ISSN 2477-1686
Vol. 10 No. 22 November 2024
Modernisasi Keluarga Jawa: Apakah Nilai Harmonis Masih Relevan?
Oleh:
Yohanes Suwanto1, Pradipta Christy Pratiwi2
1Jurusan Sastra Jawa, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Sebelas Maret
2Program Studi Psikologi, Fakultas Ilmu Pendikan dan Psikologi, Universitas Negeri Semarang
Kajian ilmu sosial budaya mengungkapkan bahwa pernikahan merupakan salah satu tipe kelompok yang terikat pada hubungan darah, baik keluarga inti maupun keluarga besar (Rustina, 2014). Sedangkan dalam kajian psikologi, pernikahan merupakan wujud dari keputusan individu untuk menjalin intimacy dengan lawan jenis sesuai dengan perkembangan psikososialnya (Montgomery, 2005) yang menjadi hal krusial kesejahteraan psikologisnya. Terbentuknya keluarga baru dari sebuah pernikahan memiliki fungsi sebagai pemenuhan tujuan penerus generasi, pewarisan nilai budaya, dan berfungsi untuk sosial edukatif dimana pendidikan pertama anak diperoleh dari orang tua dan bersifat saling mempengaruhi (Supriyono, Iskandar, & Gutama, 2015; Pu & Rodriguez, 2022). Apabila fungsi keluarga ini terganggu akan menyebabkan berbagai permasalahan psikologis (Pu & Rodriguez, 2022).
“Kalau nikah itu bukan hanya dengan orangnya saja, tapi juga nikah dengan keluarganya”, ungkapan ini seringkali kita dengar pada individu yang sudah pada usia siap nikah di Indonesia. Pilihan menikah memang tampak tidak mudah, terlebih sekarang banyak masalah-masalah pernikahan, seperti konflik dengan keluarga besar (Sari & Puspitawati, 2017; Allen, Blieszner, & Roberto, 2011), pengasuhan anak (Pratiwi & Yustitia, 2024; Gao, et al., 2022), perselingkuhan (Pramudito & Minza, 2021; Buss & Shackelford, 1997; Fincham & May, 2017), hingga perceraian (Bonner, et al., 2024; Hansson & Laidmäe, 2014). Masalah-masalah pernikahan tersebut, secara langsung atau tidak, membuat individu yang sudah cukup usia justru memutuskan untuk tidak menikah atau menunda pernikahan (Himawan, 2019). Pernikahan di Indonesia, terkhusus masyarakat Jawa memang melekat konsep extended family. Kedua, pergeseran pada penerapan patriarkhi menuju konsep parental family (Aini, 2023). Memahami penjelasan tersebut, definisi masyarakat Jawa saat ini pasti mengalami pergeseran yang mendalam baik pada pada tataran beliefs dan juga kebiasaan hidup yang dijalani. Keberagaman keluarga Jawa tidak bisa dipungkiri, namun nilai kebijaksanaan yang dianut dan masih bertahan hingga sekarang tentu saja tetap bisa dikaji.
Kajian psikologi budaya jawa menekankan pentingnya “nilai persatuan” dalam keluarga jawa. Nilai inilah yang diwariskan turun temurun agar setiap anggota keluarga berusaha membangun hubungan yang rukun di tengah keluarga, atau disebut juga dengan hubungan yang harmonis dan selaras (Magnis-Suseno, 1984). Ungkapan frontal untuk mengekspresikan emosi marah atau emosi negatif jarang terjadi pada keluarga jawa, sedangkan pandangan orang lain terhadap keluarga mereka menjadi hal penting dan diresapi (Wewenkang & Moertedjo, 2016).
