ISSN 2477-1686
Vol. 7 No. 3 Februari 2021
Between Intimacy and Privacy:
Meningkatkan Ketahanan Keluarga dan Ketangguhan Pasangan
oleh
Arie Rihardini Sundari, S. Psi., M. Si.
Fakultas Psikologi, Universitas Persada Indonesia Y. A. I
Hubungan suami istri yang harmonis dan bahagia tentunya menjadi harapan ideal bagi setiap pasangan saat memulai membangun rumah tangga. Namun keinginan dan kenyataan tidak selalu berjalan beriringan, konflik dan perseteruan kekuasaan menjadi ujian dan halangan dalam hubungan berpasangan. Buntunya jalan keluar atas permasalahan keluarga yang menerpa, perselingkuhan yang mengemuka perlahan, pertengkaran yang tidak terelakkan, hingga akhirnya perceraian tak terhindarkan. Terlebih pandemi Covid-19 berdampak pada kesehatan mental tiap anggota keluarga, bahkan kehidupan perekomian dan kehidupan berkeluarga secara menyeluruh, (Qiu dkk, 2017; Zang & Ma, 2020).
Kehidupan pernikahan yang selayaknya penuh dengan hubungan intimasi (intimate relationship), terlebih ketika sering kali bertemu, tidak serta-merta mudah dalam kenyataannya. Jarak dan waktu, yang dahulu sebelum pandemi Covid-19 menjadi kendala dalam sebuah hubungan, kini justru dirindukan. Jenuh, terlebih semenjak pembatasan sosial berskala besar diterapkan sehingga tidak memungkinkan untuk melepas penat menghirup suasana beda di luar rumah. Kebosanan dan kejenuhan karena sering kali berpapasan, menyebabkan mudah konflik. Beda pendapat melahirkan adu argumentasi, beda persepsi menimbulkan kesalahpahaman, di mana eskalasinya demikian cepat. Stress coping dengan berbagai cara dicoba, tidak juga mengatasi tuntas. Hingga akhirnya perpisahan adalah jalan keluar terbaik demi kebaikan dan kesehatan mental seluruh keluarga. Perpisahan dan kekerasan selama pandemi tidak terelakkan, (Evans dkk, 2020; Balzarini dkk, 2020; Savage, 2020, Chaterine, 2020).
Sementara di keluarga yang berbeda, punya kisah yang lain. Dengan mempergunakan waktu maksimal yang selama ini tidak dapat dilakukan, menjadi alasan tepat untuk bermesraan bagi satu pasangan. Memanfaatkan momen, mengurai kebersamaan di masa lalu, melepas kerinduan, pada akhirnya berbuah pada tumbuhnya kehidupan baru di rahim seorang istri. Jumlah kehamilan dan kelahiran semasa pandemi meningkat pula, (Kompas.com, 2020).
Dinamisnya hati dan pikiran, keinginan dan perilaku manusia, sehingga bisa menjadikan intimacyberdampak pada kondisi rumah tangga yang berbeda, terkait pandemi Covid-19. Secara umum, melepaskan komitmen pernikahan atau bercerai dari pasangan, dominannya disebabkan adanya faktor kekerasan dalam rumah tangga dan ketidaksetiaan pasangan, (Khumas dkk, 2015). Semasa pandemi Covid-19, penyebabnya mulai dari dampak finansial yang mengakibatkan perselisihan dalam pernikahan, pembagian tugas rumah tangga yang tidak adil bagi wanita bekerja yang bekerja dari rumah, hingga ketegangan psikologis yang mengakibatkan penurunan kualitas hubungan romantis, (Savage, 2020).
Dalam hubungan romantis pada pasangan suami istri, dibutuhkan adanya perekat hubungan yang sering dihubungkan dengan intimasi (intimacy). Intimasi melibatkan berbagi perasaan dan menghadirkan dukungan emosional, keterbukaan diri yang tinggi melalui berbagi informasi tentang pengakuan khusus pada pasangannya, (DeGenova & Rice, 2005). Mengemukakan intimasi melibatkan penerimaan tanpa penghakiman atas pengakuan pribadi seseorang yang diikuti dengan meningkatnya minat, ketertarikan, dan kasih sayang pada seseorang di mana keduanya saling mengakui adanya kesamaan pikiran, perasaan dan pengalaman, (Ponzetti, 2003). Intimasi adalah ikatan, hubungan yang melibatkan perasaan, dukungan dan keterbukaan satu sama lain.
