ISSN 2477-1686  

 Vol. 11 No. 43 Oktober 2025

 

Dari Berbagai Identitas Sosial Menjadi Indonesia

 

Oleh:

Arief Budiarto1 & Arina Shabrina2

1Fakultas Psikologi Universitas Jenderal Achmad Yani

2Fakultas Sosial dan Humaniora Universitas Muhammadiyah Bandung

 

 

Pendahuluan

Indonesia, sebuah kepulauan luas dengan lebih dari 17.000 pulau, dikenal karena keragaman budaya dan sosialnya yang luar biasa. Dengan lebih dari 300 kelompok etnis, masing-masing memiliki tradisi, bahasa, dan struktur sosial yang unik, keragaman ini menjadi fondasi identitas budaya Indonesia. Pembentukan identitas sebagai orang Indonesia berawal dari proses alami akulturasi dan asimilasi antar berbagai kelompok etnis (Latif, 2011). Keberagaman budaya Indonesia dapat menimbulkan interaksi sosial yang unik dan dinamis, namun juga berpotensi menimbulkan tantangan dalam menjaga kohesi sosial dan kerukunan antaretinis (Danisworo, 2023; Hutabarat, 2023). Rasa tidak percaya, perbedaan preferensi terhadap kebijakan dan polarisasi lintas kelompok etnis, bahasa dan agama dapat mendorong munculnya ketidakstabilan sosial, politik, dan ekonomi yang nantinya meningkatkan kerentanan masyarakat terhadap konflik (Arbatli et al., 2020). Memahami bagaimana identitas sosial yang beragam ini berkontribusi terhadap identitas nasional Indonesia menjadi penting saat bangsa ini menghadapi kompleksitas modernisasi dan globalisasi. Artikel ini membahas keterkaitan antara identitas sosial yang beragam di Indonesia dengan identitas nasionalnya secara keseluruhan, mengeksplorasi dinamika, tantangan, dan jalur menuju persatuan.

 

Identitas Sosial di Indonesia

Teori Identitas Sosial yang dikembangkan oleh Henri Tajfel dan John Turner menjelaskan bagaimana individu mendapatkan rasa kebersamaan dari keanggotaannya dalam kelompok sosial (Hogg, 2018). Identitas sosial merujuk pada bagian dari konsep diri individu yang berasal dari keanggotaan mereka dalam kelompok sosial. Teori ini menekankan bagaimana afiliasi kelompok membentuk perilaku, persepsi, dan interaksi dalam konteks sosial (Guan & So, 2022). Munculnya berbagai identitas sosial dalam diri seseorang menjadi dasar dari pembentukan identitas pribadi dan pengembangan kepribadiannya (Swann & Bosson, 2010). Sebagai contoh, pada masyarakat Indonesia identitas sosial sangat terkait dengan etnisitas, agama, bahasa, dan adat isti adat lokal. Kelompok etnis seperti Jawa, Sunda, Batak, Bali, dan lainnya memiliki tradisi, bahasa, dan norma sosial yang khas. Selain itu, keragaman agama menambah lapisan lain dalam identitas sosial, dengan Islam, Kristen, Hindu, dan Buddha menjadi agama-agama utama yang dianut di seluruh negeri.

Keragaman identitas ini memperkaya warisan budaya Indonesia, mulai dari tarian tradisional dan musik hingga kerajinan lokal dan kuliner khas (Samongilailai & Utomo, 2024). Namun, keragaman ini juga menimbulkan tantangan, seperti ketegangan antar-etnis, representasi yang tidak merata, dan marginalisasi kelompok minoritas (Berry, 2006). Mengatasi tantangan ini memerlukan pengelolaan yang cermat untuk menyeimbangkan keragaman dengan kebutuhan akan kohesi nasional.

 

Identitas Nasional di Indonesia

Identitas nasional mencerminkan rasa kebersamaan kolektif yang seringkali diungkapkan melalui nilai-nilai, simbol-simbol, dan narasi sejarah yang sama (Anderson, 2020). Di Indonesia, semboyan nasional "Bhinneka Tunggal Ika" (Berbeda-beda tetapi tetap satu) mencerminkan cita-cita untuk merangkul keragaman sambil mendorong persatuan (Riyanto, Febrian, & Zanibar, 2022). Prinsip ini diperkuat melalui simbol-simbol nasional seperti lambang Garuda Pancasila, lagu kebangsaan "Indonesia Raya," dan hari-hari besar nasional seperti Hari Kemerdekaan.

