ISSN 2477-1686
Vol.2. No.23, Desember 2016
Berhenti Kagumi Sarlito! Lakukan yang Dia Lakukan!
Oleh:
Eko A.Meinarno
PIC Modul KPIN
Kapan saya Kenal Mas Ito?
Saya tahu Mas ito dari acara kuis keluarga Lifebuoy. Acara keluarga di RCTI jika tak salah Rabu malam. Mas Ito menjadi juri untuk acara itu. Saat menonton itu (saya kelas II/III SMA) berpikir, pintar sekali orang ini ya? Beberapa tahun kemudian, 1995 saya menjadi mahasiswa di Fakultas Psikologi. Akhirnya saya melihat dengan mata kepala sendiri bahwa juri di kuis keluarga Lifebuoy memang pintar, ya gelar Profesor itulah buktinya. Selama sekian tahun Mas Ito menjadi dosen saya. Tahun 2001 saat saya lulus, saya diajukan oleh Prof. Dr. Subyakto A, MPA (alm.) untuk menjadi asisten pengajar untuk mata ajar Pengantar Antropologi sedangkan surat pengangkatan saya sebagai asisten ditandatangani oleh Profesor “Juri” itu yakni Prof. Dr. Sarlito W Sarwono yang saat itu adalah dekan Fakultas Psikologi (untuk seterusnya, saya akan menggunakan panggilan akrab kami, Mas Ito).
Cara Mengajar Mas Ito yang Saya Ikuti
Selama sekian tahun menjadi mahasiswa Mas Ito dan menjadi asisten untuk beberapa sesi kelasnya ada beberapa hal yang saya adopsi. Dalam mengajar yang tetap perlu ditekankan adalah membangun suasana senang dan bertanggung jawab. Pengajaran yang diselingi humor berbasis materi sangat disukai mahasiswa. Mereka justru semakin paham bahwa materi yang sedemikian kaku bisa lebih lentur ketika disampaikan dengan bumbu humor tanpa menghilangkan esensinya.
Disiplin dan Keteladanan
Untuk melihat cara kerja Mas Ito dapat kita lihat dari beberapa alat bantu catatnya. Seingat saya setidaknya ada dua alat bantu ingat. Sebuah buku kecil (notes) dan tak ketinggalan ponsel TERKINI (karena Mas Ito soal gawai tak pernah ketinggalan, mulai dari Nokia versi communicator, BB, dan yang terakhir iPhone). Catatan-catatan waktu rapat, pertemuan, dll. ada di kedua alat bantu itu. Untuk di notes, tiap selesai akan dicoret. Bagi saya itu adalah tanda disiplin. Membangun disiplin dimulai dari diri sendiri. Pekerjaan sebagai dosen membutuhkan kedisiplinan yang sifatnya sangat individual. Jam kerja yang relatif diatur sendiri oleh dosen mengharuskan tiap dosen membuat perencanan yang ketat.
Perkara menepati janji pertemuan, jangan ditanya. Sangat jarang Mas Ito telat. Yang sering justru dia menunggu peserta lain untuk datang. Maka saya coba ikuti saat mengajar, walau lebih sering gagalnya. Ini penting karena kedisiplinan diri sebagai dosen yang sekaligus teladan akan berdampak pada bagaimana mahasiswa akan bekerja di manapun. Dengan demikian kedisiplinan yang Mas Ito lakukan bukan semata untuk diri, tapi untuk peserta yang hadir di rapat atau di kelas yang ia ajar.
Keteladanan: Berhenti Kagumi Sarlito! Lakukan yang Dia Lakukan
Jika tak salah ingat, ada dua acara perpisahan yang dibuat fakultas untuk Mas Ito. Pertama lepas jabatan dekan dan saat pensiun. Acara lepas jabatan seingat saya ditandai dengan masuknya tulisan Mas Ito dalam buku internasional sebagai book chapter buku Global Families dari penerbit besar, Allyn and Bacon. Saat pelepasan pensiun yang ada adalah acara ceria di gedung H, depan auditorium. Dari kedua acara itu kemudian yang saya tangkap adalah bahwa semua mengagumi hasil kerja Mas Ito khususnya publikasi buku.
