ISSN 2477-1686

 

Vol. 9 No. 01 Januari 2023

 

Work-Family Conflict Dan Strategi Coping Pada Masa Pandemi Dari Ibu Bekerja Yang Memiliki Anak Dengan Down Syndrome

 

Oleh:

Anastasia Wenardy & Fransisca Rosa Mira Lentari

Fakultas Psikologi, Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya

 

Jumlah anak dengan down syndrome di Indonesia meningkat (Kementerian Kesehatan RI, 2018). Anak dengan down syndrome yang memiliki keterlambatan perkembangan kognitif membutuhkan dampingan orang tua secara intensif (Selikowitz, 2008). Namun, terdapat orang tua bekerja, seperti ibu bekerja yang harus menjalani peran dalam pekerjaan dan keluarga. Risiko penyakit jantung anak dengan down syndrome dan sulitnya mencari tempat terapi di masa pandemi meningkatkan beban ibu bekerja. Jika ibu bekerja tidak dapat menyeimbangkan kedua perannya, maka muncul work-family conflict yang harus diatasi dengan strategi coping yang efektif.

 

Work-family conflict dan strategi coping

Kesulitan menyeimbangkan tuntutan peran yang dimiliki antara pekerjaan dan keluarga berpotensi memunculkan konflik yang disebut dengan work-family conflict (Greenhaus & Beutell, 1985). Work-family conflict terbagi menjadi tiga jenis, yaitu time-based conflict, strain-based conflict, dan behavior-based conflict. Coping adalah segala usaha individu untuk mengatur tuntutan lingkungan dan segala konflik yang muncul. Terdapat dua bentuk coping, problem-focused coping yang terdiri dari dua aspek, yaitu planful problem solving dan confrontive; dan emotion-focused coping yang terdiri dari enam aspek, yaitu self control, distancing, positive reappraisal, accepting responsibility, escape atau avoidance, dan seeking social support (Folkman, dkk., 1986).

 

Metode

Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan pendekatan fenomenologis deskriptif. Partisipan penelitian adalah tiga orang ibu bekerja yang memiliki anak dengan down syndrome usia 4-6 tahun, bekerja full-time di sektor formal, pernah menjalani Work From Home di masa pandemi, dan memiliki suami bekerja. Metode pengumpulan data berupa wawancara semi-terstruktur dan strategi analisis data berupa thematic analysis.

 

Hasil

Ketiga partisipan dan suaminya sudah menerima kondisi anak dengan down syndrome serta memahami keterlambatan perkembangannya. Dua dari tiga partisipan melibatkan religiusitas dalam menerima kondisi anak dengan down syndrome. Mereka merasa bahwa anak merupakan titipan dari Tuhan yang harus dijaga dengan penuh rasa tanggung jawab.

 

Ketiga partisipan mendapatkan dukungan terkait mengasuh anak dengan down syndrome dari lingkungan sekitar, yaitu dari suami, keluarga, dan teman. Selain itu, ketiga partisipan mendapatkan bantuan dari asisten rumah tangga, suster, atau orang tua untuk membantu menyelesaikan pekerjaan rumah tangga dan mengasuh anak dengan down syndrome. Ketiga partisipan merasa akan berhenti bekerja jika tidak mendapatkan bantuan asisten rumah tangga atau orang lain dalam menyelesaikan pekerjaan rumah tangga. Dukungan ini membuat menurunnya dampak negatif dari work-family conflict yang dirasakan oleh ketiga partisipan. Ketiga suami partisipan juga mendukung keputusan partisipan untuk tetap bekerja sambil mengurus keluarga. Dukungan ini menambah kepercayaan diri salah satu partisipan.

 

Ketiga partisipan merasa lebih nyaman bekerja pada situasi WFH karena tidak perlu mempersiapkan diri ke kantor, tidak menghabiskan waktu di jalan karena macet, dan dapat menghabiskan waktu lebih banyak bersama anak. Ketiga partisipan merasa membutuhkan banyak waktu bersama anak, terutama untuk mengulang pembelajaran dan mengikuti tahapan perkembangan anak dengan down syndrome yang lebih terlambat dibandingkan anak pada umumnya. Salah satu partisipan merasa WFH membuat sulit untuk fokus bekerja karena adanya pekerjaan rumah tangga yang ingin diselesaikan. Sementara itu, terdapat satu partisipan yang merasa tidak adanya batasan waktu kerja saat menjalani WFH hingga dirinya harus bekerja hingga malam hari atau di akhir pekan.

 

Ketiga partisipan memiliki peluang untuk berhenti bekerja, namun memutuskan untuk tetap bekerja karena keinginan diri sendiri, seperti memberikan manfaat bagi orang lain, mencapai karir yang diinginkan, memiliki penghasilan sendiri, terbiasa bekerja, berinteraksi dengan orang lain, serta membantu perekonomian keluarga, termasuk membayar biaya terapi anak dengan down syndrome dan membayar gaji suster. Ketiga partisipan merasa bekerja merupakan kegiatan yang menyenangkan.

 

Hubungan keluarga dari ketiga partisipan tetap harmonis, yaitu kedua orang tua bekerja saling komunikatif serta bersedia bekerja sama dalam mengurus rumah tangga dan membesarkan anak. Tidak ada pertengkaran yang membuat hubungan keluarga menjadi tidak erat akibat bekerja atau mengasuh anak dengan down syndrome. Ketiga partisipan selalu memastikan memiliki waktu untuk keluarga walaupun sibuk bekerja. Adanya bantuan dari asisten rumah tangga, suster, atau orang tua membuat partisipan dapat menghabiskan waktu lebih banyak bersama anak.

 

Kesimpulan

Jenis work-family conflict yang dialami oleh ketiga partisipan adalah time-based conflict, yaitu keterbatasan waktu dalam mengerjakan tanggung jawab salah satu peran akibat adanya tanggung jawab dari peran lain. Ketiga partisipan sama-sama mencoba untuk melakukan strategi coping, berupa accepting responsibility dan seeking social support. Dua dari tiga partisipan merasa accepting responsibility efektif dalam membantu mengurangi beban permasalahan yang dihadapi. Sementara itu, strategi seeking social support dianggap efektif oleh ketiga partisipan dalam mengatasi permasalahan work-family conflict.

 

Referensi

 

Folkman, S., Lazarus, R. S., Dunkel-Schetter, C., DeLongis, A., & Gruen, R. J. (1986). Dynamics of a stressful encounter: Cognitive appraisal, coping, and encounter outcomes. Journal of Personality and Social Psychology, 50(5), 992-1003. DOI: 10.1037/0022-3514.50.5.992

Greenhaus, J. H., & Beutell, N. J. (1985). Sources of conflict between work and family roles. Academy of Management Review, 10(1), 76-88.

Kementerian Kesehatan RI. (2018). Laporan Riskesdas 2018.

Selikowitz, M. (2008). Down syndrome (3th ed.). Oxford University Press.