ISSN 2477-1686
Vol. 11 No. 33 Mei 2025
Berkenalan Lebih Dalam Dengan Acting Out Behaviour pada Anak di Sekolah
Oleh:
Jose Andre Mahalim & Penny Handayani
Pendidikan Profesi, Fakultas Psikologi, Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya - Jakarta
Pernahkah anda berhadapan dengan siswa yang pada pagi hari tampak baik-baik saja, namun pada jam pelajaran tertentu tetiba meninggalkan kelas tanpa alasan yang jelas dan menolak kembali ke kelasnya, meskipun anda sudah mencoba beragam cara? Apakah siswa tersebut nakal, bandel atau hanya menunjukan perilaku acting out. Banyak ahli Psikologi Tumbuh Kembang yang mengatakan bahwa ‘Acting out is a way of communicating what cannot be verbalized. Enactments are nonverbal behaviours in the treatment room. Transforming actions into words is an important part of healing.’ (Satow, 2022). Apakah memang sesederhana itu perilaku ini? Mari kita kenalan lebih jauh.
Acting Out Behavior
Acting out atau bertindak impulsif atau mencari perhatian adalah defense mechanism yang digunakan ketika seseorang tidak mampu mengelola konflik mental melalui pemikiran atau mengungkapkannya dengan kata-kata. Istilah acting out sendiri merujuk pada perilaku yang ditujukan kepada dirinya sendiri maupun orang lain, di mana pelepasan emosi yang terjadi melalui suatu tindakan tanpa mempertimbangkan konsekuensi negatif atau hasil akhir dari tindakan tersebut (Ponsi, 2017).
Terdapat beberapa karakteristik yang biasanya ditunjukkan oleh anak-anak dengan perilaku acting out, antara lain adalah: ketidakpatuhan, negativisme, menonjolkan diri sendiri, reaktif, tantrum, marah, mudah tersinggung, berteriak, dan perubahan suasana hati. Berdasarkan karakteristik tersebut, anak-anak sering diberi label seperti mempunyai perilaku yang oposisi, mengganggu, reaktif, mempunyai gangguan perilaku, antisosial dan tidak patuh (Forehand & Long, 1988).
Fase Acting Out Behavior
Terdapat tujuh fase pola perilaku acting out yang adalah (1) calm, (2) triggers, (3) agitation, (4) acceleration, (5) peak, (6) de-escalation, dan (7) recovery. Fase calm, triggers, agitation, acceleration, peak masuk ke dalam perilaku eskalasi; sedangkan de-escalation dan recovery masuk ke dalam perilaku de-eskalasi (Kauffman, Mostert, Trent, & Hallahan, 1998; Sprague & Golly, 2004).
Gambar 1. Fase perilaku acting out
Menurut Colvin dan Scott (2015), berikut adalah deskripsi dari perilaku saat fase acting out berlangsung:
Calm
Anak yang marah atau dengan perilaku reaktif cenderung akan berperilaku tenang pada tahap awal (calm) dari acting out. Perilaku mereka akan mengikuti peraturan, kooperatif, dan akan merespon terhadap arahan dan ekspektasi dari guru. Biasanya guru akan menganggap anak yang memiliki perilaku acting out sebagai dua orang yang berbeda, dimana pada saat mereka berfungsi sebagaimana mestinya di dalam kelas, mereka dapat berbagi, bekerja sama, dan bergaul dengan murid lainnya. Dengan kata lain, pada tahap ini anak dapat mempertahankan perilaku sesuai dengan peraturan, mengikuti peraturan dan ekspektasi, menanggapi pujian, menginisiasi perilaku yang sesuai dengan peraturan dan merespon terhadap tujuan dan keberhasilan.
Triggers dan Prognosis
Pada tahap triggers, terdapat peristiwa yang dapat yang memicu perilaku acting out pada anak. Secara umum, terdapat dua tipe triggers atau penyebab pada fase ini antara lain adalah school-based atau yang terjadi di sekolah yang terdiri dari konflik, perubahan rutin, provokasi dari teman kelas, tekanan dan melakukan kesalahan saat instruksi; dan nonschool-based atau yang terjadi di luar sekolah yang terdiri dari masalah kesehatan, kebutuhan rumah yang tidak tercukupi, kebutuhan gizi yang tidak tercukupi, kualitas tidur yang tidak memadai, penggunaan obat-obatan terlarang dan perilaku kelompok sebaya yang menyimpang. Tipe triggers bisa terjadi secara bersamaan, baik di sekolah maupun luar sekolah seperti rumah. Sehingga triggers ini harus dilihat sebagai serangkaian kejadian yang sifatnya kumulatif yang dapat menyebabkan ledakan perilaku anak.