Identitas nasional Indonesia telah terbentuk bahkan sebelum perjuangan kemerdekaan dimulai. Pengalaman sejarah bersama di bawah penjajahan Belanda dan Jepang memunculkan gerakan nasionalis yang berhasil mengembangkan identitas nasional Indonesia baru melampaui perbedaan etnis, ras dan agama, menyatukan masyarakat dalam perjuangan bersama untuk kemerdekaan dan pembentuka negara bangsa Indonesia (Yuwanto,2012). Pemahaman sejarah memainkan peran penting untuk memperkuat identitas nasional dengan memberikan informasi terkait asal-usul suatu negara, menghubungkan mereka dengan karakter dan nilai-nilai masyarakat dan menegaskan rasa bangga terhadap identitas nasional (Strebten, 2011 & Seixas, 2017). Maka dari itu, pendidikan dan media memainkan peran vital dalam memperkuat identitas ini dengan mempromosikan nilai-nilai nasional dan merayakan warisan bersama. Namun, interaksi antara keragaman budaya Indonesia yang luas dan identitas nasionalnya memerlukan negosiasi yang dilakukan secara konsisten untuk memastikan inklusivitas dan saling menghormati.

 

Keterkaitan Antara Identitas Sosial dan Identitas Nasional

 

Identitas sosial masyarakat Indonesia yang berasal dari keanggotaan dalam kelompok sosial seperti etnis dan agama menjadi aspek penting ketika mendalami identitas nasional negara multi etnis dan multikultiral. Identitas sosial yang beragam di Indonesia memperkaya identitas nasionalnya (Thahir, 2023). Setiap orang di Indonesia pada akhirnya akan mengembangkan identitas ganda yang meliputi (1) identitas suku bangsa dan (2) identitas sebagai warga bangsa Indonesia (Verkuyten & Yildiz, 2007). Kontribusi ini menyoroti kekuatan keragaman Indonesia dalam membentuk identitasnya di panggung global.

Kadang-kadang, identitas sosial yang kuat dapat berbenturan dengan identitas nasional, terutama ketika kelompok-kelompok tertentu merasa mengalami ketidakadilan atau marginalisasi. Pada permasalahan terkait SARA (Suku, agama, ras, dan antargolongan) biasanya kelompok minoritas identik menjadi korban (George, 2017). Misalnya, minoritas etnis atau agama mungkin merasa kurang terwakili dalam institusi politik atau sosial. Ketegangan ini, jika tidak ditangani, dapat menyebabkan kerusuhan atau tuntutan untuk pengakuan lebih besar terhadap kelompok tertentu.

Upaya untuk mengintegrasikan berbagai identitas sosial ke dalam kerangka nasional yang kohesif sebaiknya melibatkan kebijakan dan inisiatif yang inklusif. Pendidikan multikultural, festival budaya, dan otonomi daerah adalah contoh strategi yang mempromosikan apresiasi dan penghormatan terhadap keragaman. Pendidikan multikultural di Indonesia tidak hanya menekankan bahwa ada masyarakat yang hidup dengan budaya berbeda tetapi juga perlu memunculkan kesadaran bahwa pluralisme adalah sebuah investasi yang tak ternilai harganya (Suyahman, 2016). Tujuan dari pendidikan multikultural adalah mengajarkan empati dan rasa saling menghormati pada orang-orang dengan keyakinan agama dan budaya yang berbeda. Selain itu, program yang mendorong dialog antara komunitas yang berbeda menjadi krusial untuk menjembatani perbedaan dan memperkuat pemahaman bersama

 

Pemimpin dan gerakan politik sering memanfaatkan identitas sosial dan nasional untuk mendapatkan dukungan. Sebagai contoh, di Indonesia politik identitas (identity politics) berhubungan dekat dengan isu ras, agama, ideologi dimana orang-orang mengaitkan identitas diri dengan partisipasinya dalam aktivitas politik. Ketika politik identitas mendominasi, maka muncul risiko polarisasi masyarakat, ancaman terhadap harmoni sosial dan stabilitas politik serta meningkatknya diskriminasi pada kelompok minoritas (Danugroho, 2024).

