ISSN 2477-1686
Vol. 9 No. 14 Juli 2023
Urgensi Dukungan Sosial dan Treatment Terhadap Perkembangan Penyandang Autisme
Oleh:
Nurhidaya
Fakultas Psikologi, Universitas Persada Indonesia YAI
Setiap individu yang dilahirkan ke dunia, tentu ingin hadir dan lahir secara normal. Hal ini menjadi harapan para orang tua. Namun ketika sudah ditakdirkan menjadi penyandang autis, maka kondisi ini perlu diterima dengan baik oleh semua pihak bukan untuk dipertengkarkan, diperdebatkan bahkan disesali. Untuk dapat menerima kondisi tersebut dengan baik diperlukan pemahaman yang komprehensif terkait dengan apa dan bagaimana authisme tersebut. Selain itu, diperlukan dukungan termasuk dukungan penuh dari keluarga, lingkungan pendidikan dan masyarakat.
Dalam sebuah kasus Jeff adalah contoh sorang penyandang autis yang berusaha bangkit dan mendapat dukungan dari orang tuanya, mampu mengesplorasi dan membantu mengembangkan bakatnya (Widyawati dalam kartini, 2020). Dengan demikian dukungan keluarga memiliki peran penting dalam perkembangan penyandang autis.
Menurut Leo Kanner (1943) autisme merupakan gangguan perilaku dan interaksi sosial akibat kelainan perkembangan saraf otak sehingga anak mengalami ketidakmampuan untuk membentuk interaksi yang secara lisan dengan dengan orang- orang sekitar. Menurut Centers of Disease Control and Prevention, Gangguan spektrum autisme adalah cacat perkembangan yang disebabkan oleh gangguan yang terjadi di otak seseorang.
Kesulitan yang dihadapi oleh penyandang autisme ialah bagaimana cara mereka berkomunikasi, sehingga apa yang orang lain rasakan mereka akan kesulitan untuk memahami, dan hal ini lah yang membuat mereka sulit untuk mengekspresikan dirinya, melalui kata- kata, gestur, ekspresi wajah, atau sentuhan. Secara garis besar, penyandang autisme merupakan seseorang yang mengalami gangguan diakibatkan beragam faktor, salah satunya gangguan dalam perkembangan syaraf yang menyebabkan kesulitan dalam berbicara maupun mengekspresikan dirinya.
Dalam kesehariannya, penyandang autisme membutuhkan banyak dukungan sosial antara lain keluarga, sekolah dan lingkungan masyarakat di sekitarnya. Sejak usia 3 tahun autisme dimulai dan dapat berjalan sepanjang hayat seseorang, meskipun seiring waktu, gejalanya dapat membaik.
Dalam satu tahun awal kehidupannya, gejala autisme mulai muncul. Namun tidak benar- benar muncul sampai mencapai usia dua tahun atau lebih, terlebih ketika anak sudah mulai berinteraksi, akan terlihat mengalami kesulitan untuk berkomunikasi, meluaskan lingkaran pertemanan, baik dengan teman sebayanya maupun orang dewasa.
Gejala Autis yang perlu dikenal sejak dini pada Anak
Autisme ialah kecacatan dalam perkembangan yang disebabkan oleh gangguan di otak. Gangguan dalam berinteraksi dan mengekspresikan diri, memiliki minat yang terbatas dan memiliki kebiasaan untuk mengulang sesuatu secara terus menerus merupakan salah satu gejala yang dialami oleh orang penyandang autisme. Orang dengan autisme juga memiliki caranya tersendiri untuk mengeksplor sesuatu, memahami suatu hal, atau memperhatikan hal yang dianggap menarik. Gejala umum yang dihadapi oleh bagi Autis sebagai berikut:
a. Kurangnya kontak mata
b. Kurangnya minat yang kuat pada topik tertentu
c. Melakukan sesuatu secara berulang-ulang, seperti mengulang kata, atau perilaku
d. Memiliki sensivitas tinggi terhadap suara, sentuhan, bau, atau pandangan yang tampak biasa bagi orang lain
e. Tidak melihat atau mendengarkan orang lain
f. Tidak ingin untuk disentuh atau diperhatikan
g. Mengalami masalah dalam berbicara, gerakan tubuh, ekspresi wajah, atau nada suara
Daftar diatas tidak melulu dapat dijadikan patokan untuk mendiagnosis seorang anak mengalami autisme atau tidak, namun diperlukan beberapa tahapan dan pengujian tertentu, dapat menggunakan DSM V dan juga menskrining perkembangan anak dengan CHAT (Checklist for Autism in Toddlers.) CARS rating system, dan Autism Screening Questionnaire.
