekmann, 2017)Dengan demikian secara khusus pada perspektif eudaimonic, kegiatan berwisata diyakini akan mampu menyediakan suatu kesempatan pembelajaran yang berharga (Elmi et al., 2020), karena terkoneksi dengan perkembangan diri personal dan kebermaknaan (Kay Smith & Diekmann, 2017). Pengalaman-pengalaman seseorang ketika study tour misalnya akan mampu membuat seseorang terpapar dengan berbagai hal baru yang mungkin belum dikenalnya selama ini, yang mampu membuat pengetahuan dan insight-nya bertambah.

Berwisata sebagai Sarana Membangun Wawasan Nusantara

Bagaimana seseorang memandang dan mengenal bangsanya merupakan isu-isu yang berkaitan dengan Wawasan Nusantara. Wawasan Nusantara merupakan sebuah konsep politik kebangsaan Indonesia, yang dalam perkembangannya menjadi suatu konsep kajian dalam bidang psikologi  (Meinarno et al., 2019)Kegiatan berwisata yang dilakukan entah ke kota lain maupun pulau lain, diyakini turut pula membangun Wawasan Nusantara yang dimiliki seseorang. Terkhusus dalam konteks Indonesia, seseorang dapat belajar memahami negara dan bangsanya, dengan beraneka ragam suku bangsa, agama, dan etnisitas yang berbeda, yang memungkinkan seseorang menyadari dan menerima adanya perspektif yang berbeda dari orang lain atau tempat lain, dengan dirinya (Elmi et al., 2020), serta memperkuat identitas nasional yang dimiliki.Di dalam dinamika psikologis ini terdapat kondisi diri yang perlu menerima keberadaan dan eksistensi orang lain/kelompok lain, yang berbeda dengan dirinya. Sebagai contoh seseorang yang berwisata ke Bali, maka wisatawan perlu keterbukaan untuk memahami Bali terlebih dahulu (Meinarno, 2023). Hipotesis kontak perlu dibangun dari keadaan diri yang menerima dan memberi ruang bagi orang lain (Meinarno, 2023). Dalam perkembangan lebih lanjut, penerimaan atas perbedaan (sekalipun ada yang disetujui atau tidak disetujui) itu diikuti dengan pandangan obyektif atas apa yang terjadi. Ini yang selanjutnya kita sebut sebagai toleransi (Mashoedi & Meinarno, 2025).

Kesiapan Diri Wisatawan: Perlu Toleransi

Untuk dapat mencapai pengalaman berwisata yang tidak hanya menyenangkan namun juga bermakna, toleransi dipersyaratkan sebagai modalitas utama. Terlebih lagi dalam konteks Indonesia yang sangat beragam karakteristik tiap-tiap daerahnya, serta dibangun atas dasar ‘kesepakatan bersama’ alih-alih homogenitas (Yosua & Meinarno, 2024). Toleransi dalam hal ini tidak hanya berbicara soal kesediaan hidup berdampingan satu sama lain namun juga penghargaan terhadap perbedaan, sebagai landasan menjaga persatuan bangsa (Azzahra et al., 2024; Mashoedi & Meinarno, 2025)Pembentukan toleransi dengan demikian perlu ditanamkan sejak dini lewat berbagai cara, tidak hanya lewat proses pendidikan formal namun juga keterbukaan untuk menjalin interaksi dengan mereka yang berbeda. Orang tua dengan demikian memiliki peranan signifikan untuk mendukung tercapainya hal tersebut.

Berkebangsaan dengan Cara Mengalami

Kegiatan study tour siswa, jika dirancang dengan baik, dapat menjadi medium pembelajaran kebangsaan yang efektif dan kontekstual. Di luar ruang kelas, siswa berjumpa langsung dengan realitas sosial dan keberagaman budaya yang selama ini hanya dikenalkan lewat buku atau ucapan otoritas, yang kadang tidak sejalan antara kata dan laku. Dalam konteks ini, study tour mempertemukan siswa dengan ruang-ruang simbolik yang merepresentasikan bangsa secara konkret. Di Taman Mini Indonesia Indah, misalnya, siswa menyaksikan anjungan dari berbagai provinsi, yang secara visual dan arsitektural merekam keragaman Indonesia. Di Yogyakarta, Malioboro menjadi tempat di mana berbagai latar belakang bertemu, menyatu dalam keramaian, berbagi ruang, bahkan camilan yang sama—menciptakan pengalaman kebangsaan yang tidak menggurui, tetapi mengalir lewat interaksi.