Sementara kebijakan yang inklusif dapat memperkuat persatuan nasional, praktik eksklusi atau keberpihakan terhadap kelompok tertentu dapat memperburuk perpecahan dan mengganggu harmoni sosial.

 

Interaksi antara kelompok sosial yang beragam dapat meningkatkan budaya nasional. Inisiatif seperti dialog antaragama, program pertukaran budaya, dan proyek komunitas kolaboratif berkontribusi pada pemahaman bersama dan rasa identitas yang lebih kuat. Dialog antar budaya dan keyakinan dapat meningkatkan kohesi sosial, rasa saling menghormati dan penyelesaian masalah yang kolaboratif (Irwan, 2020; Fajar et al., 2023). Masalah yang umumnya muncul akibat dari keragaman kelompok seperti stereotip dan prasangka dapat diatasi melalui pendidikan, dialog dan interaksi positif antar kelompok sosial (Goertler & Schenker, 2021).

 

Aspek

Identitas Sosial

Identitas Nasional

Keterkaitan

Definisi

Identitas yang berasal dari keanggotaan dalam kelompok sosial seperti etnis, agama, bahasa, dan tradisi lokal.

Identitas yang berasal dari rasa kebersamaan dan kesatuan sebagai warga negara, seringkali terkait dengan simbol dan nilai nasional.

Identitas sosial memperkaya identitas nasional dengan menambahkan keanekaragaman budaya dan tradisi.

Contoh

Etnis Jawa, Sunda, Bali, dan Batak; agama Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Buddha, dan Kong Hu Cu.

Simbol nasional seperti Garuda Pancasila, lagu kebangsaan "Indonesia Raya," dan hari-hari nasional seperti Hari Kemerdekaan.

Keragaman etnis dan agama berkontribusi pada kekayaan budaya Indonesia yang diakui sebagai bagian dari warisan nasional.

 

Peran

 

Memberikan individu rasa identitas dan harga diri berdasarkan keanggotaan dalam kelompok sosial.

 

Membangun rasa kebersamaan dan persatuan di antara warga negara, mempromosikan nilai-nilai nasional.

 

Identitas sosial dapat memperkuat identitas nasional dengan merayakan keragaman sebagai bagian dari identitas nasional.

 

Ketegangan dan Konflik

 

Identitas sosial yang kuat dapat menyebabkan ketegangan ketika kelompok merasa tidak diakui atau terpinggirkan.

 

Ketika identitas nasional tidak mencakup semua kelompok sosial, dapat terjadi ketegangan dan konflik.

 

Pentingnya kebijakan yang inklusif dan pengakuan terhadap semua kelompok sosial untuk mencegah konflik dan memperkuat persatuan.

 

Integrasi dan Persatuan

 

Melalui pendidikan multikultural, festival budaya, dan otonomi daerah, berbagai identitas sosial diintegrasikan ke dalam kerangka nasional yang kohesif.

 

Menggunakan simbol nasional dan nilai-nilai seperti "Bhinneka Tunggal Ika" untuk mempromosikan persatuan dalam keragaman.

 

Upaya integrasi ini membantu membangun pemahaman dan apresiasi terhadap keragaman, yang mendukung identitas nasional.

 

Pengaruh Politik

 

Identitas sosial sering dimanfaatkan oleh pemimpin dan gerakan politik untuk mendapatkan dukungan.

 

Identitas nasional digunakan untuk mempromosikan kesatuan dan stabilitas politik.

 

Kebijakan inklusif yang menghargai identitas sosial dapat memperkuat persatuan nasional, sementara praktik eksklusif dapat memperburuk perpecahan.

 

Pertukaran Budaya

 

Interaksi antara kelompok sosial yang beragam meningkatkan kekayaan budaya nasional.

 

Program pertukaran budaya dan dialog antaragama mempromosikan pemahaman bersama dan rasa identitas yang lebih kuat.

 

 

Pertukaran budaya ini memperkuat identitas nasional dengan mempromosikan keragaman sebagai kekayaan bersama.

 

Peran

 

Memberikan individu rasa identitas dan harga diri berdasarkan keanggotaan dalam kelompok sosial.

 

Membangun rasa kebersamaan dan persatuan di antara warga negara, mempromosikan nilai-nilai nasional.

