ISSN 2477-1686  

 Vol. 11 No. 40 Agustus 2025

Zuhud di Era Konsumerisme: Saatnya Belajar Merasa Cukup

Oleh:

Muhammad Sendy Afrilian

Fakultas Psikologi, Universitas Muhammadiyah Prof. Dr. Hamka

Gajian, Keranjang Belanja, dan Kosongnya Hati

Setiap akhir bulan, sebuah rutinitas tak tertulis berlangsung serempak. Notifikasi diskon membanjiri ponsel, iklan bertema “self-reward” muncul di tiap scroll, dan tanpa sadar jari-jari kita menuju keranjang belanja. Kadang bukan karena butuh, tapi sekadar ingin atau takut ketinggalan tren.

Saat berbelanja online misalnya, rasanya menyenangkan saat paket datang. Ada euforia kecil membayangkan membuka paket pesanan. Tapi tak lama setelah dibuka, rasa itu hilang. Dan anehnya, muncul lagi keinginan membeli yang lain. Seperti lingkaran tak berujung.

Di sinilah kita mulai bertanya, “Apakah ini yang disebut cukup?”

Budaya Konsumsi: Kita yang Dikejar Benda

Dalam masyarakat kita hari ini, belanja bukan sekadar aktivitas ekonomi, tapi simbol status, bahkan pelarian. Orang dihargai dari merek yang dikenakan, jumlah follower atau pengikut, dan seberapa sering update gaya hidup. Sebuah penelitian oleh Kim dkk. (2022) menunjukkan bahwa tekanan media sosial mendorong konsumsi impulsif, yang justru meningkatkan stres dan kecemasan, terutama pada generasi muda.

Padahal dulu, orang membeli suatu barang karena perlu. Kini, kita beli supaya dianggap ada. Bahkan, seringkali yang kita cari bukan barangnya, tapi pengakuan dari orang lain.

Zuhud: Bukan Anti Dunia, Tapi Bebas dari Ketergantungan

Di tengah arus deras konsumerisme itu, Islam sebenarnya telah menawarkan pegangan sejak lama, ia dinamakan zuhud. Zuhud sering disalahpahami sebagai hidup miskin atau menjauh dari dunia, padahal makna zuhud lebih dalam dari itu. Imam Ahmad bin Hanbal menampar lembut dengan kalimat: “Zuhud bukan berarti kamu tak punya apa-apa, tapi kamu tidak diperbudak oleh apa yang kamu punya.”

Al-Ghazali menjelaskan zuhud sebagai kondisi hati yang tidak melekat pada dunia, meskipun jasad tetap bekerja di dalamnya. Ini bukan berarti ajakan untuk menjual rumah dan tinggal di gua. Zuhud adalah ketika seseorang memiliki uang, tapi tidak dikuasai oleh uang itu. Saat seseorang punya barang, tapi bisa melepaskannya tanpa rasa kehilangan.

Zuhud di Era Digital: Mungkin, Tapi Tidak Mudah

Hari ini, zuhud bukan berarti meninggalkan gadget, menutup akun media sosial, atau menolak belanja sama sekali. Tapi barangkali, ini soal bagaimana kita menahan diri ketika tergoda diskon besar-besaran. Atau saat kita melihat pencitraan teman-teman kita di media sosial, lalu tetap mampu berkata dalam hati: “Aku cukup.”

Penelitian psikologi modern bahkan mendukung konsep ini. Van Cappellen dkk. (2016) menemukan bahwa praktik spiritual seperti kesederhanaan, doa, dan refleksi diri terbukti meningkatkan kesejahteraan psikologis. Artinya, semakin kita jernih melihat hidup, semakin ringan hati kita menjalaninya.

Bukan Gaya Hidup, Tapi Arah Hidup

Zuhud tidak harus tampil sederhana secara fisik. Seseorang bisa punya mobil bagus, rumah luas, atau jabatan tinggi—selama ia tidak menjadikan semua itu sebagai pusat hidupnya. Zuhud bukan tentang menghindari dunia, melainkan tidak menomorsatukan dunia.

Dalam keseharian, kita mungkin pernah menjumpai sosok seperti seorang ibu penjual sayur di pasar. Hidupnya tampak sederhana, jauh dari gemerlap dunia modern. Namun jika diamati lebih dalam, sikapnya yang penuh syukur, tidak terpengaruh oleh gengsi, dan tidak iri melihat pencapaian orang lain—mencerminkan sebuah ketenangan batin. Ia tidak menyebut kata “zuhud”, tapi justru menampilkan maknanya lewat laku hidup yang tulus dan apa adanya.

Mungkin Kita Tidak Butuh Lebih Banyak, Tapi Perlu Lebih Sadar

Kita hidup di zaman di mana iklan tahu isi dompet kita lebih baik daripada kita sendiri. Tapi kabar baiknya, kita masih punya kendali. Zuhud adalah ajakan untuk berhenti sejenak, mengatur ulang prioritas, dan mulai belajar merasa cukup.

Karena bisa jadi, bukan kekurangan yang membuat kita resah, tapi karena kita belum tahu kapan harus berkata, “Ini sudah cukup.”

Referensi

Dittmar, H., Bond, R., Hurst, M., & Kasser, T. (2014). The relationship between materialism and personal well-being: A meta-analysis. Journal of Personality and Social Psychology, 107(5), 879–924. https://doi.org/10.1037/a0037409

Kim, H., Lee, M., & Kang, M. (2022). Social media, peer pressure, and materialism among youth: A longitudinal study. Computers in Human Behavior, 129, 106872. https://doi.org/10.1016/j.chb.2021.106872

Van Cappellen, P., Toth-Gauthier, M., Saroglou, V., & Fredrickson, B. L. (2016). Religion and well-being: The mediating role of positive emotions. Frontiers in Psychology, 7, 251. https://doi.org/10.3389/fpsyg.2016.00251