ISSN 2477-1686
Vol. 11 No. 43 Oktober 2025
ChatGPT sebagai Media Koneksi Emosional Gen Z di Era Digital
Oleh:
Angela Nathania Kurniawan
Fakultas Psikologi, Unika Atma Jaya Jakarta
Tidak pernah terbayangkan sebelumnya dalam sejarah peradaban manusia bahwa hari ini, kita akan mampu menyampaikan keluh secara emosional kepada teknologi buatan. Kemajuan teknologi telah mendorong kita memasuki era dimana interaksi manusia dengan kecerdasan buatan (AI) sudah memasuki hal-hal bersifat personal. Salah satu contohnya adalah bagaimana mayoritas Generasi Z yang umumnya berusia 18-24 tahun, cenderung menjadikan ChatGPT sebagai penasihat dalam kehidupan sehari-hari (Altman, 2025 dalam Bremanda & Pratomo, 2025). Fenomena ini menandai perubahan besar dalam berdinamika komunikasi manusia, bahwa chatbot seperti ChatGPT kini mulai dimanfaatkan sebagai “teman curhat” oleh sebagian pengguna.
Temuan terbaru dari Elyoseph et al., (2023) menunjukkan bahwa ChatGPT memiliki kemampuan untuk mengidentifikasi dan menggambarkan emosi berdasarkan deskripsi perilaku dalam suatu skenario yang diberikan. Kemampuan ini berkaitan dengan konsep Emotional Awareness (EA) atau kecakapan kognitif seseorang dalam memahami dan mengkonseptualisasikan emosi diri sendiri maupun orang lain secara terdiferensiasi dan terintegrasi (Nandrino et al., 2013 dalam Elyoseph et al., 2023). Berdasarkan pengujian melalui alat ukur LEAS atau Levels of Emotional Awareness Scale, terkonfirmasi bahwa ChatGPT menunjukan respons EA yang tepat dan kinerjanya dapat meningkat secara signifikan seiring waktu (Elyoseph et al., 2023)
Pertanyaannya kemudian “Apakah AI benar-benar dapat menggantikan peran manusia secara emosional?”. Untuk menjawab pertanyaan ini, saya pribadi memutuskan melakukan eksperimen dengan menjadikan ChatGPT sebagai tempat bercerita. Saya menggunakan dua pendekatan yaitu sebagai konselor dan teman curhat. Dalam perannya menjadi konselor, respons dari ChatGPT sangatlah terstruktur dan empatik, AI ini mampu menggunakan kata-kata validasi seperti “Aku mengerti perasaanmu” dan teknik summarizing setiap saya selesai bercerita. Menurut saya teknik yang digunakan memang sesuai dengan konseling pada umumnya, akan tetapi penggunaan probing hanya untuk memperluas cerita dan sulit menemukan titik tengahnya.
Sementara itu, ketika diminta berperan sebagai teman curhat, ChatGPT lebih banyak memberikan saran praktis dan tips layaknya artikel psikologi populer. Meskipun responnya tetap sopan dan membantu, tetapi saya menyadari adanya “jarak emosional” yang tidak dapat dijembatani. Interaksi yang terjadi memang terasa suportif tapi tetap tidak dapat menggantikan kenyamanan berbicara dengan sesama manusia yang memberikan respons berdasarkan pengalaman dan intuisi emosional.
Banyak pengguna menjadikan ChatGPT sebagai tempat curhat karena keterbatasan dalam mengakses dukungan emosional di lingkungannya. Penelitian menunjukkan bahwa interaksi digital dapat membangkitkan respons psikologis serupa dengan interaksi tatap muka (Huang et al., 2019 dalam Liu, 2024). ChatGPT ini menawarkan keunggulan berupa ketersediaannya setiap hari, cepat tanggap, tidak menghakimi dan konsisten memberikan respons yang empatik. Ketika ChatGPT mampu mensimulasikan ekspresi emosional yang baik, pengguna akan merasa lebih nyaman dan tervalidasi serta menjadi sumber kenyamanan alternatif seseorang (Liu, 2024). Hubungan emosional yang terjalin dengan chatbot ini nyatanya memang mampu memenuhi kebutuhan emosional dasar manusia seperti didengarkan dan diterima walaupun AI hanya sekedar artifisial.
