ISSN 2477-1686
Vol. 11 No. 30 Maret 2025
Mengenali Quiet Quitting pada Karyawan Gen Z: Tidak Kerasan, Ogah Pindah
Oleh:
Carolina Margaretha, Hana Panggabean
Fakultas Psikologi, Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya
Apakah kamu sering merasa tidak termotivasi di tempat kerjamu, jenuh tanpa alasan jelas, tetapi tidak ingin pindah kerja juga, tidak mau cari lowongan kerja? Mungkin kamu mengalami yang dikenal sebagai quiet quitting.
Quiet quitting merupakan suatu tindakan yang secara sengaja dilakukan oleh karyawan untuk melakukan hanya kewajiban dasar dari pekerjaannya tanpa adanya upaya untuk memberikan kinerja lebih dari yang diharapkan (Hamouche et al., 2023). Karyawan tidak mengundurkan diri dari pekerjaannya namun membatasi diri untuk bekerja, atau popularnya “bekerja sesuai argo”. Sejumlah ciri quiet quitting antara lain kurangnya motivasi, menurunnya inisiatif, dan menurunnya keterlibatan kerja (work disengagement).
Istilah quiet quitting ini relatif masih baru. Fenomenanya menjadi sorotan global di era pasca pandemi COVID-19. Saat itu terjadi “The Great Resignation”, yaitu sebuah fenomena pengunduran diri karyawan secara massal. Implikasinya, terjadi perubahan dalam kehidupan dunia global yang semakin menuntut produktivitas tinggi dan kompetisi antar karyawan sehingga memberikan dampak negatif bagi moral, kesejahteraan, dan keseimbangan antara pekerjaan dan kehidupan karyawan (Hamouche et al., 2023). Banyak karyawan yang mulai memikirkan ulang tujuan dan prioritas hidup mereka, terutama untuk menghindari stres berlebih dan menyeimbangkan kehidupan pribadi mereka dengan pekerjaan. Bagi mereka yang tidak punya pilihan untuk mengundurkan diri karena alasan ekonomi maupun lainnya, salah satu cara yang dilakukan adalah quiet quitting.
Meskipun fenomena quiet quitting masih baru di dunia kerja, dampaknya tidak main-main. Dalam sebuah survey global oleh Gallup (2023) ditemukan bahwa sebanyak 59% pekerja melakukan quiet quitting dan menyebabkan kerugian finansial sebesar $7.8T dalam skala global. Dampak quiet quitting dirasakan, baik oleh organisasi maupun karyawan, seperti penurunan kinerja, ketidakterikatan karyawan dengan pekerjaannya, penurunan kualitas pelayanan hingga berpotensi memengaruhi produktivitas dan profitabilitas organisasi secara keseluruhan.
Quiet quitting sebenarnya terjadi hampir di seluruh kalangan pekerja, namun istilah ini menjadi populer terutama pada kalangan pekerja Gen Z setelah muncul dalam salah satu platform media sosial TikTok (Serenko, 2024). Generasi Z dikenal sangat mengutamakan work-life balance, dan tidak segan-segan bersikap lugas demi menjaga kualitas well-being mereka. Membatasi diri dari pekerjaan yang memaksa bekerja di luar jam kerja dan secara terbuka mengharapkan penghargaan/apresiasi atas hasil kerja, kerap mengemuka sebagai perilaku yang mencirikan Gen Z (Zulaika, 2023). Ciri lainnya yang menonjol adalah aspirasi tinggi untuk lingkungan kerja yang sehat, ditandai dengan perasaan diperlakukan adil (fairness) dan setara (equality). Di Indonesia sendiri fenomena quiet quitting pada Gen Z sudah banyak ditemukan sebagaimana dilansir oleh beberapa media elektronik (Kumparan, 2024; Liputan6, 2022). Sejumlah kajian ilmiah tentang quiet quitting pada Gen Z sudah ada (Taufik et al., 2024; Pratiwi et al., 2023), namun masih terbatas.
Karyawan yang melakukan quiet quitting dipengaruhi oleh beberapa hal, antara lain beban kerja berlebih, terganggunya work-life balance, dan ketidakpuasan terhadap pekerjaannya. Kepuasan kerja adalah faktor yang secara konsisten terbukti berpengaruh terhadap quiet quitting (Taufik et al., 2024; Pratiwi et al., 2023). Oleh karena itu, solusi untuk meminimalkan quiet quitting banyak berfokus pada peningkatan kepuasan kerja
Studi yang dilakukan penulis menemukan hasil yang menarik. Semata-mata kepuasan kerja ternyata belum memadai untuk menghindari quiet quitting pada karyawan Gen Z. Ada faktor yang lebih kuat perannya terhadap quiet quitting, yaitu organizational justice atau perlakuan adil organisasi terhadap karyawannya (Margaretha, 2025). Selain terbukti dapat memengaruhi quiet quitting secara mandiri, organizational justice juga berperan sebagai penambah kekuatan peran dari kepuasan kerja. Sederhananya, quiet quitting tetap dapat terjadi meskipun karyawan puas dengan pekerjaannya. Quiet quitting dapat diminimalkan jika selain puas, karyawan juga merasa diperlakukan adil oleh organisasi. Sebetulnya temuan ini cukup masuk akal, kepuasan kerja yang berlebih berpotensi membawa ke dalam zona nyaman (comfort zone). Dampaknya, karyawan mungkin bertahan namun tidak berkontribusi lebih.Keluar dari pekerjaan tidak menjadi pilihan karena membuat karyawan harus berubah dan (mungkin) bersaing. Dampak organisasionalnya jelas: kinerja dan produktivitas yang stagnan menghambat laju dan pemenuhan tujuan organisasi.