Potensi akan adanya keretakan dalam intimasi justru berasal dari tingginya level intimasi itu sendiri dalam hubungan berpasangan. Sebuah hubungan yang sangat berharga bagi pasangan suami istri melibatkan pula hubungan yang dipenuhi kekerasan, di mana meningkatnya intimasi justru meningkatkan pula penyiksaan, kekerasan dan kekerasan seksual bahkan pembunuhan, (Strong, DeVault, & Cohen, 2011). Untuk dapat memahami kekerasan dan penyiksaan dalam hubungan intim, dibutuhkan pengamatan atas sejumlah perilaku dan berbagai faktor –sosial, psikologis dan budaya– sehingga dapat menjelaskan mengapa seseorang dapat menyakiti pasangan yang paling dikasihinya, terlepas dari jenis kelamin pasangannya, (Eagly, Beall, & Sternberg, 2004). Suami dan istri sepatutnya mengenali diri dan pribadi pasangannya sehingga dapat mengidentifikasi setiap celah dalam hubungan mereka, baik itu penyebab konflik maupun prioritas penyelesaian setiap masalah.
Sejatinya, konflik dan perseteruan kekuasaaan merupakan bagian dari dinamika interaksi dalam keluarga. Oleh karenanya diperlukan penghargaan (respect) dalam pemenuhan cinta seseorang pada pasangannya, (Fromm dalam DeGenova & Rice, 2005), dengan demikian setiap pasangan akan menjaga privasi masing-masing sebagai bagian dari pertumbuhan pribadi. Penghargaan pada privasi masing-masing pasangan akan membentuk suatu regulasi intimasi, yaitu suatu upaya untuk menyeimbangkan antara intimasi dan risikonya, berdasarkan kapasitas dan preferensi penghargaan intimasi individual dan disertai dengan kekuatan hubungan keduanya, (Ponzetti, 2003). Sehingga tiap pasangan diharapkan akan dapat memenuhi komponen-komponen intimasi, diantaranya adalah commitment, affective intimacy, cognitive intimacy, physical intimacy dan mutuality, (Moss & Schwebel dalam DeGenova & Rice, 2005). Keterbukaan diri dan terbuka akan masukan dari orang tua sebagai pasangan yang lebih berpengalaman, akan meningkatkan pula intimasi pasangan, (Isrofi & Sundari, 2020). Komunikasi yang terjalin efektif akan berdampak pada kemampuan penyelesaian masalah pada pasangan tersebut yang kemudian akan berproses sehingga menjadi pasangan yang tangguh (couple resilience).
Aydogan dan Kizildag, (2017) mengemukakan konsep ketangguhan pasangan sebagai relational resilience.Konsep tersebut terkait dengan konsep penguatan dari kerapuhan hubungan (reinforced vulnerability),keterlibatan yang bersifat empati satu sama lain (mutual emphatic involvement), percaya pada hubungan (relational trust), saling menguatkan di antara pasangan (mutual strengthening), mengutamakan pertumbuhan satu sama lain (emphasizing mutual development), dan kesadaran akan keterhubungan dengan pasangan (relational awareness) ketika berhadapan dengan kerenggangan dan ketegangan hubungan, bahkan krisis dalam hubungan.
Pasangan yang tangguh akan melahirkan ketahanan keluarga pada akhirnya. Untuk menghadapi keadaan krisis yang menimpa, keluarga selayaknya memiliki sumber daya yang mendukung antara lain: cara pandang yang positif, menjaga spiritualitas, mempertahankan keterikatan anggota keluarga, fleksibilitas dalam mengatasi masalah keluarga, menjaga komunikasi keluarga, manajemen keuangan, menyediakan waktu untuk bersama keluarga, mempertahankan minat pada rekreasi, melaksanakan kegiatan ritual secara rutin, dan adanya dukungan sosial, (Black & Lobo dalam Herdiana, 2018). Masalah, tuntutan, atau kerugian memiliki kemungkinan untuk melemahkan fungsi dan hubungan keluarga, atau sebaliknya, memperkuat keluarga untuk mengatasinya melalui aksi dan komitmen bersama, (Herdiana, 2018). Keluarga yang tangguh memperkuat diri dengan memanfaatkan sumber daya yang ada dalam menghadapi masalah, baik internal maupun eksternal. Mempertahankan intimasi di antara pasangan dengan tetap menjaga privasi, menghargai pertumbuhan pribadi pasangan masing-masing. Bahwa masalah dalam hubungan bersifat menguatkan hubungan itu sendiri maupun pribadi masing-masing.