Agitation
Setelah fase triggers, anak akan berpindah ke fase tiga yaitu agitation. Anak akan menunjukkan emosi seperti marah, kesal, depresi, gelisah, menarik diri, khawatir, terganggu, frustasi dan cemas. Siswa menunjukkan emosi tersebut karena ketidakmampuan mereka untuk mengendalikan atau mengelola triggers yang terjadi pada fase sebelumnya. Fase agitations ini bisa berlangsung cukup lama, tergantung dari peristiwa yang terjadi atau stimulus apa yang terjadi.
Secara umum, terdapat dua respons dari agitations yang bisa terjadi antara lain adalah respons yang menunjukkan peningkatan perilaku seperti hilangnya fokus dan atensi pada diri sendiri dan pada suatu kelompok dan anak terlihat memainkan memainkan sesuatu seperti pensil, menarik baju, membuka dan menutup buku, dan lain-lain; dan respons yang menunjukkan penurunan perilaku seperti melamun, menghindari kontak mata, menyendiri, menyembunyikan tangan dan kesulitan saat melakukan percakapan.
Acceleration
Pada fase acceleration, perilaku anak menjadi lebih terarah dan lebih terfokus kepada orang lain (seperti guru, teman, dan wali kelas). Dengan kata lain, anak akan menunjukkan perilaku yang menarik perhatian dan kemungkinan besar akan mendapatkan respons dari orang lain. Contoh dari perilaku acceleration antara lain adalah provokasi, menantang, menangis, melanggar peraturan, dan lain-lain
Peak
Pada fase ini, sesuai dengan namanya, perilaku anak menjadi semakin intens dan serius. Umumnya, perilaku siswa ditandai dengan adanya gangguan yang serius sehingga aktivitas kelas tidak dan/atau sulit untuk dilanjutkan. Perilaku ini sering diiringi dengan hiperventilasi dan bahasa tubuh lainnya yang menunjukkan kemarahan dan frustasi. Selain itu, perilaku ini sering menimbulkan ancaman terhadap keselamatan orang di sekitarnya. Contoh dari perilaku peak ini adalah serangan fisik, melukai diri sendiri, tantrum dan kabur.
De-escalation
Pada fase de-escalation, intensitas perilaku anak menjadi lebih berkurang. Anak mulai keluar dari perilaku yang sangat tidak terkendali yaitu pada fase peak. Namun, anak masih tidak terlalu kooperatif atau responsif terhadap pengaruh orang dewasa seperti instruksi dan arahan. Serupa dengan fase ketiga yaitu agitation, terdapat tanda ketidak fokusan dan distraksi pada anak. Contoh perilaku dari de-escalating adalah kebingungan, rekonsiliasi, menarik diri, penyangkalan, mulai mengikuti arahan namun masih menghindari diskusi dan debriefing.
Recovery
Pada fase recovery, anak sudah mulai kembali pada keadaan normal dan tenang. Anak sudah mulai bisa mengikuti instruksi atau arahan dari aktivitas dalam kelas. Contoh dari perilaku recovery adalah memiliki semangat untuk bekerja secara mandiri.
Rekomendasi Intervensi yang dapat Dilakukan
Terdapat beberapa langkah atau strategi yang dapat dilakukan untuk mengatur dan mengelola perilaku acting out pada anak. Pada fase awal – calm, triggers, agitation dan acceleration – lebih menekankan pada pendekatan yang proaktif yang dirancang untuk membangun keberhasilan siswa di sekolah. Pendekatan ini berpusat pada pengajaran yang efektif untuk melibatkan siswa secara produktif, mengajarkan perilaku yang diinginkan, dan mencegah perilaku bermasalah dengan tujuan utama mendukung keberhasilan siswa. Pada fase akhir – peak, de-escalation dan recovery – pendekatan ini akan berfokus kepada keselamatan, manajemen krisis, prosedur re-entry (kembali ke lingkungan sekolah), dan tindak lanjut, dengan tujuan utama memulai kembali dari awal (Colvin dan Scott, 2015).
