ISSN 2477-1686

Vol. 8 No. 14 Juli 2022

Hujan Kenangan: Resiliensi Terhadap Kenangan Bersama Mantan Yang Berdampak Negatif Pada Emosi

 

Oleh:

Michael Yulian Feno & Fuad Nashori 

Fakultas Psikologi dan Ilmu Sosial Budaya, Universitas Islam Indonesia

 

Salah satu bentuk interaksi dalam kehidupan bersama adalah hubungan romantis (romantic relationship). Dalam hubungan ini, terdapat apa yang kita sebut cinta. Cinta dapat diartikan Williams (2006) sebagai keintiman, kepedulian dan adanya komitmen dalam diri orang tersebut. Sementara, menurut Baron dan Byrne (2000), cinta adalah kombinasi dari emosi atau perasaan, kognisi, dan perilaku pada suatu hubungan, di mana di dalamnya terdapat ikatan yang relatif kekal antara dua atau lebih orang yang menunjukkan kasih sayang dan rasa tanggung jawab satu sama lain.

Menurut Sternberg (1986), hubungan romantis terjalin apabila terdapat kecocokan yang meliputi intimacypassion, dan commitmentIntimacy merupakan komponen emosional individu dalam cinta, seperti perasaan dekat dan lekat yang dirasakan seseorang. Passion merupakan dimensi motivasional dalam cinta, seperti dorongan yang mengarah pada ketertarikan fisik. Sedangkan commitment merupakan suatu komponen kognitif individu dalam cinta, seperti keputusan untuk mencintai seseorang (jangka pendek) dan mempertahankan cinta tersebut (jangka panjang). Hubungan romantis akan terjalin baik apabila terdapat tiga aspek tersebut, sehingga hubungan antar individu terjalin sehat dan tercipta kenangan indah (kebahagiaan) dalam menjalin hubungan.

Pengalaman indah dan bahagia yang tercipta bersama pasangan akan terkenang, sehingga tersimpan di memori. Hal ini terjadi karena otak bagian korteks merekam kenangan indah dalam jangka panjang (Pinel, 2009). Kenangan itu akan berdampak positif terhadap individu, seperti mengalami kebahagian, ketenangan, dan lebih produktif apabila hubungan yang terjalin masih berlangsung baik (Sternberg, 1986). Hal sebaliknya akan terjadi jika kenangan itu masih tersimpan dalam long-term memory namun hubungan sudah berakhir sehingga terbentuk “kenangan bersama mantan”. Hal itu berdampak negatif pada emosi individu. Artis internasional Selena Gomez mengalami depresi bahkan masuk rumah sakit pada saat teringat mantan kekasihnya (Tabloid Bintang, 2018). Hal ini sesuai dengan penelitian Krismiati (2021) bahwa perasaan putus cinta dapat menjadikan kecenderungan depresi. 

 Long-term memory (LTM) merupakan sistem penyimpanan informasi jangka panjang yang dapat diungkap sewaktu-waktu (Sternberg, 2003). Dalam LTM, terdapat informasi yang diatur, disortir, dan didapatkan sehingga mudah ditata menurut petunjuk (clue) tertentu yang dapat dipanggil sewaktu-waktu (Hilgard dkk, 1979). Kenangan yang mulanya indah kemudian menjadi buruk sebab tidak ada kehadiran orang yang yang pernah membersamai. Kenangan itu akan ter-recall kembali ketika berada di tempat tertentu yang pernah dikunjungi bersama mantan. Kenangan-kenangan ini menjadikan emosi negatif, seperti cemas, stres, kecewa, dan menyesal telah kehilangan. Terjadinya emosi negatif dikarenakan individu merasa kehilangan. Loss (kehilangan) keadaan individu ketika berpisah dengan orang yang dicintai sehingga terjadi perubahan dalam hidup yang memicu terjadinya emosi negatif (Santrock, 2012). Peristiwa ini berakibat buruk apabila terjadi terlalu lama pada individu. Tak jarang individu merasa depresi, tidak bersemangat hidup, dan bahkan ada intensi bunuh diri ketika dihadapkan dengan persoalan ini. Kenangan ini tidak bisa dihilangkan begitu saja. Agar tidak terjadi lebih buruk pada individu, maka perlu resiliensi dari keadaan ini.

Resiliensi merupakan kemampuan beradaptasi, bertahan, dan bangkit dari penderitaan yang dialami dengan mengandalkan kekuatan dari dalam diri yang dimiliki untuk mencapai tujuan hidup yang lebih baik (McEwen, 2011). Menurut Benard (2004), aspek resiliensi adalah social competence, problem solving skills, autonomy, dan sense of purpose. Saat terjebak pada kenangan masa lalu yang menjadikan sedih, cemas, kesepian, atau stress, maka perlu bangkit kembali dari keadaan itu. Bagaimana caranya?