Kestabilan atau harmonisasi merupakan identitas yang dipegang teguh oleh kebanyakan orang Jawa hingga kini. Keselarasan antara emosi dan pikiran, bersikap tenang dan berhati-hati sebagai strategi regulasi emosi yang dimiliki (Magnis-Suseno, 1984), sehingga menghindari perselisihan dan konflik. Agar tercipta kesepakatan bersama, orang Jawa berani untuk mengalah yang berarti juga melepaskan kepentingan-kepentingan pribadi. Karena dalam konsep Jawa, “ngalah ora berarti kalah”, yang artinya masyarakat jawa percaya bahwa pihak yang mengalah sesungguhnya lebih terhormat dan jauh lebih mulia (Azizah & Pudjiati, 2020). Apabila terdapat kepentingan yang saling bertentangan maka masyarakat Jawa menggunakan teknik kompromi tradisional sehingga tidak menimbulkan konflik, sedangkan ambisi pribadi tidak akan ditampilkan (Magnis-Suseno, 1984; Azizah & Pudjiati, 2020; Wewengkang & Moordiningsih, 2016).
Internalisasi nilai harmonis dapat dicapai dengan membiasakan olah rasa dan olah pikir. Olah rasa dan olah pikir berperan penting agar ketika terjadi konflik, tidak ada kondisi memendam emosi negatif yang disadari ataupun tidak disadari. Pada kajian psikologi, situasi ini erat kaitannya dengan cognitive re-appraisal yang menjadi salah satu strategi regulasi emosi (Ya-Xin & Bin, 2023). Cognitive re-appraisal merupakan kondisi ketika individu mampu menerima situasi atau emosi negatif dan mengubahnya dalam perspektif yang lebih positif (Gross, 2001; Dalimunthe & Nasution, 2023), sehingga individu mampu mengeliminasi pikiran yang maladaptive (Ya-Xin & Bin, 2023). Cognitive re-appraisal ini seringkali dipakai dalam kehidupan sehari-hari oleh masyarakat Jawa, ketika menghadapi emosi negatif maka masyarakat Jawa kembali berpikir untuk menentukan tindakan yang akan dilakukan. Tentu saja hal ini sangat memerlukan kapasitas kognitif yang memadai agar individu mengevaluasi kembali stimulus atau emosi yang dialami tadi sehingga memunculkan keharmonisan dalam interaksi sosialnya.
Jika ada pertanyaan apakah nilai harmonis ini relevan untuk keluarga masa kini, maka penulis menjawab masih relevan. Implementasinya dalam kehidupan berkeluarga adalah pasangan suami istri perlu berefleksi terhadap nilai kerukunan ini. Memeriksa beliefs dan membiasakan untuk dapat berkompromi. Menjaga keselarasan dalam keluarga, suami atau istri boleh memiliki keinginan pribadi, kemudian jika itu bertentangan, maka bersikap tenang dan berhati-hati dalam bertindak menjadi penting. Perlu adanya kemauan untuk perlahan memahami stimulus masalah yang muncul, mengolah kembali pikiran dan perasaan yang kemudian membantu dalam menentukan tindakan yang tepat dengan tujuan kesepakatan bersama dan keutuhan keluarga.
Referensi:
Aini, K. (2023). Pergeseran ideologi patriarki dalam peran pengasuhan anak pada suami generasi milenial suku jawa. Kritis, 32(2), 176-197, DOI https://doi.org/10.24246/kritis.v32i2p176-197
Allen, K. R., Blieszner, R., & Roberto, K. A. (2011). Perspectives on Extended Family and Fictive Kin in the Later Years: Strategies and Meanings of Kin Reinterpretation. Journal of Family Issues, 32(9), 1156-1177. https://doi.org/10.1177/0192513X11404335
Azizah, L. N., & Pudjiati, S. R. R. (2020). Contribution of Javanese cultural identity mediated by cognitive reappraisal in establishing family resilience in Javanese families. Analitika: Jurnal Magister Psikologi UMA, 12(1), 10-21, DOI:http://dx.doi.org/analitika.v11i1.2815
Bonner, A. J., Smith, N. B., Torres, D. B., & Bradshaw, J. R. (2024). Are the Kids Alright? Helping Children Thrive Through Divorce Using Narrative Therapy. The Family Journal, 32(4), 573-579. https://doi.org/10.1177/10664807241256664
Buss, D. M., & Shackelford, T. K. (1997). Susceptibility to infidelity in the first year of marriage. Journal of Research in Personality, 31(2), 193-221.