Akhirnya pada satu kesempatan, seminar internasional di rusun Cinta Kasih Tzu Chi sekitar tahun 2009. Saya menunjukkan sebuah karya kumpulan tulisan hasil riset Tzu Chi yang dikemas dalam bentuk buku “semi cerita”. Mas Ito senang sekali (walau karya itu kemudian tidak diterbitkan). Dan saat itu ada Prof. Adrianus Meliala, Ph.D. Sambil ikut melihat-lihat karya tadi, saya katakan: “Berhenti Kagumi Sarlito! Lakukan yang dia lakukan”. Mas Ito dan Mas Adrianus terkekeh-kekeh mendengar pernyataan saya. Ya, Saya mencoba mengikutinya, walau dengan hambatan-hambatan khusus. Walau tidak sempurna, hasilnya tidak terlalu buruk. Selama periode 2008-2015 terbit karya ilmiah dan buku, setidaknya satu produk setiap tahunnya. Keberhasilan ini saya anggap sebagai salah satu hasil dari meneladani Mas Ito.
Hal yang relatif mudah dilakukan dalam proses meneladani adalah dengan cara observasi dan kemudian menerapkannya. Saya masih ingat apa yang Mas Ito lakukan saat raker Bagian Psikologi Sosial di Saung Nini Bogor. Mas Ito saat itu masih Dekan Fakultas Psikologi UI. Mas Ito hadir dan menginap, tapi pulang cepat. Dalam raker ada permainan-permainan yang dibuat untuk bersenang-senang dan berwawasan. Ada dua acara yang saya ingat. Pertama tebak orang. Masing-masing menulis nama sendiri dan dilengkapi ciri-cirinya. Ya semua membuatnya dan memberikan kepada jurinya. Setelah kumpul, kemudian dibacakan cirinya dan ditebaklah siapa orang itu. Yang tidak saya duga adalah ketika dibacakan ciri saya (yang semua saat itu masih mikir) Mas Ito langsung nebak: Eko!! Haaa? Kok tahu? Padahal Mas Ito saat itu dekan dan tentu saya juga sangat jarang bertemu dengannya. Sangat membekas bagi saya bahwa saya diketahui oleh Mas Ito seorang dekan.
Permainan kedua adalah tali semrawut. Semua berdiri melingkar, dan tangan-tangan peserta didesain sedemikian rupa untuk saling pegang bukan hanya sebelahnya, tapi juga dari arah yang lain. Setelah itu semua harus kembali menjadi lingkaran utuh. Terjadilah huru-hara, bingung ke mana ya untuk bisa lolos dari kesemrawutan ini. Akhirnya jadi lingkaran, tapi tangan saya masih menyilang, padahal yang lain tidak. Semua mengatakan “balik kiri” Ko. Di kepala saya tidak ada konsep “balik kiri”, yang ada di dalam bari-berbaris adalah “balik kanan” (ini mungkin yang disebut kognisi). Saya tetap diam. Tanpa diduga Mas Ito lepaskan tangan dari lingkaran, memegang bahu saya, menggerakkan tubuh saya ke kiri sambil berkata: “ini balik kiri Ko”. Peserta lain tertawa dan mengatakan bahwa hal itu curang. Ya mungkin benar curang karena Mas Ito lepaskan tangannya dari lingkaran. Namun dia juga tahu bahwa lingkaran takkan jadi jika saya tidak berbalik arah. Kejadian ini memberi wawasan kepada saya bahwa Mas Ito bukan sekedar orang yang sekedar ingin sistem besar jalan, tapi ia ingin memastikan bahwa sistem besar jalan HANYA JIKA sistem kecil di bawahnya berjalan.
Meneladani Mas Ito bukan sekedar mengaguminya dan memberi tepuk tangan kepadanya. Bagi saya meneladani termasuk mengikuti langkah dan berani melangkah menuju yang lebih baik. Hal itu yang saya upayakan. Saya cukup beruntung mendapat kesempatan mengenali dan berinteraksi dengan Mas Ito yang mempunyai reputasi baik dan handal. Dari dia saya membangun sistem dan pola kerja saya saat ini. Saya belajar dari Mas Ito yang visioner. Dari beliau saya belajar untuk kerja cepat dan tepat.
