ISSN 2477-1686
Vol.3. No.7, Juli 2017
Rekayasa Moral
Subhan El Hafiz
Fakultas Psikologi, Universitas Prof. Dr. Hamka
Sebagian besar dari kita tentu pernah mengalami kondisi dilematis pada saat akan memutuskan sesuatu. Pada saat kita dihadapkan pada pilihan yang mana pilihan tersebut akan mengarahkan pada sesuatu yang tidak disukai dan disaat yang sama juga diinginkan. Kondisi ini dikenal dengan konflik mendekat-menjauh (approach-avoid conflict) yang juga sering dijadikan model dalam dilema moral.
Contohnya, seorang pelajar mungkin disaat yang sama ingin lulus dengan nilai yang baik untuk menyenangkan orangtuanya namun bagaimana jika hal tersebut harus dilakukan dengan cara curang? Apakah individu akan memilih melakukan kecurangan untuk menyenangkan orangtuanya atau tetap jujur namun dapat membuat orangtuanya sedih karena nilai yang buruk? Ini adalah salah satu model dilema yang mungkin dihadapi oleh pelajar saat ujian.
Contoh dari sisi yang lain, ketika sedang ujian, seorang teman dekat meminta tolong agar dibantu memberikan jawaban ujian, maka orang tersebut akan menghadapi dilema moral apakah harus tetap jujur namun akan kehilangan teman dekat ataukah harus turut membantu berbuat curang agar bisa membantu teman dekat. Bagaimanakah cara seseorang menyelesaikan dilema moral yang sedang dihadapinya tersebut? Kapankan seseorang memilih untuk tetap jujur dan pada saat apakah seseorang memilih untuk membantu kecurangan teman. Pertanyaan lain yang juga muncul adalah apakah seseorang akan menilai bahwa membantu teman saat ujian merupakan hal baik?
Dilema Moral dan Pilihan Rasional
Teori pilihan rasional menjelaskan bahwa pada saat seseorang dihadapkan pada pilihan yang setara maka orang tersebut akan mengambil keputusan secara rasional. Namun ketika pilihan yang ada tidak setara, maka kondisi emosi seseorang akan mengarahkannya pada pilihan yang dirasakan paling dengan dengan kondisi emosinya tersebut. Artinya, pada kondisi kedua, pilihan akan lebih mudah direkayasa daripada kondisi pertama (lihat El Hafiz, 2017).
Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada kondisi pertama, dimana pilihan yang ada dipaparkan secara setara maka seseorang akan lebih memilih menolak perilaku Jahat walalupun dengan alasan baik begitu juga dengan perilaku baik yang dilakukan dengan alasan jahat. Kedua jenis perilaku tersebut akan dinilai sebagai perilaku jahat. Sedangkan penilaian terhadap perilaku untuk dikategorikan baik haruslah perilaku baik yang dilakukan juga dengan alasan yang baik (El Hafiz, 2010).
Sebagai contoh, ketika seseorang diminta menilai “apakah dibenarkan menipu untuk membantu orang lain?” atau “apakah dibenarkan jika seseorang menolong orang lain dengan maksud menghina?” Dalam dua contoh tersebut, maka penilaian sebagian besar orang akan mengatakan bahwa hal tersebut adalah bentuk perilaku salah dan jahat serta tidak dapat dibenarkan. Perilaku baik tidak boleh dilakukan dengan alasan jahat dan perilaku jahat pun tidak dapat dilakukan walaupun dengan alasan yang baik. Bagaimana menjelaskan penilaian tersebut menggunakan teori pilihan rasional?
Kondisi sebagaimana contoh diatas dapat dijelaskan menggunakan konsep lost aversion dari teori pilihan rasional. Lost aversion adalah persepsi seseorang atas kerugian akan lebih besar dan lebih tidak menyenangkan jika dibandingkan keuntungan yang didapat apabila kemungkinan keuntungan tersebut hanya sedikit lebih besar apalagi jika keuntungan tersebut terlihat setara (lihat El Hafiz, 2017). Dengan demikian, “menipu” dan “menghina” sebagaimana dijelaskan dalam contoh diatas akan dinilai lebih berbahaya dan jahat walaupun disaat yang sama penilaian positif dari “menolong” dan “membantu” seharusnya dapat mengimbangi situasi. Akibatnya penilaian seseorang terhadap dua kasus diatas adalah salah untuk menjalankan perilaku tersebut.
Rekayasa Dilema Moral
Lalu bagaimana melakukan rekayasa terhadap dilema moral tersebut? Jawabannya ada pada emosi.
Jonathan Haidth dalam banyak penelitiannya membuktikan akan hal ini (lihat El Hafiz, 2017). Jika kalimat “menipu untuk membantu orang lain” dilengkapi menjadi “menipu penjahat untuk membantu orang lain” atau “menipu untuk membantu orang yang kelaparan” maka kata “penjahat” dan “orang yang kelaparan” menjadi penggerak emosi yang dapat mengarahkan pilihan bahwa kondisi itu seolah-olah lebih baik. Pilihan kata yang memiliki asosiasi emosi tertentu dapat mendorong dilakukannya rekayasa moralitas, yaitu sesuatu yang dinilai jahat menjadi dinilai lebih baik.
Begitu juga jika ingin diarahkan pada kondisi moral yang lebih dilematis, maka kalimat diatas dapat diubah menjadi “menipu untuk membantu orang malas yang kelaparan”. Kata “malas” memiliki emosi yang cenderung negatif sehingga penilaian sebelumnya yang lebih baik akan kembali turun manakala kata “malas” tersebut tersebut ditambahkan ke dalam kalimat. Pada saat itu individu akan terjebak pada dilema moral akibat kondisi emosional yang dipengaruhi oleh pilihan situasi yang tergambar dari kata-kata yang digunakan.
Bacaan Lebih Lanjut:
Artikel lengkap dari penelitian diatas dapat dilihat di “Akibat Setitik Kejahatan, Rusak Kebaikan Sebelanga”.
Referensi:
El Hafiz, S. 2017. Teori Pilihan Rasional. Dalam Teori Psikologi Sosial Kontemporer (ed. A. Pitaloka). Depok: Rajagrafindo.
El Hafiz, S. 2010. Akibat Setitik Kejahatan Rusak Kebaikan Sebelanga. Jurnal Psikologi Ulayat: Indonesian Journal of Indigenous Psychology, 1(2), 289-301. DOI: 10.24854/jpu22013-27