 

Identitas sosial dapat memperkuat identitas nasional dengan merayakan keragaman sebagai bagian dari identitas nasional.

Tabel 1. Keterkaitan Antara Identitas Sosial dan Identitas Nasional

 

 

Studi Kasus: "Bhinneka Tunggal Ika"

Semboyan "Bhinneka Tunggal Ika" merupakan contoh pendekatan Indonesia dalam mengelola keragamannya. Prinsip ini tertanam dalam filosofi dasar negara, Pancasila, yang menekankan persatuan, keadilan, dan saling menghormati. Bhineka Tunggal Ika sebagai konsep tidak hanya berkaitan dengan toleransi atas perbedaan agama, tetapi juga meluas hingga toleransi perbedaan fisik, budaya, bahasa, sosial, politik, ideologi dan psikologis (Hardono, 1994). Prinsip ini bertujuan untuk mempersatukan semua perbedaan yang ada di dalam masyarakat. Program pendidikan yang berpusat pada Pancasila mengajarkan nilai-nilai ini kepada siswa, menumbuhkan rasa bangga nasional sekaligus mendorong penghormatan terhadap keragaman. Pendidikan pancasila yang efektif dapat terlihat pada tingkat partisipasi sosial dan nilai-nilai yang diaplikasikan dalam tindakan (Damanhuri & Lestari, 2024).

 

Mengintegrasikan Pancasila: Kerangka Psikologis dan Dampak Perilaku

Dalam sejarah kebangsaan Indonesia, Pancasila adalah ideologi yang mampu menyatukan dan membuka dialog antarkebudayaan (Sa'duh & Nelwati, 2024). Menurut Eko Meinarno (2021), Pancasila berfungsi sebagai sumber perilaku masyarakat Indonesia, menekankan perannya tidak hanya sebagai ideologi negara tetapi juga sebagai nilai nasional yang melekat dalam kehidupan sehari-hari. Meinarno membahas bagaimana lima dimensi Pancasila—religio-toleransi, kemanusiaan, patriotisme-persatuan, demokrasi, dan keadilan sosial—dapat diterjemahkan ke dalam konstruksi psikologis untuk membentuk perilaku yang selaras dengan nilai-nilai nasional. Perspektif psikologis ini menyoroti Pancasila sebagai alat untuk mempromosikan inklusivitas, persatuan, dan penghormatan di antara populasi Indonesia yang beragam.

 

Penutup

Keterkaitan antara identitas sosial dan nasional di Indonesia adalah keseimbangan yang kompleks namun berharga. Keragaman negara ini merupakan sumber kekayaan budaya sekaligus tantangan potensial dalam membangun identitas yang kohesif. Dengan mendorong inklusivitas, mempromosikan dialog, dan merayakan kontribusi dari semua kelompok sosial, Indonesia dapat terus memperkuat identitas nasionalnya sambil mempertahankan keragamannya yang unik.

 

Terima Kasih

Ucapan terima kasih kepada Eko A Meinarno, pengampu mata kuliah Psikologi Kebangsaan di Fakultas Psikologi Universitas Indonesia. Materi ini awalnya adalah bahan kuliah untuk mata kuliah Psikologi Kebangsaan yang dipaparkan untuk salah satu sesinya.

 

 

Referensi:

Anderson, B. (2020). Imagined communities: Reflections on the origin and spread of nationalism. In The new social theory reader (pp. 282-288). Routledge.

Arbatlı, C. E., Ashraf, Q. H., Galor, O., & Klemp, M. (2020). Diversity and conflict. Econometrica88(2), 727-797.

Berry, JW. (2006). Context of acculturation. In Acculturation psychology. David L Sam and John W Berry (ed.). Cambidge.

Damanhuri, D., & Lestari, R. Y. (2024). Efektivitas Pembelajaran Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan Dengan Menggunakan Media Web Sanggar Belajar (Studi Deskriptif pada kelas XI di SMA Negeri 8 Kota Serang). Journal of Management Education Social Sciences Information and Religion1(2), 354-363.

Danisworo, T. G. (2023). Governing Religion: Critics of Indonesia's Government Social Cohesion and Religious Harmony Policy. Aliansi: Jurnal Politik, Keamanan Dan Hubungan Internasional2(2), 76-85.

