ISSN 2477-1686
Vol. 10 No. 24 Desember 2024
Kesehatan Mental Pada Usia Lanjut
Oleh:
Yunisa Aryanti Frederik
Program Studi Psikologi, Universitas Pendidikan Indonesia
Masa lanjut usia (lansia) merupakan tahap akhir perkembangan pada daur kehidupan manusia, menurut Undang-undang Nomor 13 tahun 1998 usia lanjut adalah seseorang yang telah mencapai usia 60 tahun ke atas. Menurut Badan Pusat Statistik (BPS) jumlah lanjut usia (lansia) di Indonesia tahun 2023 adalah 29 juta jiwa atau persentase 11,75% dari jumlah pendudukan. Pertumbuhan jumlah lansia diprediksikan akan meningkat setiap tahunnya. Pada tahun 2025 diperkirakan jumlah lansia mencapai 40 juta orang, bahkan di tahun 2050 nanti diperkirakan jumlah lansia di Indonesia akan menjadi 71,6 juta jiwa lebih tinggi dari populasi lansia di wilayah Asia dan global. Dari hasil sensus penduduk tahun 2010, menyatakan bahwa Indonesia saat ini termasuk dalam daftar lima besar negara dengan jumlah penduduk lansia terbanyak di dunia. Penduduk lansia di Indonesia mengalami peningkatan yang cukup berarti selama tiga puluh tahun terakhir dengan populasi 5,30 juta jiwa (sekitar 4,48%) pada tahun 1970, dan meningkat menjadi 18,10 juta jiwa pada tahun 2010 dimana tahun 2014 pendudukan lansia berjumlah 20,7 juta jiwa (sekitar 8,2%) dan diprediksikan jumlah penduduk lansia meningkat menjadi 27 juta pada tahun 2020 (Amalia et al, 2022 ; Misnaniarti, 2017 ; Kemenkes RI, 2020).
Peningkatan populasi penduduk lansia menunjukkan bahwa umur harapan hidup individu lansia juga meningkat, hal ini di satu sisi merupakan indikator keberhasilan pencapaian pembangunan nasional terutama di bidang kesehatan, namun disisi lain juga dapat menimbulkan permasalahan jika penduduk lansia ini tidak mendapatkan layanan kesejahteraan dengan baik. Proses menua (aging) adalah proses alami yang disertai adanya penurunan kondisi fisik, psikologis, maupun sosial yang saling berinteraksi satu sama lain, keadaan ini cenderung berpotensi menimbulkan masalah kesehatan secara umum maupun kesehatan jiwa secara khusus pada lansia (Amalia et al, 2022 ; Qonita et al 2021). Menurut Erikson terdapat delapan tahapan perkembangan manusia, masa lanjut usia berada pada fase kedelapan, konflik utama dalam tahapan ini adalah integritas versus keputusan dimana seseorang melakukan pandangan hidup dengan mencerminkan pada pengalaman, evaluasi, penafsiran akan terjadinya perubahan dalam hidup (pensiun, penyakit, kebutuhan merawat diri, dan kehilangan pasangan) (Shalafina et al, 2023). Serta dari penurunan kondisi fisik menyebabkan individu lansia cenderung mengalami kemunduran dari segi penglihatan, pendengaran, dan yang lebih rentan mengalami berbagai penyakit termasuk penyakit-penyakit degeneratif. Data dari Riskesdas 2013 (Amalia et al, 2022) menyatakan bahwa penyakit yang banyak terjadi pada kelompok lansia adalah kelompok penyakit tidak menular (PTM) seperti hipertensi, stroke, arthritis, penyakit paru obstruktif kronik (PPOK), dan diabetes mellitus (DM). Saat memasuki lanjut usia juga terjadi perubahan pada struktur otak yang dapat mempengaruhi kerja organ-organ dan cara berpikir serta perilaku. Masalah-masalah umum yang kerap dihadapi individu lansia diantaranya : 1). Penurunan kemampuan fisik dan psikis yang memicu ketergantungan kepada orang lain, 2). Ketidakjelasan sumber ekonomi yang menyebabkan perubahan pada pola hidup, 3). Tidak ada atau terbatasnya lingkungan pertemanan yang baru sebagai pengganti teman-teman yang telah meninggal dunia, 4). Terbatasnya aktivitas baru untuk mengisi waktu luang, 5). Perubahan hubungan dengan anak yang telah beranjak dewasa atau mandiri dan berkeluarga sendiri. Semua hal ini dapat berimbas pada semakin memburuknya kondisi psikis atau kejiwaan lansia yang akhirnya akan menurunkan kualitas hidup (Amalia et al, 2022 ; Qonita et al, 2021). Hal ini disebabkan karena usia lanjut mengalami kesulitan dalam penyesuaian diri dan asing dengan lingkungan sosialnya, padahal salah satu tugas lanjut usia adalah membentuk hubungan dengan lingkungan sosialnya dan menyesuaikan diri dengan peran sosialnya. Lanjut usia sebagai kelompok masyarakat yang paling rentan dan memiliki resiko paling tinggi dibandingkan yang lainnya, karena adanya perubahan kondisi fisik, sosial, dan psikologis serta penurunan produksi hormon dalam tubuh yang berakibat menurunnya fungsi organ-organ didalam tubuhnya.