Untuk mendiagnosis autisme menggunakan kriteria DSM V, terdapat beberapa kriteria yang harus dipenuhi untuk dapat mendiagnosis anak dengan autisme.
1. Gangguan persisten pada komunikasi dan interaksi sosial dalam semua konteks, tidak berdasarkan keterlambatan perkembangan umum, yang dimanifestasikan setidaknya dari 3 hal berikut:
a. Deficit pada hubungan timbal balik secara emosional dan sosial.
b. Deficit pada perilaku komunikasi nonverbal yang digunakan untuk interaksi sosial.
c. Deficit dalam memelihara, mengembangkan, dan memahami hubungan.
2. Pola perilaku, minat atau aktivitas yang terbatas, seperti yang dimanifestasikan oleh setidaknya dua hal berikut:
a. Gerakan motorik stereorip atau berulang, penggunaan objek, atau ucapan. Contoh: menyusun mainan atau membalik objek secara berulang
b. Patuh terhadap rutinitas, pola perilaku, kebiasaan perilaku verbal, dan non verbal. Sulit transisi terhadap perubahan. Contoh: perlu mengambil rute yang sama dan tidak berubah
c. Terpaku oleh sesuatu, sehingga terlihat kaku dan abnormal dari segi intensitas maupun tingkat konsentrasi. Contoh: terlalu asyik melihat objek yang tidak biasa secara terus menerus.
d. Reaksi yang berlebihan atau kurang terhadap input sensorik atau minat yang tidak biasa dari aspek sensorik lingkungan. Contoh: penciuman atau sentuhan objek yang berlebihan.
3. Gejala terdapat pada periode perkembangan awal (Tidak semuanya akan muncul, sampai kapasitas terlampaui batas oleh tuntutan sosial).
4. Gejala menyebabkan gangguan yang signifikan secara klinis dalam fungsi sosial, pekerjaan, atau hal penting lainnya.
Dukungan sosial terhadap perkembangan penyandang Autisme
Ada beberapa dukungan yang dapat membantu perkembangan penyandang Autis, sebagai berikut:
1. Keluarga
Kehadiran keluarga sangat membantu bagi perkembangan psikologis penyandang autis, dalam hal ini orang tua dapat memberikan hubungan emosinal dan perhatian khusus dalam mengasuh dan memberikan pendidikan anaknya agar dapat tubuh dan berkembang sesuai usia perkembangannya baik secara fisik maupun psikologis. Walapun ada keterbatasn kemampuan, terutama membantu percaya diri anak dan mampu memberikan kesempatan untuk bersosaialisai di masayarakat baik biologis maupun psikologis. Hal yang harus disiapkan untuk menghadapi masa depan biasanya ditanamkan oleh agen sosialisasi ini sesuai dengan norma yang ada didalam sebuah masyarakat, agar kelak dapat menjalani peran yang diharapkan dengan baik.
2. Lingkungan Pendidikan
Ketika penyandang autis sudah masuk usia sekolah tentunya diberikan kesempatan untuk ikut sekolah dengan menginformasikan sekolah mengenai keterbatasan kemampuan anak dalam hal ini penyandang autis . Diharapkan orang tua terbuka kepeda pihak sekolah agar dapat kerjasama dengan baik antara orang tua dan guru-guru yang ada disekolah tersebut. Sehingga dmendapatkan perhatian khusus atau penaganan khusus.
3. Lingkungan Masyarakat
Lingkungan masyarakat sangat penting untuk memberikan perhatian dalam arti menrima kehadriran penyandang autis yang ada di lingkungan sekitarnya, sehungga penyandang autis dapat mengalami perkembangan baik terutama percaya diri dan self estemnya dan mampu beradaptasi dengan berbagai lingkungan.
Treatment untuk Autisme
Selain dukungan sosial yang dilakukan keluarga, lingkungan sekolah dan masyarakat untuk mengurangi gejala yang dialami oleh penyandang autisme, juga diperlukan treatment khusus Treatment yang dilakukan membutuhkan tenaga ahli agar lebih tepat sasaran.