Dalam realitas kehidupan modern, manusia dan teknologi telah menjadi dua entitas yang sulit dipisahkan. Namun, di sisi lain telah banyak alasan mengapa AI bukanlah pilihan ideal untuk dijadikan sebagai teman curhat apalagi dalam penggunaan jangka waktu panjang. Salah satu keterbatasan AI adalah mengenali konteks emosional yang kompleks, ditambah pembahasan manusia yang sangat bergantung pada intonasi maupun ekspresi dan bahkan kita pun seringkali salah menginterpretasikan jika hanya melalui teks. Studi menunjukkan bahwa, terkadang pengguna akan berisiko menghadapi frustasi apabila chatbot gagal memahami konteks atau memberikan respons yang tepat (Mozafari et al., 2020 dalam Liu, 2024).
Interaksi dengan AI dapat mengurangi rasa otonomi dan menciptakan jarak emosional yang berpotensi adanya isolasi sosial dari dunia luar (Rad & Rad, 2023 dalam Liu, 2024). Chat GPT tidak memiliki kapasitas nyata untuk memahami kompleksitas emosi manusia atau merespons dengan empati yang sesungguhnya. Maka ketika seseorang menghadapi situasi kritis, Chat GPT mungkin berpotensi meremehkan tingkat keparahan masalah yang tentu saja dapat berbahaya (Elyospeh & Levkovich, 2023).
Tren curhat kepada AI ini mencerminkan bagaimana kebutuhan manusia terpenuhi melalui “wadah” yang dapat menemani dan mendengarkan individu terutama dalam dunia yang semakin individualistik. ChatGPT memang dirancang menjadi platform bantuan untuk menawarkan sebuah solusi praktis yang cepat dan pengguna tidak akan merasa dihakimi. Akan tetapi, mengingat adanya berbagai kelebihan maupun kekurangan dari penggunaan AI sebagai tempat mencurahkan perasaan. Maka perlu adanya regulasi untuk menghindari penggunaan ChatGPT secara berkepanjangan.
Dalam menjadi langkah awal, perlu dilakukan pengembangan sistem ChatGPT supaya lebih responsif terhadap kondisi krisis emosional seseorang. Penambahan fitur emergency response seperti tombol bantuan darurat, pembatasan waktu pengguna (sistem timekeeper) dan memberhentikan penggunaan ChatGPT secara paksa. Ketika sistem mendeteksi adanya pembicaraan mengindikasikan masalah sering, maka pengguna akan langsung diarahkan ke layanan atau komunitas kesehatan mental setempat. Selanjutnya, sistem ditambahkan dengan menampilkan iklan layanan dukungan secara otomatis setiap pengguna mengirimkan pesan-pesan tertentu. Pengembangan sistem ini memungkinkan adanya keterlibatan dengan manusia dan secara tidak langsung mendapatkan informasi tentang bantuan yang tersedia tanpa merasa dihakimi atau dipaksa.
Namun, kesempatan untuk hadir secara langsung kepada orang lain memiliki peran yang penting dalam mencegah individu bergantung pada ChatGPT. Pendekatan interpersonal dengan berkoneksi bersama manusia, memang sering kali bermakna daripada sekedar interaksi digital. Sedia memberikan waktu untuk mendengarkan secara aktif tanpa menghakimi, maka seseorang sudah dapat menciptakan ruang aman bagi orang lain untuk merasa diterima dan ditemani. Meskipun sederhana, kehadiran yang nyata mampu memberikan dampak dalam menghadirkan kebutuhan emosional dan sosial yang lebih sehat.
Refrensi:
Bremanda, M. & Pratomo, Y. (2025). “Beda Cara Gen Z dan Milenial Pakai ChatGPT, Bos OpenAIMengungkap”. Kompas. https://tekno.kompas.com/read/2025/06/11/12030067/beda-cara-gen-z-dan-milenial-pakai-chatgpt-bos-openai-mengungkap
Elyoseph, Z., Hadar-Shoval, D., Asraf, K. & Lvovsky, M. (2023). ChatGPT outperforms humans in emotional awareness evaluations. Front Psychol (14).
https://doi.org/10.3389/fpsyg.2023.1199058
Elyoseph, Z. & Levkovich, I. (2023). Beyond human expertise: the promise and limitations of ChatGPT in suicide risk assessment. Front Psychiatry (14). https://doi.org/10.3389/fpsyt.2023.1213141
Liu, J. (2024). ChatGPT: perspectives from human–computer interaction and psychology. Frontiers in Artificial Intelligence (7). https://doi.org/10.3389/frai.2024.1418869