Masalah kesehatan lain yang dialami yaitu masalah gizi, depresi, penyakit kronis, serta masalah ketidakmandirian dalam melakukan aktivitas sehari-hari. Masalah tersebut merupakan faktor resiko terjadinya gangguan kesehatan mental (Shalafina et al, 2023 ; Nurti et al, 2022). Lansia juga akan mengalami banyak perubahan akibat resesi fungsi tubuh, perubahan psikologis merupakan salah satu perubahan yang dapat mempengaruhi kesehatan mental pada lansia (Shalafina et al, 2023 ; Muna et al, 2020). Kesehatan mental adalah suatu keadaan seseorang dibebaskan dari segala bentuk gejala gangguan mental, seseorang yang sehat mental dapat menjalani kehidupan dan mampu menyesuaikan diri dalam menghadapi masalah dengan baik (Shalafina et al, 2023 ; Masyah, 2020). Faktor-faktor yang mempengaruhi kesehatan mental pada lansia yaitu, persepsi yang dimiliki individu, dukungan dari orang terdekat, latar belakang demografi, kedekatan dengan Tuhan, kesibukan, kualitas hidup, kesehatan fisik, lingkungan dan faktor sosial ekonomi, (Shalafina et al, 2023 ; Widyaningsih, 2013). World Health Organization (WHO, 2017) prevalensi global gangguan mental pada lansia didapatkan hasil sebanyak 61,6% menurut National Alliance of Mental Illness (NAMI) diperkirakan orang dewasa berusia lebih dari enam puluh tahun banyak menderita gangguan mental atau neurologis. Gangguan neuropsikiatri yang paling umum dari kelompok lansia adalah demensia dan depresi dan gangguan kecemasan mempengaruhi 3,8% populasi lansia, masalah penggunaan narkoba mempengaruhi hampir 1% dari total populasi lansia, dan hampir seperempat kematian yang terjadi pada lansia dikarenakan perbuatan menyakiti diri sendiri yang dilakukan oleh lansia (Qonita & Isfandiari, 2015 ; World Health Organization, 2013).
Menurut Depkes RI (2019) prevalensi gangguan mental emosional yang menunjukkan gejala-gejala depresi dan kecemasan 6,1% dari jumlah pendudukan di Indonesia, sedangkan prevalensi gangguan kesehatan mental berat seperti skizofrenia mencapai 400 orang. Hasil penelitian yang dilakukan Wu et al, (2020) 10-20% lansia mengalami depresi yang disertai kecemasan. Depresi dan kecemasan merupakan masalah kesehatan mental yang mempengaruhi peningkatan jumlah disabilitas dan kematian pada lansia. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Setyarini et al (2022) ; (Shalafina et al, 2023) menunjukkan bahwa 35,8% lansia memiliki tingkat kecemasan sedang, 24,5% lansia memiliki tingkat kecemasan berat, 24,5% sangat berat, dan 32,1% lansia berada pada tingkat depresi sedang. Hasil penelitian juga menemukan faktor terjadinya gangguan kesehatan mental dikarenakan faktor pekerjaan, tingkat pendidikan yang rendah, kondisi kesehatan fisik yang menurun, dan faktor ekonomi. Gangguan pada kesehatan mental dapat menyebabkan dampak bagi lansia, yaitu dapat menurunkan kemampuan lansia dalam melakukan aktivitas sehari-hari, menurunkan kemandirian, menurunkan kualitas hidup lansia, dan dapat menyebabkan disabilitas (Shalafina et al, 2023 ; Hany, 2018). Kesehatan mental merupakan bagian penting untuk mencapai kesehatan secara menyeluruh. Kesehatan mental yang baik dapat memenuhi potensi diri seseorang, dapat bekerja secara produktif, mengatasi tekanan kehidupan yang baik, dan dapat beradaptasi dengan lingkungan. Masih adanya stigma dan diskriminasi terhadap orang yang mengalami gangguan mental di Indonesia yang menyebabkan orang dengan gangguan mental mengalami perlakuan dan penanganan yang salah. Oleh karena itu, setiap individu, keluarga, dan masyarakat memerlukan strategi yang baik dalam menangani individu dengan gangguan mental
Kesehatan Mental
Kesehatan mental individu berhubungan dengan beberapa hal, yang pertama bagaimana seseorang merasakan, memikirkan, dan menjalani kehidupan sehari-hari, kedua bagaimana seseorang memandang diri sendiri dan orang lain, dan ketiga bagaimana seseorang mengevaluasi berbagai alternatif solusi dan bagaimana mengambil keputusan terhadap keadaan yang dihadapi (Fakhriyani, 2019 ; Yusuf, 2011). Kesehatan mental merujuk pada seluruh aspek perkembangan manusia, baik perkembangan fisik maupun psikis. Kesehatan mental juga meliputi upaya dalam mengatasi stres, ketidakmampuan dalam menyesuaikan diri, berkaitan dengan pengambilan keputusan, dan bagaimana hubungan dengan orang lain.