Khususnya bagi bagi karyawan Gen Z, perlakuan adil organisasi menjadi faktor yang krusial dalam memotivasi untuk memberikan kontribusi yang maksimal. Cakupan organizational justice adalah distributive justice (keadilan distributif) yaitu keadilan pengalokasian imbalan seperti gaji, insentif, atau promosi, procedural justice (keadilan prosedural) yaitu keadilan dalam proses pengambilan suatu keputusan, interactional justice (keadilan interaksional) yaitu keterbukaan manajemen untuk memberikan informasi dan penjelasan terkait suatu keputusan, serta interpersonal justice (keadilan interpersonal) yaitu perlakuan manajemen terhadap karyawan dengan hormat dan bermartabat.
Jadi, bagaimana ya memberikan perlakuan adil pada karyawan itu? Berikut ini adalah sejumlah langkah yang dpt dilakukan Perusahaan:
- Prosedur yang adil dapat dilakukan sejak awal masuk karyawan, melalui proses seleksi karyawan yang adil dengan menggunakan metode screening yang memiliki validitas untuk memprediksi kinerja kandidat seperti performance-based simulation. Proses seleksi yang adil tidak hanya membangun impresi positif dari kandidat, namun juga dapat membentuk hubungan dan kepercayaan kandidat terhadap organisasi.
- Prosedur yang adil dan transparan juga dapat diterapkan dalam menghadapi konflik. Adalah penting untuk memiliki prosedur yang jelas dan adil mulai dari pelaporan hingga penyelesaian konflik, serta melibatkan pihak ketiga yang netral untuk memfasilitasi penyelesaian konflik.
- Keadilan dalam pengalokasian penghargaan/apresiasi dapat terimplementasi dalam proses pendistribusian reward. Perusahaan perlu memerhatikan transparansi proses dan keterbukaan manajemen untuk menerima tanggapan terhadap proses yang dilakukan. Strategi yang dapat dilakukan antara lain menetapkan standar dan prosedur yang adil dan konsisten serta komunikasikan kriteria dan prosedur yang digunakan dalam penentuan reward kepada karyawan.
- Penliaian kinerja yang adil tentunya harus obyektif dan terukur. Strategi yang dapat dilakukan untuk menjaga obyektivitas penliaian kinerja antara lain memberikan informasi yang cukup terkait kriteria penilaian, membukan kesempatan untuk berdiskusi, serta memberikan umpan balik berdasarkan data yang akurat.
Referensi:
Gallup. (2023). Employee Engagement Index Survey, Gallup Management Journal.
Greenberg, J., & Colquitt, J. A. (2005). Handbook of Organizational Justice. USA: Lawrence Erlbaum Associates, Inc.
Hamouche, S., Koritos, C., & Papastathopoulos, A. (2023). Quiet quitting: relationship with other concepts and implications for tourism and hospitality. International Journal of Contemporary Hospitality Management, 35(12), 4297–4312. https://doi.org/10.1108/IJCHM-11-2022-1362.
Margaretha, C. (2025). Pengaruh kepuasan kerja terhadap quiet quitting dengan organizational justice sebagai mediasi pada karyawan generasi Z. [Tesis magister yang tidak diterbitkan]. Fakultas Psikologi, Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya.
Pratiwi, P. E., Stanislaus, S., & Pratiwi, P. C. (2023). The Tendency of Quiet Quitting Workers in Terms of Engagement and Well-Being at Work. Philanthropy: Journal of Psychology, 7(2), 132. https://doi.org/10.26623/philanthropy.v7i2.7905
Serenko, A. (2024). The human capital management perspective on quiet quitting: recommendations for employees, managers, and national policymakers. Journal of Knowledge Management, 28(1), 27–43. https://doi.org/10.1108/JKM-10-2022-0792
Taufik, N., Rosyadi, A., & Aliyuddin, M. (2024). Why millennials and gen Z are silently leaving their jobs? Unraveling the ‘quiet quitting’ trend. Asian Management and Business Review, 4(2), 276–292. https://doi.org/10.20885/AMBR.vol4.iss2.art
Zulaika, J. P. (2023). Pemaknaan Quiet Quitting yang Disebabkan Oleh Kendala Komunikasi Internal Pekerja Generasi Y dan Z (Skripsi, Universitas Multimedia Nusantara)