ISSN 2477-1686

Vol. 7 No. 12 Juni 2021

Psikologi Terorisme dan Psikologi Nama & Penamaan

 

Oleh

Fajar Erikha   

Division for Applied Social Psychology Research (DASPR),

Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia

 

 

Secara umum, aktivitas ilmiah yang saya lakukan akhir-akhir ini berkutat pada dua disiplin ilmu yang saling berkaitan, yaitu psikologi dan linguistik. Saya berminat pada interaksi aspek sosial baik ke dalam ranah psikologi maupun linguistik. Pertanyaan-pertanyaan seperti mengapa orang senang atau cenderung berkelompok, mendukung kelompok sendiri dan mengucilkan kelompok yang tidak disukai, bagaimana bahasa menjadi simbol dan identitas seseorang maupun kelompoknya, ataupun dominasi dan diskriminasi bahasa oleh kelompok mayoritas terhadap kelompok minoritas, kerap menjadi daya tarik untuk diketahui lebih lanjut. Dari pertanyaan-pertanyaan tersebut, dua tema yang dominan dalam aktivitas penelitian yang dilakukan adalah psikologi terorisme dan aspek psikologi pada nama dan penamaan (names and naming). 

 

Pertama, dalam tema psikologi terorisme, perkenalan pertama adalah saat melakukan penelitian dengan melakukan penelitian eksperimen laboratorium, yang mengukur prasangka kelompok muslim maupun non-muslim terhadap penampilan/busana (yang kerap digunakan oleh) kelompok muslim radikal (Erikha, 2011). Latar penelitian ini adalah munculnya prasangka hingga diskriminasi terhadap mereka yang memiliki identitas muslim (mulai dari nama diri hingga busana yang dikenakan) di Amerika Serikat, tidak lama setelah serangan kelompok teroris Al-qaeda ke World Trade Centre 11 September 2001. 

 

Masih di tahun 2011, saya mulai ikut serta ke dalam penelitian dan program intervensi terhadap para mantan narapidana terorisme (napiter) maupun kombatan di Poso/Ambon yang dipimpin oleh almarhum Prof Sarlito Wirasan Sarwono. Program ini cukup kompleks dan melibatkan lebih dari 154 orang partisipan di sejumlah daerah di Indonesia. Selama kurang lebih empat tahun, berkontak dan meneliti kurang lebih ¾ dari jumlah subjek tersebut, semakin menguatkan bahwa karakteristik maupun latar belakang mereka tidak terlalu berbeda dengan masyarakat Indonesia lainnya. Pembedanya adalah mereka telah terindoktrinasi dengan paham-paham radikal hingga setuju hingga berkomitmen untuk menggunakan kekerasan untuk mewujudkan tujuan kelompok. Faktor yang mendorong maupun menarik (baik langsung maupun tidak langsung) mereka ke pusaran ekstremisme juga dapat dinalar: pengaruh melalui lingkaran pertemanan, ikatan keluarga, pembelaan terhadap keyakinan yang dianut (Sarwono, 2012), hingga alasan ingin menyelamatkan diri dari kejaran saat Pemerintah Orde Baru aktif memburu preman pada 1980-an. 

 

Pengalaman berikutnya adalah saat mengeksplorasi dunia napiter melalui program terpadu kepada 130 napi dari 2015 hingga 2018. Banyak temuan yang diperoleh, seperti saya menjadi tahu bahwa di kalangan napiter terbagi dua: mereka yang mendukung kelompok ISIS, maupun mereka yang menentang kelompok ISIS. Keduanya pun terkadang saling bertentangan, meski bisa saja akur dalam aktivitas keseharian di lapas. Fenomena lain menarik adalah ternyata seorang napi biasa, yang ingin bertobat atas kekeliruan di masa lalu, bisa saja malah bertobat kepada ‘ustad’ dari kalangan napiter hingga membuatnya berubah 180 derajat menjadi radikal. Mereka ini disebut ‘napiter KW’ karena bukan napi terorisme, melainkan napi umum namun telah menjadi radikal (Erikha & Rufaedah, 2019). Bahkan mereka lebih radikal daripada napiter-napiter yang lain. Kemudian, bagaimana mereka membahasakan ekspresi psikologis pada saat menjalani proses hukuman di lapas melalui penyangkalan hingga rasa penerimaan atas kekhilafan yang dilakukan di masa lalu. Studi lain yang dilakukan terhadap napiter seperti pengukuran kompleksitas berpikir (integrative complexity) berdasarkan intervensi yang diberikan melalui rangkaian dialog agar dapat merangsang berpikir lebih kritis pada napiter (Putra, Erikha, Arimbi, & Rufaedah, 2018)

 

 Masih seputar fenomena ISIS dan ‘kejayaannya’ waktu itu, saya pun pernah melakukan studi bagaimana dua situs berita daring VOA Islam dan Arrahmah.com (Erikha, Putra, dan Sarwono, 2020 [2016]). Dari analisis yang dilakukan, ternyata meskipun kedua portal berita ini sama-sama mendukung ISIS saat kelompok terror tersebut eksis. Namun, dalam perjalanannya, ternyata Arrahmah.com justru berbalik arah menentang apa pergerakan yang dilakukan ISIS karena kelompok Jabal Nusrah yang didukung selama ini diserang oleh tantara ISIS.