World Health Organization (WHO) mendefinisikan kesehatan mental sebagai kondisi kesejahteraan individu yang menyadari potensinya sendiri, dapat mengatasi tekanan hidup yang normal, dapat bekerja secara produktif, dan mampu memberikan kontribusi bagi kelompoknya. Kesehatan mental pada setiap individu berbeda serta mampu beradaptasi dengan perkembangan, karena pada hakikatnya individu dihadapkan pada kondisi dimana individu harus harus menyelesaikan berbagai penyelesaian alternatif pemecahan. Adakalanya, tidak sedikit orang yang pada waktu tertentu mengalami masalah-masalah kesehatan mental dalam kehidupannya. Menurut Darajat (dalam Fakhriyani, 2109) kesehatan mental merupakan keharmonisan dalam kehidupan yang terwujud antara fungsi-fungsi jiwa, kemampuan menghadapi masalah dalam hidup, serta merasakan kebahagian yang positif, selanjutnya kesehatan mental juga merupakan kondisi dimana individu terhindar dari gejala-gejala gangguan jiwa (neurose) dan dari gejala penyakit jiwa (psychose). Orang yang sehat mentalnya ialah orang yang dalam ruhani atau dalam hatinya selalu merasa tenang, aman, tentram. Pengertian lainnya tentang kesehatan mental, yakni terwujudnya keserasian yang sesungguh-sungguh antara fungsi-fungsi kejiwaan dan terciptanya penyesuain diri antara manusia dengan dirinya sendiri dan lingkungannya berlandaskan keimanan dan ketaqwaan serta bertujuan untuk mencapai hidup yang bermakna dan bahagia dunia dan akhirat (Hasneli 2014 ; Fakhriyani, 2019).
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa kesehatan mental adalah suatu kondisi seseorang yang memungkinkan berkembangnya semua aspek perkembangan, baik fisik, intelektual, dan emosional yang optimal serta selaras dengan perkembangan orang lain, sehingga selanjutnya mampu berinteraksi dengan lingkungan sekitarnya. Gejala jiwa atau fungsi jiwa seperti pikiran, perasaan, kemauan, sikap, persepsi, pandangan dan keyakinan hidup harus saling berkoordinasi satu sama lain, sehingga muncul keharmonisan yang terhindar dari segala perasaan ragu, gundah, gelisah dan konflik batin.
Lanjut Usia
Menurut Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1998 definisi lanjut usia adalah seseorang yang telah berusia enam puluh tahun keatas. Lanjut usia merupakan kelompok umur pada manusia yang telah memasuki tahapan akhir dari fase kehidupannya. Kelompok yang dikategorikan lanjut usia ini akan terjadi suatu proses yang disebut aging process atau proses penuaan. Hal tersebut disebabkan seiring meningkatnya usia sehingga terjadi perubahan dalam struktur dan fungsi sel, jaringan, serta sistem organ. Perubahan tersebut pada umumnya mengarah pada kemunduran kesehatan fisik dan psikis yang pada akhirnya akan berpengaruh pada ekonomi dan sosial lansia (Tristanto, 2020 ; Fatmah, 2010). Dalam Affandi (2009) secara individu, seseorang disebut sebagai lansia jika telah berumur 60 tahun ke atas (di negara berkembang) atau 65 tahun keatas (di negara maju). Di antara lansia yang berusia 60 tahun ke atas dikelompokkan lagi menjadi young old (60-69 tahun), old (70-79 tahun) dan old-old (80 tahun ke atas). Dari aspek ekonomi, lansia (60 tahun ke atas) dikelompokkan menjadi (1) lansia yang produktif yaitu lansia yang sehat baik dari aspek fisik, mental maupun sosial; dan (2) lansia yang tidak produktif yaitu lansia yang sehat secara fisik, tetapi tidak sehat dari aspek mental dan sosial; atau sehat secara mental tetapi tidak sehat dari aspek fisik dan sosial; atau lansia yang tidak sehat baik dari aspek fisik, mental maupun sosial.