Guna memenuhi kebutuhan ini, salah satu intervensi yang dapat dilakukan adalah dengan mengajarkan anak tentang keterampilan sosial. Masalah perilaku yang terjadi pada acting out terjadi karena anak merasa kesulitan dalam melakukan interaksi dengan orang lain. Keberhasilan anak dalam berinteraksi dan menavigasi interaksi yang sulit dengan orang lain merupakan bagian dari keterampilan sosial (Cook et al., 2008). Pengembangan keterampilan sosial, khususnya kemampuan untuk berinteraksi dengan teman sebaya dan orang dewasa, dianggap sebagai aspek yang krusial dalam perkembangan siswa. kemampuan untuk membangun dan mempertahankan hubungan yang berhasil serta mengatasi situasi interpersonal yang sulit dapat memprediksi penyesuaian psikologis, sosial, dan kesuksesan jangka panjang di sekolah (Gresham, Sugai, & Horner, 2001).
Menurut Sugai dan Lewis (1996), terdapat beberapa definisi dan deskripsi yang menggambarkan tentang kemampuan sosial dan kompetensi sosial. Menurut Gresham (2002) kemampuan sosial merujuk pada perilaku spesifik yang ditunjukkan dalam konteks tertentu yang memenuhi ekspektasi sosial atau dilakukan secara kompeten dalam konteks tersebut; dan kompetensi sosial adalah Istilah evaluatif yang didasarkan pada penilaian bahwa seseorang telah melaksanakan tugas sosial dengan kompeten; dan Pemahaman tentang definisi dan deskripsi tersebut sangat penting untuk mengetahui arah dan tujuan dalam mengadakan asesmen dan mengajarkan anak tentang kemampuan sosial.
Sebelum mengajarkan tentang kemampuan sosial, terdapat beberapa metode asesmen yang dapat dilakukan antara lain adalah :
Teacher rating
Dimana guru akan menilai semua murid atau memilih murid yang dianggap masih belum memiliki keterampilan sosial;
Direct observation
Adalah pengukuran langsung terhadap perilaku siswa dalam lingkungan alami serta pengumpulan contoh nyata untuk keperluan pelatihan
Functional analysis
Metode ini memberikan informasi tentang bagaimana perilaku bermasalah dipertahankan secara fungsional.
Setelah melakukan asesmen terhadap perilaku murid, beberapa metode pengajaran yang dapat dilakukan adalah dengan cara generalisasi, modelling dan roleplay yang disesuaikan dengan karakteristik anak, kondisi lapangan dan kemampuan guru yang bersangkutan. Karena pada dasarnya, anak adalah kanvas putih yang dapat dikoreksi jika memunculkan perilaku yang kurang tepat.
Referensi:
Colvin, G., & Scott, T. M. (2014). Managing the cycle of Acting-Out behaviour in the classroom. Corwin Press.
Cook, C. R., Gresham, F. M., Kern, L., Barreras, R. B., Thornton, S., & Crews, S. D. (2008). Social skills training for secondary students with emotional and/or behavioural disorders: A review and analysis of the meta-analytic literature. Journal of Emotional and Behavioural Disorders, 16(3), 131–144.
Forehand, R., & Long, N. (1988). Outpatient treatment of the acting out child: Procedures, long term follow-up data, and clinical problems. Advances in Behaviour Research and Therapy, 10(3), 129–177. https://doi.org/10.1016/0146-6402(88)90012-4
Gresham, F. (2002). Social skills assessment and instruction. In K. L. Lane, F. Gresham, & T. O’Shaughnessy (Eds.), Interventions for children with or at risk for emotional and behavioural disorders. Boston, MA: Allyn & Bacon.
Gresham, F. M., Sugai, G., & Horner, R. H. (2001). Social competence of students with high-incidence disabilities: Conceptual and methodological issues in interpreting outcomes of social skills training. Exceptional Children, 67, 331–344.
Kauffman, J. M., Mostert, M. P., Trent, S. C., & Hallahan, D. P. (1998). Managing classroom behaviour: A reflective case-based approach. Boston, MA: Allyn & Bacon.
Ponsi, M. Acting Out (Defence Mechanism) (2017). Encyclopaedia of Personality and Individual Differences.
Satow, R. (2022). What is acting out? Psychology Today. https://www.psychologytoday.com/us/blog/life-after-50/202206/what-is-acting-out
Sprague, J., & Golly, A. (2004). Best behaviour: Building positive behaviour supports in schools. Longmont, CO: Sopris West.
Sugai, G., & Lewis, T. (1996). Preferred and promising practices for social skills instruction. Focus on Exceptional Children, 29, 1–16.