 

Kedua, yaitu psikologi nama, yang mengkaji latar psikologi dan sosial pada fenomena nama dan penamaan. Mengkaji nama menjadi menarik karena selain mengetahui apa asal usul sebuah objek/subjek yang dinamai demikian, kita pun dapat melihat dinamika sosial di dalamnya. Pada contoh nama diri (antroponimi), kita bisa melihat fenomena seperti sangat sulitnya mengingat sebuah nama seseorang meski kita dapat mendeskripsikan karakteristik/atributnya (Brédart, 2016). Lebih lanjut, mengapa ada kecendrungan untuk memberikan nama tertentu pada anak di Norwegia dan Finlandia (Alhaug & Saarelma, 2017), fenomena seseorang menggunakan nama keluarga/marganya dalam masyarakat Batak (Perdana, Lauder & Lauder, 2019), fenomena untuk mengaburkan identitas orisinal dengan penggantian nama diri dalam masyarakat keturunan Tionghoa di Indonesia, khususnya sejak 1965 (Sutanto, 2002). 

Adapun topik riset yang sedang saya kaji sejak lima tahun terakhir yaitu studi nama tempat (toponimi), melalui penerapan konsep Kelekatan Toponimik[1]. Dengan mengambil latar urban, saya mencoba menggali bagaimana fenomena pergantian nama jalan di Kota Yogyakarta pada 2013 lalu, yang direspons oleh masyarakat daring maupun masyarakat setempat. Temuannya cukup menarik, terdapat tiga sikap warganet yaitu setuju, setuju bersyarat, hingga menolak pergantian nama jalan yang ada. Berdasarkan studi ini, diperlihatkan sebuah nama jalan (atau lebih) yang hendak diganti, memicu persetujuan maupun penentangan (Erikha, 2017). Dengan kata lain, nama tidak hanya urusan penanda atau identifikasi tempat semata, namun dapat dimaknai lebih karena telah digunakan dalam keseharian masyarakatnya. Dengan terbiasanya menggunakan nama jalan lama, biasanya akan tidak mudah bagi mereka untuk mengganti/membiasakan penyebutan nama jalan yang baru. 

 

Temuan yang cukup berbeda saat menelusuri pandangan masyarakat setempat yang tinggal ataupun beraktivitas di sekitar nama jalan yang diganti. Hanya sedikit dari mereka yang menentang, daripada yang setuju maupun setuju bersyarat. Mayoritas responden riset merupakan masyarakat asli Yogyakarta. Lainnya, salah satu temuan kualitatif yang ada, menunjukkan sikap kepatuhan terhadap Sultan Hamengkubuwono X. Singkatnya, apa pun sikap mereka terhadap pergantian nama jalan yang digagas Keraton, setuju maupun tidak setuju, pada akhirnya akan setuju karena dianggap sebagai titah Raja terhadap rakyatnya (Erikha, Wuryandari, Munarah, & Lauder, 2021; Erikha & Lauder (forthcoming)). 

 

Selama ini, cukup banyak pertentangan di tengah masyarakat setempat saat nama jalan diganti. Mereka yang berkeberatan karena nama yang disematkan merupakan bagian dari sejarah dan identitas kultural yang telah ada dari masa dahulu. Pergantian nama dianggap sebagai penghilangan sejarah dan identitas kelompok. Awal 2018, nama Jalan Mampang Prapatan dan Warung Buncit di Jakarta sempat akan diganti. Namun, belum sempat proses pergantian dilakukan, terdapat penentangan oleh sekolompok masyarakat maupun budayawan Betawi karena bagi mereka nama tersebut telah menjadi bagian identitas kebetawian setempat. Fenomena ini menjadi salah satu contoh pergantian nama dapat memicu kontroversi ataupun perselisihan. 