Gagasan ini selaras dengan pemikiran Edensor  (2002, 2007) yang menekankan pentingnya mobilitas, ruang, dan memori kolektif dalam pembentukan identitas. “Melihat dunia luar” tidak semata soal geografis, melainkan cara baru memahami diri dan kebangsaan dalam lanskap sosial yang dinamis. Study tour memberi siswa ruang-ruang liminal—peralihan dari hanya di ruang kelas atau sekolah ke pengalaman langsung—di mana mereka bisa mengamati, membandingkan, dan merefleksikan nilai-nilai kebangsaan. Melalui pengalaman embodied (hal yang dirasakan/diungkapkan secara konkrit), seperti menatap monumen, menelusuri museum perjuangan, atau menyapa komunitas lokal. Narasi atau rasa kebangsaan tidak lagi hanya dihafal, tetapi dihayati. Dengan demikian, study tour menjadi proses pembentukan identitas kolektif yang tak hanya berbasis kognisi, tetapi juga afeksi dan pengalaman nyata.

Penutup

Kegiatan study tour selain menjadi sarana relaksasi dan hiburan, juga dapat menjadi cara yang efektif dalam memperkuat dan merawat identitas nasional. Dengan berwisata, seseorang dapat memperluas wawasannya mengenai hal-hal yang baru dijumpai di tempat baru, dalam bahasa kerennya adalah wawasan nusantara yang bertambah.  Identitas nasional mau tidak mau ikut terbentuk dari study tour. Hal ini tidak lain dan tidak bukan karena berkebangsaan itu adalah pengalaman, dan pengalaman itu salah satunya adalah study tour.  Sedikit catatan, bahwa perlu ada sedikit modal psikologis dari para siswa. Pertumbuhan diri dan toleransi tanpa harus diajarkan dapat dikembangkan. Yang artinya pengalaman study tour sangat mungkin menjadi pengalaman wisata yang bermakna dan mencerahkan.

Daftar Pustaka:

Azzahra, L., Ardiansyah, R., Kurniasih, L., Nafiza, B., Habibah, A., Pendidikan, J., Madrasah, G., Islam, U., & Sumatera, N. (2024). Toleransi Keanekaragaman Suku dan Budaya Bangsa. Jurnal Ilmu Pendidikan Muhammadiyah Kramat Jati, 5(1), 98–103.

Edensor, T. (2002). National identity, popular culture and everyday life. Berg.

Edensor, T. (2007). Mundane mobilities, performances and spaces of tourism. Social and Cultural Geography, 8(2), 199–215. https://doi.org/10.1080/14649360701360089

Elmi, B., Bartoli, E., Fioretti, C., Pascuzzi, D., Ciucci, E., Tassi, F., & Smorti, A. (2020). Children’s representation about travel: A comparison between what children remember and what children desire. Tourism Management Perspectives, 33(September 2019), 100580. https://doi.org/10.1016/j.tmp.2019.100580

Filep, S., Moyle, B. D., & Skavronskaya, L. (2024). Tourist Wellbeing: Re-Thinking Hedonic and Eudaimonic Dimensions. Journal of Hospitality and Tourism Research, 48(1), 184–193. https://doi.org/10.1177/10963480221087964

Kay Smith, M., & Diekmann, A. (2017). Tourism and wellbeing. Annals of Tourism Research, 66, 1–13. https://doi.org/10.1016/j.annals.2017.05.006

Mashoedi, S. F., & Meinarno, E. A. (2025). Toleransi. Dalam Pezan klazik untuk gen Z (E. A. Meinarno & Rocky (eds.)). Rajawali Pers.

Meinarno, E. A. (2023). Ruang Jumpa Itu Perlu Diperkenalkan Sejak Dini. Buletin KPIN, 9(14). https://buletin.k-pin.org/index.php/arsip-artikel/1336-ruang-jumpa-itu-perlu-diperkenalkan-sejak-dini.

Meinarno, E. A., Putri, M. A., & Fairuziana. (2019). Isu-isu kebangsaan dalam ranah psikologi Indonesia. In E. A. Meinarno & S. El Hafiz (Eds.), Psikologi Indonesia. Rajawali Pers.

Rachmawati. (2025, March 25). Gubernur Jabar Dedi Mulyadi Tegaskan Larangan Study Tour, Sebut Lebih Banyak Unsur Bisnis  . Kompas.Com.

Saubani, A. (2025, June 2). Study Tour Dilarang KDM, Perhimpunan Usaha Taman Kreasi Bekasi: Banyak yang Kacau. Republika. https://news.republika.co.id/berita/sx88t8409/study-tour-dilarang-kdm-perhimpunan-usaha-taman-kreasi-bekasi-banyak-yang-kacau-part2

Xu, P. (2025). Exploring the influence of situational interest on outdoor tourists’ hedonic and eudaimonic well-being. Frontiers in Psychology, 16(January). https://doi.org/10.3389/fpsyg.2025.1283929

Yi, X., Fu, X., Lin, V. S., & Xiao, H. (2022). Integrating Authenticity, Well-being, and Memorability in Heritage Tourism: A Two-Site Investigation. Journal of Travel Research, 61(2), 378–393. https://doi.org/10.1177/0047287520987624

Yosua, I., & Meinarno, E. A. (2024). Sumpah Pemuda dan Identitas Nasional. Buletin KPIN, 10(20). https://buletin.k-pin.org/index.php/arsip-artikel/1644-sumpah-pemuda-dan-identitas-nasional