Dari Meneladani Menjadi Mitra
Tahun 2008 saya dan Mas Bambang membuat buku untuk kuliah Individu, Kebudayaan dan Masyarakat sebagai ganti mata ajar Pengantar Antropologi. Buku ini juga dilengkapi materi latihan yang menjadi buku terpisah. Kedua buku itu terbit 2008, dengan penerbit Lembaga Pengembangan Sarana Pengukuran dan Pendidikan Psikologi UI (LPSP3 UI) lengkap dengan ISBN. Buku itu kemudian mendapat penghargaan dari Fakultas Psikologi UI yang saat itu dipimpin oleh Dra. Dharmayati U Lubis, MA, PhD. Psikolog.
Tanpa diduga, usaha penulisan buku tadi diperhatikan oleh Mas Ito. Menurutnya diperlukan orang yang tekun untuk bisa membaca dan menulis buku. Ia meminta saya untuk menjadi penyunting dari bukunya yang berjudul Pengantar Psikologi Umum. Kisahnya, Mas Ito saat menjadi guru besar tamu di University of Malaya, Malaysia. Mas Ito kontak saya via surel untuk bantu edit dan tambahi naskah bukunya. Wow, diminta menjadi penyunting naskah buku seorang Prof.? Oke, saya lakukan. Bolak-balik naskah itu dari Jakarta-Kuala Lumpur. Di Jakarta saya kontak penerbit, tepatnya Rajawali Press. Lagi-lagi naskah bolak-balik lagi, dan akhirnya jadi. Buku ini kemudian diluncurkan di Fakultas Psikologi UPI YAI, lengkap dengan bedah buku dengan pengulasnya adalah Wuri Prasetyawati (dosen Fakultas Psikologi UI). Saat ini jika ada yang ingin tahu dampak dari buku maka jika ditelusuri di google scholar jumlah perujuk (yang kemudian terdeteksi google scholar) berjumlah 283 orang (17 Nov. 2016).
Di tahun yang sama, saya dan Mas Ito menjadi penyunting sekaligus penulis dari buku Psikologi Sosial. Buku ini lahir dari kumpulan ppt mata kuliah Psikologi Sosial yang saya susun menjadi buku kumpulan ppt. Saya berikan saat ultah Mas Ito 2009. Tanpa diduga Mas Ito hubungi penerbit Salemba dan terjadilah kesepakatan. Dalam penulisan buku ini beliau mengajak belasan dosen pengajar di bidang studi psikologi sosial, dengan demikian setiap orang menulis satu bab. Buku Psikologi Sosial ini berisikan diantaranya: persepsi sosial, sikap, indvidu dalam kelompok, kelompok, agresi, perilaku menolong, dan pengaruh sosial. Dengan tekun Mas Ito pantau perkembangan penulisan bab-bab tadi. Alhasil pada September 2009 purwarupa jadi dan Oktober dapat digunakan secara resmi oleh angkatan 2009. Hal yang saya sarikan dari kerja dalam penyusunan buku Psikologi Sosial adalah susun, rapikan, tingkatkan, dan bagikan!
Kedua buku tadi menjadi buku-buku yang bemanfaat bagi banyak orang. Terutama sekali bagi para dosen dan mahasiswa dari fakultas psikologi swasta dan sekolah yang psikologi sebagai penunjang (bukan yang utama).
Buku terakhir yang dikerjakan dengan cepat dan agak keroyokan adalah saat menyunting dan menulis buku terakhir Mas Ito (dan saya serta Lathifah Hanum) Psikologi Lintas Budaya terbitan Rajawali. Lagi-lagi buku ini adalah kumpulan ppt Mas Ito yang saya dan Hanum kompilasi. Diberikan awalnya untuk sekedar merapikan data yang terserak. Namun kesigapan Mas Ito dan kami plus penerbit, akhirnya buku ini selesai. Buku ini yang kemudian diluncurkan saat ultah ke-70 di hotel Mahakam tahun 2014 (saat itulah saya juga melihat dan bertemu langsung dengan Bu Sofie, Ibunda Mas Ito yang wafat Agustus 2016).