Danugroho, A. (2024). Defects of Democracy: The Continuity of Identity Politics in Post-Reform Regional Elections Kecacatan Demokrasi: Lestarinya Politik Identitas dalam Pilkada Pasca Reformasi. Jurnal Sosiologi Dialektika19(1), 89.

Fajar, H., Nero, A., & Riyanto, F. A. (2023). Pengaruh Dialog Interreligius dalam Mencegah Konflik Sosial Antar Umat Beragama Di Karang Besuki Malang. Jurnal Filsafat Indonesia6(1), 51-59.

George, C. (2017). Pelintiran Kebencian: Rekayasa Ketersinggungan Agama dan Ancamannya bagi Demokrasi. Translated by Tim PUSAD Paramadina dan IIS UGM. Jakarta: PUSAD Paramadina.

Goertler, S., & Schenker, T. (2021). From Study Abroad to Education Abroad. Routledge. https://doi.org/10.4324/9780429290893

Guan, M., & So, J. (2022). Social Identity Theory. The International Encyclopedia of Health Communication, 1-5. https://doi.org/10.1002/9781119678816.iehc066.

Hardono, H. (1994). Hakikat dan Muatan Filsafat Pancasila. Kanisius

Hogg, M. A. (2018). Social identity theory. In P. J. Burke (Ed.), Contemporary social psychological theories (2nd ed., pp. 112-138). Stanford University Press

Hutabarat, F. (2023). Navigating diversity: Exploring religious pluralism and social harmony in Indonesian society. European Journal of Theology and Philosophy3(6), 6-13.

Irwan, I. (2020). Urgensi Pendidikan Agama Berwawasan Multikultural dalam Membangun Paradigma Inklusif pada Sekolah Umum di Kota Bima. Kreatif: Jurnal Pemikiran Pendidikan Agama Islam18(1), 84-98.

Latif, Y. (2011). Negara paripurna: historisitas, rasionalitas, dan aktualitas Pancasila. Gramedia Pustaka Utama.

Meinarno, E. A. (2021). Pancasila: The Indonesian's source of behavior. In Empowering Civil Society in the Industrial Revolution 4.0 (pp. 174-177). Routledge.

Riyanto, S., Febrian, F., & Zanibar, Z. (2022). Bhinneka Tunggal Ika: Its Norming and Actualization in Democracy in Indonesia. SASI. https://doi.org/10.47268/sasi.v28i4.1058.

Sa’duh, N. S., & Nelwati, N. S. (2024). Memperkuat Integrasi Nasional di Tengah Keberagaman Indonesia. Inspirasi Dunia Jurnal Riset Pendidikan dan Bahasa, 3(3), 201–207. https://doi.org/10.58192/insdun.v3i3.2286

Samongilailai, H. N., & Utomo, A. B. (2024). Strategi Melestarikan Budaya Indonesia di Era Modern. WISSEN: Jurnal Ilmu Sosial dan Humaniora, 2(4), 157-168.

Seixas, P. (2017). Historical consciousness and historical thinking. Palgrave handbook of research in historical culture and education, 59-72.

Strebten, P. A. U. L. (2011). Why interdisciplinary studies. Dev. Anthropol. Dev. Situat7, 145-150.

Suyahman, S. (2016). Implementation of Multicultural Education In Indonesia Between Expectations and Reality. Proceeding ISETH (International Summit on Science, Technology, and Humanity), 202-215.

Swann W. B., Jr., Bosson J. K. (2010). “Self and identity,” in Handbook of Social Psychology, 5th Edn, Vol. 1 eds Fiske S. T., Gilbert D. T., Lindzey G. (Hoboken, NJ: Wiley; ), 589–628. 

Thahir, A. (2023). The Need for a Comprehensive Approach: Integrating Multiculturalism and National Identity in Indonesian Education. British Journal of Philosophy, Sociology and History. https://doi.org/10.32996/pjpsh.2023.3.1.3.

Verkuyten, M., & Yildiz, A. A. (2007). National (dis) identification and ethnic and religious identity: A study among Turkish-Dutch Muslims. Personality and social psychology bulletin33(10), 1448-1462.

Yuwanto, Y. (2012). Politics of national identity: Comparative analysis on Indonesia and South Korea. Politika: Jurnal Ilmu Politik3(1), 117-122.