Dalimunthe, D. E., & Nasution, F. (2023). The role of cognitive reappraisal and expressive suppression toward self-adjustment among adolescence. Journal of Educational, Health, and Community, 12(2), 403- 419.
Fincham, F. D., & May, R. W. (2017). Infidelity in romantic relationships. Current Opinion in Psychology, 13, 70-74.
Gao T, Liang L, Li M, Su Y, Mei S, Zhou C and Meng X (2022) Latent transitions across perceived parental marital conflict and family cohesion profiles in high school students. Front. Psychol. 13:954825. doi: 10.3389/fpsyg.2022.954825
Gross, J. J. (2001). Emotion regulation in adulthood: Timing is everything. Current Directions in Psychological Science, 10, 214–219. http://dx.doi.org/10.1111/cdir.2001.10.issue-6 .
Hansson, L., & Laidmäe, V.-I. (2014). Surviving Divorce: Reconstruction of Divorce Experiences on the Pages of an Estonian Women’s Magazine. The Family Journal, 22(1), 88-97. https://doi.org/10.1177/1066480713505061
Himawan, K. K. (2019). Either I do or I must: An exploration of the marriage attitudes of Indonesian singles. The Social Science Journal, 56(2), 220-227.
Magnis-Suseno, F. (1984). Etika Jawa: Sebuah analisa falsafi tentang kebijaksanaan hidup Jawa. PT. Gramedia
Montgomery, M. J. (2005). Psychosocial intimacy and identity: From early adolescence to emerging adulthood. Journal of Adolescent Research, 20(3), 346-374. Doi: 10.1177/0743558404273118
Pramudito, A. A., & Minza, W. M. (2021). The dynamics of rebulding trust and trustworthiness in marital relationship post infidelity disclosure. Jurnal Psikoloogi, 48(2), 16-30.
Pratiwi, P. C., & Yustitia, H. (2024). Parenting self-efficacy in term of family structure. Jurnal Psikologi Ulayat, 11(1), 39—54. https://doi.org/10.24854/jpu691
Pu, D. F., & Rodriguez, C. M. (2022). Child and parent factors predictive of mothers’ and fathers’ perceived family functioning. Journal of Family Psychology, 37(1), 1-32. DOI: 10.1037/fam0000971
Rustina. (2014). Keluarga dalam kajian sosiologi. Musawa, 6(2), 287-322. Retrieved from https://media.neliti.com/media/publications/114514-ID-keluarga-dalam-kajian-sosiologi.pdf
Sari, D. P., & Puspitawati, H. (2017). Family conflict and harmony of farmers family. Journal of Family Sciences, 2(1), 28-41.
Supriyono, Iskandar, H., & Gutama. (2015). Pendidikan keluarga dalam pembentukan karakter bangsa. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan: Direktorat Jenderal Pendidikan Anak Usia Dini dan Pendidikan Masyarakat.
Ya-Xin, W., & Bin, Y. (2023). A new understanding of the cognitive reappraisal technique: an extension based on the schema theory. Frontiers in Behavioral Neuroscience, 17, https://www.frontiersin.org/journals/behavioral-neuroscience/articles/10.3389/fnbeh.2023.1174585
Wewenkang, D. B. P., & Moertedjo, M. (2016). Studi fenomenologi konteks budaya jawa dan pengaruh islam: Situasi psikologi keluarga dalam membangun empati pada remaja. Indigenous Jurnal Ilmiah Psikologi, 1(1), DOI:10.23917/indigenous.v1i1.3129