Percaya dan Lepaskan
Ada dua kejadian yang menarik bagi saya untuk menjelaskan subjudul ini. Pertama saat kongres ApsyA pertama di Bali tahun 2006. Saat itu Mas Ito kelapa BP2Psi (yang kemudian LPPPsi) sekaligus panitia utama. Saya yang sering luntang-lantung ke BP2Psi melihat kesibukan yang terjadi. Namun ya karena bukan panitia saya hanya diam. Sampai satu waktu Mas Ito tanya: “Ko, kalo semua orang di sini (BP2Psi) pergi kamu ngapain? Saya jawab: Ya di sini aja ngadem leyeh-leyeh (ada sofa di BP2Psi). Tanpa diduga dia berkata: “Daripada diem mending ikut deh.” Saya jawab lagi: “Wah saya gak punya uang.” Mas Ito merespon dengan memanggil Ringking M Korah (staf BP2Psi) dan langsung bayarkan uang pendaftaran acara (Rp 300.000,00 saat itu). “Soal nginep gampang, di mess AURI (Denpasar). Tiket sana utang dulu deh, yang penting pesan sekarang tiketnya.” Sambil terkesima, saya lakukan saran-sarannya dan jadilah saya terbang ke Bali untuk pertama kalinya!
Pengalaman lainnya juga agak mirip-mirip. Satu kali di tahun 2007 Mas Ito menjadi penghubung antara University of Malaya dan Universitas Indonesia untuk acara Hubungan Indonesia-Malaysia. Mas Ito mengumpulkan banyak dosen untuk dapat memaparkannya di UM Malaysia. Banyak orang dihubungi agar bisa ke sana. Lagi-lagi saya kembali ngadem di BP2Psi (tanpaknya ngadem di sini bermanfaat daripada tempat lain). Tiba-tiba Mas Ito memanggil: “Kamu punya makalah yang bisa dipaparkan?” Saya jawab: “Tidak”. “Skripsimu pernah dipublikasi?” tanyanya. Saya jawab: “Belum”. “Mau dipaparkan di Malaysia?”. Hah? Dipaparkan di negeri orang? Benar-benar kesempatan langka pikir saya. Saya jawab: “saya coba Mas”. Mas Ito malah menegaskan: “Harus jadi sekian hari ke depan. Tiket akan dipesankan. Punya paspor?”. Tentu saya jawab tidak punya. “Sana buat!”. Akhirnya saya membuat paspor pertama kalinya. Saya bolak-balik 3 kali Bekasi (saat itu saya tinggal di Bekasi)-Karawang (kantor imigrasi Jawa Barat). Pada hari selesai paspor dengan terengah-engah saya ke BP2Psi melaporkan. Dan Mas Ito mengatakan: “Kalo sudah punya paspor, ntar ada jalan ke luar negeri.” Ya akhirnya berangkat juga saya ke negeri orang dan pertama kalinya naskah saya dipublikasi di negeri orang dengan ISBN negara lain. Sejak itu saya mempunyai pengalaman ke luar negeri dan efek sampingnya beberapa karya masuk dan terbit ber-ISBN asing.
Sebuah simpulan, saat mempercayai seseorang, Mas Ito tak percaya hanya separuh. Dia akan percaya utuh. Kepercayaan itulah yang pada saat tertentu akan “diujicobakan” dengan sesuatu yang tak terduga. Sangat tak terduga.