Perawatan dapat diberikan didalam sebuah institusi pendidikan, kesehatan, atau komunitas autis. Sangat penting bahwa penyedia layanan ini untuk selalu berkomunikasi dengan pihak keluarga untuk memastikan tujuan dan kemajuan pengobatan tercapai dengan baik. Ketika penyandang autisme menamatkan sekolahnya dan tumbuh menjadi dewasa, layanan tambahan dapat membantu meningkatkan fungsi sehari-hari serta memfasilitasi keterlibatan sosial.
Salah satunya dengan terapi pendekatan Social-Relational. Treatment ini memfokuskan untuk meningkatkan kecakapan dalam berkomunikasi dan membangun ikatan emosional pada penyandang autisme. Untuk treatment ini diperlukan keterlibatan khusus keluarga dan teman sebayanya untuk memaksimalkan perawatan ini. Adapun bentuk terapinya sebagai berikut:
Pertama: Terapi Floor Time, terapi ini memiliki tujuan untuk mengembangkan dan menstimulus potensi anak dengan melibatkan tujuh sistem indra sensorik, meningkatkan keterampilan motorik baik kasar maupun halus, komunikasi non-verbal, verbal, reseptif, maupun ekspsresif. Emosi dan sosial: menerima, menyayangi, menghargai, meningkatkan kepercayaan diri, dan empati. Terapi ini sangat melibatkan peran orang tua untuk membimbing anaknya dengan terus memberikan stimulus yang tepat agar tercapainya tujuan dari terapi ini.
Kedua: Relationship Development Intervention (RDI). Melibatkan kegiatan yang meningkatkan motivasi, minat dan kemampuan untuk berpartisipasi dalam interaksi sosial bersama. Program ini akan memandu orang tua untuk mengarahkan anaknya untuk berhasil dalam hubungan timbal-balik yang benar. Panduannya dengan melibatkan fokus utama seperti motivasi, komunikasi, regulasi emosional, pengalihan perhatian, kesadaran diri, berpikir dan pemecahan masalah.
Ketiga: Social Stories, dengan menjelaskan dan memberikan deskripsi sederhana tentang bagaimana kondisi sosial yang akan dihadapi, menstimulasi otak dengan memberikan cerita cerita akan membuat penalarannya bekerja sehingga akan mulai muncul keinginan untuk komunikasi timbal balik yang baik.
Keempat: Social Skill Groups. Menyediakan kesempatan bagi penyandang autisme untuk melatih percakapan dengan orang lain dalam sebuah kelompok sosial dengan lingkungan yang terstruktur dan termonitor. Sebagai contoh, orang tua mengajak anaknya ke komunitas autisme, dan membimbing anak untuk berkomunikasi dengan teman sebayanya, atau dengan melibatkan teman-teman diluar komunitasnya untuk menstimulus sosial dan emosi anak.
Kelima: Social-Relational Treament merupakan pilihan yang baik bagi orang tua untuk memaksimalkan perkembangan sosial-emosional anak. Namun untuk treatment ini diperlukan bantuan keluarga, teman sebaya, teman sekolah, guru, dan lain-lainnya. Orang tua terutama yang menjadi tonggak dalam keberhasilan treatment ini perlu memfokuskan perhatian yang ekstra agar prosesnya dapat tercapai dengan maksimal.
Melibatkan teman disekitar untuk menstimulus sosial-emosional penyandang autisme sangat diperlukan, dengan meningkatnya komunikasi verbal-nonverbal pada anak, akan meningkatkan rasa emosi seperti empati, dan dapat mengatur setidaknya emosi didalam beberapa kondisi.
Dengan demikian dukungan sosial dapat membantu perkembangan sosial-emosional penyandang autisme sangat diperlukan, karena sangat memberikan perngaruh yang besar jika dilakukan dengan benar, konsisten, dan dalam pengawasan tenaga ahli, agar dikemudian hari dapat menjalani kehidupan dengan lebih mandiri dan lebih baik.
Referensi:
Harris J. Leo Kanner and autism: a 75-year perspective. Int Rev Psychiatry. 2018 Feb;30(1):3- 17. https://doi:10.1080/09540261.2018.1455646 Epub 2018 Apr18. PMID: 29667863.
Kaufmann, Walter E. DSM-5: The New Diagnostic Criteria for Autism Spectrum Disorders Symposium. Departement ofhNeurology Boston Children’s Hospital: Harvard Medical School; 2012.
Abdullah, Idi. (1965). Sosiologi Pendidikan: Individu, Masyarakat, dan Pendidikan
Widyawati , S (n.d). Jeff, anak jenius yang karyanya masuk lima besar dunia: Puisi adalah mulutku untuk berbicara “, Kartini nomor 2020 12-15