 

Sebaliknya, tidak lama berselang, saya justru melihat fenomena pergantian nama jalan dilakukan guna mengakhiri perselisihan di antara masyarakat Jawa dan Sunda yang diduga telah terjadi sejak Perang Bubat terjadi pada abad ke-14 silam. Pergantian ini digagas oleh representasi kedua suku, yaitu Pemda Jawa Barat (Sunda) dan Pemda Jatim dan D.I. Yogyakarta (Jawa) sejak 2018. Meski dalam pergantian nama jalan juga menuai penentangan oleh sebagian masyarakat di Surabaya karena dinilai telah menghilangkan nilai sejarah yang menjadi identitas dan perjuangan para pahlawan lokal, namun secara umum diprediksi sebagai ikhtiar menjadikan nama sebagai alat perdamaian (Erikha, 2021). 

 

Akhir kata, mungkin salah satu kontribusi kita (yang ditunggu-tunggu) dalam ranah ilmu pengetahuan adalah dengan ikhtiar menulis dan menyebarluaskannya ke hadapan khalayak, baik itu para akademisi maupun masyarakat luas. Dengan demikian, pemikiran dan rekomendasi terhadap masyarakat ataupun pihak yang berwenang, penelitian yang pernah dilakukan, tinjauan literatur tidak berhenti hanya di rak perpustakaan maupun ruang seminar semata. Atau mungkin diperlukan juga pernyataan seperti ‘Terbitkan atau binasa [Publish or perish]? 

 

Referensi:

 

Alhaug, G., & Saarelma, M. (2017). Naming of children in Finnish and Finnish-Norwegian families in Norway. In T. Ainiala & J.-O. Östman (Eds.), Socio-onomastics. The pragmatics of names (pp. 70–91). John Benjamins.

 

Brédart, S. (2016). Names and Cognitive Psychology. In The Oxford Handbook of Names and Naming (pp. 574–587). Oxford University Press. https://doi.org/10.1093/oxfordhb/9780199656431.013.57

 

Erikha, F., Putra, I. E., & Sarwono, S. W. (2020). ISIS discourse in radical islamic online news media in Indonesia: Supporter or opponent. In Media Controversy: Breakthroughs in Research and Practice. IGI Global. https://doi.org/10.4018/978-1-5225-9869-5.ch034

 

Erikha, F. (2011). Pengaruh Pemaparan Eksemplar Pada Prasangka Terhadap Penampilan Fisik Islam Garis Keras. Universitas Indonesia.

 

Erikha, F. (2021). Application of The Concept of Critical Toponymies to Street Name Changes in Bandung, Yogyakarta and Surabaya. Paradigma, Jurnal Kajian Budaya11(1), 25–41. https://doi.org/10.17510/paradigma.v11i1.373

 

Erikha, F. (2017). Nama Jalan Baru versus Nama Jalan Lama di Kota Yogyakarta: Sebuah Penelusuran Toponomastik. Seminar Internasional Leksikologi Dan Leksikografi, 126–135.

 

Erikha, F, & Rufaedah, A. (2019). Dealing with terrorism in Indonesia: An attempt to deradicalize, disengage, and reintegrate terror inmate with social psychology approach. In M. M. Aslam & R. Gunaratna (Eds.), Deradicalization in South East Asia (pp. 131–138). Routledge.

 

Erikha, F, Wuryandari, N. W., Munawarah, S., & Lauder, M. R. (2021). Toponimi dan Budaya dalam Lanskap Semiotik. In U. Yuwono, F. X. Rahyono, & T. Christomy (Eds.), Semiotika: Mencerap Tanda, Mendedah Makna. Persembahan bagi Profesor Benny Hoedoro Hoed, Pembangun Fondasi Pengkajian Semiotika di Indonesia (pp. 163–180). Wedatama Widya Sastra.

 

Perdana, P. R., Lauder, M. R. M. T., & Lauder, A. F. (2016). Clan Names of the Simalungun Batak: The Naming System of an Indonesian Ethnic Group. Onoma51, 133–145.

 

Putra, I. E., Erikha, F., Arimbi, R. S., & Rufaedah, A. (2018). Increasing integrative complexity on convicted terrorists in Indonesia. Social Psychology and Society9(2), 35–45. https://doi.org/10.17759/sps.2018090203

 

Sarwono, S. W. (2012). Terorisme di Indonesia dalam Tinjauan Psikologi. Alvabet.

 

Sutanto, I. (2002). Ganti Nama di Kalangan Keturunan Tionghoa Peraturan dan Kebebasan. Wacana. Jurnal Ilmu Pengetahuan Budaya4(140–149).

 


[1] Kelekatan Toponimik (Toponymic Attachment) adalah konsep asosiasi positif ataupun negatif terhadap toponim yang nyata maupun toponim yang imajiner, yang dijelaskan oleh Laura Kostanski tahun 2016 dalam salah satu bab di buku The Oxford Handbook of Names and Naming. Kostanski membangun teori ini berdasarkan teori kelekatan terhadap tempat (Place Attachment), yang merupakan bagian dari psikologi lingkungan.