Ada lima langkah untuk bangkit kembali. Pertama, individu dapat membangun hubungan dekat dengan teman sebaya seperti jalan-jalan, nongkrong, atau nonton bareng. Dukungan sosial seperti teman, sahabat, atau keluarga dapat meningkatkan resiliensi, sehingga dapat berdamai dengan keadaan yang menyedihkan (Poegoeh & Hamidah, 2016). Secara khusus, Sambu menunjukkan bahwa dukungan sosial dapat mendongkrak resiliensi orang-orang yang mengalami peristiwa traumatis.

Kedua, individu berpikir secara jernih terhadap keadaan tersebut. Tahap ini individu dapat restrukturisasi kognitif (membangun pemikiran) bahwa peristiwa ini (kenangan bersama mantan) merupakan pengalam masa lalu yang tidak menjadi beban. Cara ini dapat meningkatkan resiliensi (Krisnayana dkk, 2014). 

Ketiga, melakukan sesuatu yang disenangi (hobi), seperti nonton film, membaca buku, atau menggambar. Menurut Soedjatmiko (2001), melakukan sesuatu hobi dapat mengurangi rasa gundah dan merasa bahagia. 

Keempat, merencanakan tujuan baru untuk kesejahteraan masa depan, seperti merencanakan pendidikan lanjut, target karir yang lebih tinggi, atau membangun usaha. Memiliki cita-cita, impian, minat merupakan komponen yang menjadikan bahagia (Seodjatmiko, 2001). Bangkit dari perasaan cemas, stres, atau depresi karena teringat kenangan bersama mantan dengan cara bermain dengan teman sebaya, berpikir positif terhadap diri dan masa depan, melakukan hobi, dan merencanakan tujuan baru. 

Kelima, mengembalikan semua urusan kepada Tuhan. Keimanan bahwa Allah menyediakan jodoh terbaik dan tugas manusia adalah mencarinya. Bila gagal melanjutkan romantic relationship, orang yang beriman percaya ada jodoh yang akan hadir di suatu saat. Hasil penelitian Kasen, dkk (2012) menemukan religiustias dapat mengembangkan resiliensi pada orang-orang yang memiliki risiko depresi berat.

 

 

Referensi:

 

Baron, R.A., & Byrne, D. (2000). Social psychology. Pearson Education Company.

 

Hilgard, E. R., Atkinson, R. L., & Atkinson, R. C. (1979). Introduction tpsychology (7 ed.). Harcourt Brace Jovanovich, Inc.

 

Kasen, S., Wickramaratne, P., Gameroff, M., & Weissman, M. (2012). Religiosity and resilience in persons at high risk for major depression. Psychological Medicine, 42(3), 509-519.

 

Krismiati, F. S. (2021). Kecenderungan depresi ditinjau dari kematangan emosi dan perasaan putus cinta pada mahasiswa. UIN Raden Intan Lampung 

 

Krisnayana, T. A., Antari, N. M., & Dantes, N. (2014). Penerapan konseling kognitif dengan teknik restrukturisasi kognitif untuk meningkatkan resiliensi siswa kelas xi ipa 1 SMA Negeri 3 Singaraja. E-Journal Undiksa, 2 (1), 1-10.

 

McEwen, K. (2011). Building resilience at work. Autralian Academic Press.

 

Nashori, H.F. & Saputro, I. Psikologi resiliensi. Universitas Islam Indonesia.

 

Pinel, J, Barnes , S.J. (2019). Biopsikologi (edisi 10).  Pustaka Pelajar.

 

Poegoeh, D. P, & Hamidah. (2016). Peran dukungan sosial dan regulasi emosi terhadap resiliensi keluarga. INSAN, 1 (1), 12-21.

 

Sambu, L. J. (2015). Sucial support in promoting resilience among the internally displaced persons after trauma: A case of Kiambaa village in Uasin Gishu County, Kenya. British Journal of Psychology Research. 3 (3), 23-34.

 

Santrock, J. W. (2012). Life span development : Perkembangan masa hidup. Penerbit Erlangga

 

Soedjatmiko, N. A. (2001). Bagaimana membuat hidup kita jadi lebih bahagia? Bina Grahita Mandiri.

 

Sternberg, R. J. (2003). Cognitive psychology (3 ed.). Wadsworth, a division of Thomson Learning, Inc.

 

Sternberg, R.J. (1986). A triangular theory of love. Psychological Review, 93 (2), 119-135.

 

Tabloid Bintang. (2018, Oktober 16). Mantan kekasih bisa jadi sebab depresi? Tilik kasus Selena Gomez. TEMPO.CO. 

 

William, B.K., Sawyer, S.C., & Wahlstrom, C.M. (2006). Marriages, families, & intimate relationship: a practical intoduction. Pearson.