Membangun Sesuatu dari Ide yang Mewujud: KPIN (bagian ini mengambil dan mengedit dari situs resmi KPIN)
Pada akhir tahun 2014 Mas Ito, Idhamsyah Eka Putra, dan saya membangun satu wadah baru bagi fakultas-fakultas psikologi seluruh Indonesia. Adapun ide dasarnya adalah untuk memproduksi media publikasi dan kegiatan-kegiatan yang menguatkan keilmuan psikologi di Indonesia. Salah satu bentuknya adalah Jurnal Psikologi Ulayat atau JPU dan pelatihan-pelatihan penguatan untuk pengajaran, penelitian, dan publikasi lainnya. Adapun nama wadah itu adalah Konsorsium Ilmiah Psikologi Nusantara (KPIN).
Fakultas/Program Studi Psikologi yang tergabung menandatangani Nota Kesepahaman KPIN dan Nota Kesepahaman Ketua KPIN (lihat https://konsorsiumpsikologiilmiahnusantara.wordpress.com/2014/12/27/penandatanganan-nota-kesepahaman-kpin/): Psikologi Universitas Persada Indonesia YAI, Psikologi Universitas Sumatra Utara, Psikologi Universitas Bhayangkara Jakarta Raya, Psikologi Universitas Muhammadiyah Prof. DR. HAMKA, Psikologi Universitas Pelita Harapan, Psikologi Universitas Borobudur, Psikologi Universitas YARSI, Psikologi Universitas Al Azhar Indonesia, Psikologi Universitas Bunda Mulia, Psikologi Universitas Pembangunan Jaya, Psikologi Universitas Pancasila, Psikologi Universitas Tama Jagakarsa, Psikologi Universitas Kristen Maranatha Bandung, Psikologi Universitas Negeri Malang, Psikologi Universitas Jenderal Ahmad Yani, Psikologi Universitas Mercubuana, Psikologi Udayana (https://konsorsiumpsikologiilmiahnusantara.wordpress.com/2014/12/29/sejarah-konsorsium-psikologi-ilmiah-nusantara/). Tentu ini adalah prestasi organisasi yang luar biasa. Dobrakan tradisi keilmuan telah terjadi. Lagi-lagi Mas Ito menjadi pionirnya.
Bergunalah Bagi Orang Lain
Saya ingat sebagian kisah dari buku pertama yang Mas Ito buat. Dia ceritakan bahwa buku itu adalah diktat untuk membantu teman-temannya (dan juniornya) mengerti sebuah mata kuliah. Membuat diktat atau buku bukan untuk mempamerkan jumlah buku atau artikel jurnal yang telah dibaca. Baginya buku alat bantu bagi dirinya untuk menerangkan kepada banyak orang sehingga dapat mengerti apa itu psikologi. Pernah suatu kali saya naik taksi. Omong punya omong supir ini tahu psikolog UI yang terkenal, bapak-bapak, bukunya banyak. Saya katakan, Pak Sarlito? Dijawab Ya. Kebetulan kami melewati kampus YAI Diponegoro. Saya tunjuk saja itu Pak Sarlito sekarang. Supir ini tetap bercerita. Dia katakan sejak belum nikah sampai sekarang, jika ke toko buku kerap mencari buku psikologi karangan Mas Ito. Baginya buku-buku itu berguna. Bahkan dia dengan percaya diri katakan bahwa cara mengasuh anak selama ini ya merujuk psikologi yang dia baca dari buku Mas Ito. Saya ingat terus peristiwa itu, sampai pada akhir tahun (lupa saya) saya menuliskan dalam pesan WA tentang kejadian itu kepada Mas Ito. Responnya sangat tak terduga: “Wah kado akhir tahun yang paling berharga. Tks Ko.”
Sederhana ya cara pikir Mas Ito? Bukankah itu yang diingatkan Allah SWT pada manusia bahwa sebaik-baiknya manusia adalah yang berguna bagi orang lain? Dari supir taksi sampai ilmuwan psikologi di Indonesia merasakan faedah dari apa yang Mas Ito miliki. Saya dan kami semua mungkin hanya bisa berkata “Terima kasih Mas Ito”. Dengan khusyuk dan tegas kami berjanji: “Perkenankan kami-kami para junior menerima dan membawa tongkat estafet ilmu psikologi. Mas, kami upayakan estafet ini akan bertahan selama-lamanya”.
Selamat istirahat Mas.