ISSN 2477-1686

Vol. 7 No. 16 Ags 2021

Bagaimana Kaca Mata Psikologi Forensik Memandang Sebuah Kasus? 

 

Oleh:

Ninda Aisi Ratania Putri Pusvitasari

Fakultas Psikologi, Universitas Jenderal Achmad Yani Yogyakarta

 

Psikologi forensik menjadi cabang ilmu yang populer selain dari psikologi klinis,  tugas psikolog forensik ada pada proses peradilan pidana saat pemeriksaan kepolisian, kejaksaan, pengadilan maupun lembaga permasyarakatan. Psikolog diberikan kepada individu yang dibutuhkan keteranganya, untuk memberikan validitas keterangan yang diberikan dari korban, saksi, maupun pelaku. 

 

Tetapi, sesungguhnya klien dari psikolog forensik itu sendiri adalah institusi penegak hukum. Hal ini dilihat dari tujuan psikologi forensik itu sendiri, yaitu membantu penegak hukum untuk mengungkapkan suatu kasus, berupa hasil telaah yang kemudian menjadi rekomendasi yang diberikan kepada penegak hukum untuk kemudian menjadi pertimbangan langkah selanjutnya dalam hukum. Ini menjadi penting, karena penegak hukum tidak dapat menjatuhkan hukuman berdasarkan dugaan dan tebak-tabakan semata, penggunaan psikologi forensik berlaku untuk semua  jenis kasus kejahatan.

 

Termasuk mempertimbangkan apakah pelaku dapat mempertanggung jawabkan apa yang ia perbuat, ini merujuk pada ketentuan dalam Pasal 44 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana menyatakan bahwa seseorang tidak dapat dipidana karena perbuatannya dan tidak dapat dipertanggung jawabkan kepada orang itu berdasar adanya gangguan kejiwaan seorang pelaku. Sehingga dapat ditentukan hukuman apa yang paling tepat diberikan pada pelaku. 

 

Hasil studi (Puspitasari & Rofikah, 2019)  menunjukkan bahwa pelaku dengan gangguan jiwa skizofrenia dalam Putusan Nomor 144/Pid.B/2014/PN.cj terbukti melakukan tindak pidana pembunuhan namun perbuatan terdakwa tidak memenuhi unsur-unsur pertanggung jawaban. Sehingga berdasarkan ketentuan Pasal 44 KUHP, hakim menjatuhkan putusan untuk melepas terdakwa dari segala tuntutan hukum dan memerintahkan kepada Penuntut Umum untuk menempatkan terdakwa di Rumah Sakit Jiwa untuk menjalani perawatan selama 3 bulan.

 

Namun dalam tugasnya, gerak psikolog dalam peradilan terbatas dibanding dengan ahli hukum. Psikolog dapat masuk dalam peradilan sebagai ahli sebagaimana disebutkan dalam ketentuan Pasal 120 ayat (1) dan Pasal 133 ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1981 tentang KUHAP. Tetapi tanpa permintaan dari aparat hukum, psikolog hanya akan tetap berada di luar sistem dan kebanyakan menjadi ilmuwan. 

 

Adapun perbedaan paradigma keilmuan, dimana dalam ilmu hukum ada pengakuan keberlakuan yurisprudensi. Artinya, kasus serupa yang terjadi di masa lalu menjadi rujukan dalam penanganan kasus yang sedang didalami. Sementara, dalam psikologi memandang bahwa setiap perilaku yang terjadi membutuhkan pendekatan ang berbeda. Kasus bisa saja terlihat mirip. Tetapi, ada perbedaan dari psikologis pelaku, saksi, maupun korban.

 

Dalam menguak suatu kasus, psikologi menggunakan pedoman dan prosedur yang namanya dapat disingkat menjadi PEACE yaitu terdiri dari : 

Planning and Preparation, ini merupakan tahap perencanaan asesment baik wawancara dan observasi yang akan digunakan juga memahami situasi psikologis, situasi sosial, dan situasi terkait perkara dalam konteks hukum. Enggagement and Explaining, tahap membangun raport atau kepercayaan sehingga muncul rasa saling terbuka ini penting untuk mendapatkan data selengkap-lengkapnya ketika wawancara dan observasi karena beberapa kasus trauma berat menolak menyampaikan kejadian. Kemudian, Account tahap dimana dilakukannya asesment terhadap subjek. Closure, dimana dilakukannya analisis terhadap data yang diperoleh membangun kesimpulan sesuai dengan tujuan pemeriksaan. Terakhir ada Evaluationmelihat kembali apakah data sudah cukup dan mampu menjawab tujuan pemeriksaan.  

 

Selain menggunakan wawancara dan observasi, psikologi forensik juga dapat mengguanakan alat tes psikologi formal yang sudah baku maupun alat tes psikologi informal yang dirancang sendiri untuk menyesuaikan kebutuhan dari subjek, tetapi tetap mengacu pada alat tes yang sudah baku. 

 

Lalu, psikologi forensik juga dapat melakukan kriminal profiling yaitu strategi mengidentifikasi kemungkinan tersangka dan telah digunakan oleh penyidik ​​untuk menghubungkan kasus-kasus yang mungkin dilakukan oleh pelaku yang sama dan otopsi psikologi berdasarkan sumber bukti tidak langsung yaitu catatan yang ditinggalkan, data yang diperoleh dari teman keluarga korban atau teman kerja. Dalam praktiknya tersebut psikologi forensik memiliki kode etik yang dipegang selama menjalani tugas sesuai dengan yang diatur dan dibuat oleh HIMPSI. Sehingga psikologi forensik sangat lah penting dan butuh dilibatkan dalam setiap kasus kejahatan juga hukum.  

 

 

Referensi:

 

Puspitasari, I., & Rofikah. (2019). Pertanggung Jawaban Tindak Pidana Pembunuhan Dengan Mutilasi Yang Mengidap Gangguan Jiwa Skizofrenia Studi Putusan NO 144/PID.B/2014/PNCJ. Recidive. 8 (2). 101-110.