Lanjut usia merupakan suatu proses alam yang tidak dapat dihindarkan dan merupakan ketentuan dari Tuhan, sehingga setiap orang pada saatnya akan mengalaminya. Selain itu, pada masa tersebut akan tampak kelemahan seseorang karena mengalami masalah pada aspek fisiologis, psikologis, dan sosial. Hal senada juga disampaikan oleh Rita (2008) dalam (Tristanto, 2020 yaitu menjadi tua ditandai oleh kemunduran biologis yang terlihat dari gejala kemunduran fisik, di antaranya adalah tumbuhnya uban, kulit yang mulai keriput, penurunan berat badan, tanggalnya gigi sehingga mengalami kesulitan makan, penglihatan dan pendengaran berkurang, mulai lelah dan terjadi timbunan lemak terutama di bagian perut dan pinggul. Selain itu juga muncul perubahan yang menyangkut kehidupan psikologi lanjut usia, seperti perasaan tersisih, tidak dibutuhkan lagi, ketidakikhlasan menerima kenyataan baru, misalnya penyakit yang tidak kunjung sembuh atau kematian pada pasangan.
Bahan Literatur
Pengumpulan data berasal dari kajian literatur review dari artikel yang akses melalui “google scholar” dengan kata kunci “kesehatan mental pada lanjut usia”. Teknik yang digunakan dalam pengumpulan data dalam literatur review ini yang dilakukan menggunakan data sekunder dengan mengumpulkan data secara tidak langsung yang berhubungan dengan penelitian tentang kesehatan mental pada lansia.
Kesimpulan
Kesehatan mental pada seorang lanjut usia sangat penting untuk kualitas hidup yang baik. Pada usia lanjut banyak perubahan yang terjadi dari masa dewasa seperti perubahan fisik, kehilangan orang terdekat, pensiun, atau masalah kesehatan fisik dapat mempengaruhi kesejahteraan psikologis seseorang. Beberapa kondisi yang sering terjadi pada lanjut usia terkait dengan kesehatan mental antara lain depresi, kecemasan, dan gangguan kognitif seperti demensia.
Penting untuk memahami bahwa kesehatan mental lansia tidak hanya dipengaruhi dari faktor biologis, tetapi juga dari dukungan sosial dan keterlibatan dalam aktivitas sosial. Aktivitas fisik yang teratur, hubungan sosial yang baik, serta rutinitas yang positif dapat memperlambat penurunan kognitif dan membantu menjaga kesehatan mental. Pencegahan dan penanganan masalah kesehatan mental pada lansia memerlukan perhatian yang lebih besar dari keluarga, masyarakat, dan profesional kesehatan. Pemberian dukungan emosional, pemahaman, dan intervensi yang tepat dapat membantu lansia merasa lebih dihargai dan mengurangi rasa kesepian yang sering kali menjadi penyebab utama gangguan mental pada usia lanjut
Referensi:
Affandi, M. (2009). Faktor-faktor yang mempengaruhi penduduk lanjut usia memilih untuk bekerja. Journal of Indonesian Applied Economics, 3(2).
Akbar, M. (2019). Kajian Terhadap Revisi Undang-Undang No. 13 Tahun 1998 Tentang KesejahteraanSosial Lanjut Usia. Jurnal Mimbar Kesejahteraan Sosial, 2(2).
Amalia, E., Putri, N. N. G., Fatrullah, S. P., Jauhari, P. J., & Wulandari, H. (2022). Edukasi dan Pemeriksaan Kesehatan Umum, Mata, serta Jiwa pada Lansia di Panti Sosial Lanjut Usia Mandalika. Jurnal Pengabdian Magister Pendidikan IPA, 5(4), 468-473.
Fakhririyani, D.V. (2019). Kesehatan Mental. Pemekasan : Duta Media Publishing.
https://www.bps.go.id/id/publication/2023/12/29/5d308763ac29278dd5860fad/statistik-penduduk-lanjut-usia-2023.html.
Qonitah, N., & Isfandiari, M. A. (2015). Hubungan antara imt dan kemandirian fisik dengan gangguan mental emosional pada lansia. Jurnal Berkala Epidemiologi, 3(1), 1-11.
Shalafina, M., Ibrahim, I., & Hadi, N. (2023). Gambaran Kesehatan Mental Pada Lanjut Usia. Jurnal Ilmiah Mahasiswa Fakultas Keperawatan, 7(4).
Tristanto, A. (2020). Dukungan kesehatan jiwa dan psikososial (dkjps) dalam pelayanan sosial lanjut usia pada masa pandemi Covid-19. Sosio Informa, 6(2), 205-222.