Referensi:
Aydogan, D & Kizildag, S. (2017). Examination of Relational Resilience With Couple Burnout and Spousal Support in Families With a Disabled Child. The Family Journal: Counseling and Therapy for Couples and Families, Vol. 25(4) 407-413. Sagepub.com/journalsPermissions.nav. DOI: 10.1177/1066480717731215. journals.sagepub.com/home/tfj.
Balzarini, R. N., Muise, A., Zoppolat, G., Di Bartolomeo, A., Rodrigues, D. L., Alonso-Ferres, M., Urganci, B., Debrot, A., Pichayayothin, N. B., Dharma, C., Chi, P., Karremans, J., Schoebi, D & Slatcher, R. B. (2020). Love in the time of covid: Perceived Partner Responsiveness Buffers People from Lower Relationship Quality Associated with Covid-Related Stressors. Research Gate. May, 2020. https://www.researchgate.net/publication/341436083.
Chaterine, R. N. (2020). Menag: Angka perceraian meningkat selama Covid-19. news.detik.com.
DeGenova, Mary Kay & Rice, F. Philip. (2005). Intimate Relationships, Marriages & Families. 6th ed. New York: McGraw Hill.
Eagly, Alice. H., Beall, Anne. E, & Sternberg, Robert. J. (2004). Psychology of Gender. 2nd ed. New York: The Guilford Press.
Evans, M. L., Lindauer, M., & Farrell, M. E. (2020). A pandemic within a pandemic. Intimate partner violence during covid-19. The New England Journal of Medicine.https://www.nejm.org/doi/pdf/10.1056/NEJMp2024046.
Herdiana, I. (2018). Resiliensi keluarga: teori, aplikasi dan riset. Proceeding National Conference Psikologi UMG 2018. ISBN : 978-602-60885-1-2.
Isrofi, E., & Sundari, A. R. (2020). Hubungan antara kelekatan orang tua dan keterbukaan diri dengan keintiman dalam menjalin hubungan pacaran pada dewasa awal. Skripsi. Fakultas Psikologi Universitas Persada Indonesia Y.A.I Jakarta.
Khumas, A., Prawitasai, J. E., Retnowati, S., & Hidayat, R. (2020). Model Penjelasan Intensi Cerai Perempuan Muslim di Sulawesi Selatan. JURNAL PSIKOLOGI, VOLUME 42, NO. 3, DESEMBER 2015: 189 – 206.
Ponzetti, James. J. (2003). International Encyclopedia of Marriage and Family. 2nd ed. New York: Macmillan Reference USA.
Qiu, W., Rutherford, S., Mao, A., & Chu, C. (2017). The Pandemic and Its Impact. Health, Culture and Society. Vol 9–10 (2016–2017). ISSN 2161- 6590(online). DOI 10.5195/hcs.2017.22. http://hcs.pitt.edu.
Savage, M. (2020). Mengapa angka perceraian di berbagai negara melonjak saat pandemi Covid-19 ?.BBC NEWS, INDONESIA. www.bbc.com.
Strong, Bryan, DeVault, Christine & Cohen, Theodore F. (2011). The Marriage And Family Experience. 11 th ed. California: Wadsworth Cencage Learning.
Zhang, Y& Ma, Z. F. (2020). Impact of the COVID-19 Pandemic on Mental Health and Quality of Life among Local Residents in Liaoning Province, China: A Cross- Sectional Study. International Journal of Environmental Research and Public Health, 17, 2381; doi:10.3390/ijerph17072381. www.mdpi.com/journal/ijerph.