ISSN 2477-1686  

 Vol. 11 No. 33 Mei 2025

Lahirnya Darth Vader:

Menganalisis Dinamika Psikologis Anakin Skywalker dengan Teori Alfred Adler

 Oleh:

Made Syanesti Adishesa1 & Eko A Meinarno 2

1Fakultas Psikologi, Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya

2Fakultas Psikologi, Universitas Indonesia

 

Film Star Wars Episode I: The Phantom Menace memperkenalkan kita pada Anakin Skywalker, seorang anak yang kelak dikenal sebagai Darth Vader (Lucas, 1999). Dalam film ini, tokoh Anakin digambarkan bukan sebagai Sith Lord yang ditakuti, tetapi sebagai anak yang berbakat dan penuh harapan dalam menghapi masa depan yang tidak pasti. Artikel ini akan membahas bagaimana perjalanan hidup Anakin membentuk kepribadiannya sebagai Darth Vader melalui teori Psikologi Individual oleh Alfred Adler (Adler, 1982). Analisis ini akan mengulas bagaimana perasaan rendah diri (inferiority) dalam diri Anakin, perilakunya untuk mengkompensasi perasaan tersebut, dan keinginannya untuk menjadi superior (striving for superiority) mendorong transformasinya menjadi seorang Sith Lord.

Masa kecil Anakin: Benih-benih Kerentanan Psikologis

Kisah Anakin dimulai di Tatooine, tempat ia diperkenalkan sebagai seorang budak. Status yang melekat ini menimbulkan perasaan rendah diri dalam dirinya. Lahir di strata sosial yang rendah juga membuat ia tidak begitu memiliki kontrol atas situasi dan dunianya, tetapi sebagai seorang anak ia tetap memiliki harapan dan ambisi. Hubungan paling signifikan di masa kecilnya adalah dengan ibunya, Shmi Skywalker. Sebagai satu-satunya caregiver dari Anakin, Shmi memberinya cinta dan rasa aman di tengah kondisi dunia yang tidak stabil. Hal ini pula yang membuat pemisahan paksa saat Qui-Gon Jinn membawa Anakin untuk berlatih sebagai Jedi menjadi kejadian yang amat traumatis bagi Anakin kecil. Menurut Adler, pengalaman masa kecil, terutama yang melibatkan kehilangan atau perpisahan, memainkan peran penting dalam membentuk kepribadian (Adler, 1982; Feist et al., 2021). Ikatan emosional yang mendalam antara Anakin dengan ibunya seolah mengisyaratkan masa depannya yang bergumul dengan masalah regulasi emosi serta ketakutan yang luar biasa akan kehilangan. Ketakutan yang suatu hari akan membawanya ke keputusan yang kelam dan destruktif.

Konflik internal lain yang dialami Anakin dalam film ini adalah pengakuan Dewan Jedi kepadanya sebagai The Chosen One, sosok yang dinubuatkan untuk membawa keseimbangan pada The Force. Meskipun ini bisa menjadi hal yang memotivasi dirinya, pengakuan ini malah membebani dirinya dengan ekspektasi yang terlalu tinggi di saat Anakin kecil sudah bergulat dengan isu harga diri. Alih-alih merasa berdaya, ia dihadapkan pada sebuah paradoks. Ia yang digadang-gadang sebagai orang yang memiliki kekuatan besar, justru merasa tidak berdaya dalam banyak hal. Kontras ini menciptakan rasa rendah diri yang kuat, yang menurut Adler dapat menyebabkan individu untuk berkompensasi, berusaha mengimbangi perasaan rendah diri secara berlebihan dengan cara menjadi sosok yang dirasa lebih ‘superior’ (striving for superiority).

Striving for personal superiority: Kebutuhan Anakin akan ‘Kontrol’

Adler berteori bahwa pada dasarnya orang akan berusaha mengatasi perasaan inferior dalam diri melalui kompensasi, baik dengan cara yang sehat (striving for success dan berkontribusi pada masyarakat) atau dengan cara yang tidak sehat (striving for personal superiority dengan mengorbankan orang lain) (Adler, 1966, 1982; Feist et al., 2021). Kebutuhan Anakin yang sangat berambisi untuk membuktikan dirinya dapat dipandang sebagai kecenderungan untuk melakukan striving for personal superiority. Alih-alih mengejar sukses yang dapat membawa kebaikan bagi masyarakat dan dunia, ia fokus pada memperoleh dominasi dan kendali atas keadaannya.

Salah satu perilakunya yang menunjukkan kecenderungan ini adalah melalui podracing, olahraga yang sangat berbahaya yang membutuhkan refleks dan keterampilan yang luar biasa. Dengan unggul dalam podracing, Anakin tidak hanya membuktikan kemampuannya tetapi juga untuk sementara waktu mengalihkan diri dari perasaan tidak berdaya. Keinginan untuk menang memungkinkan ia untuk merasa seolah sedang memegang kendali, sesuatu yang sangat ia dambakan setelah masa kecil yang penuh perbudakan. Pola mencari kendali atas situasi yang tidak dapat dikendalikan ini nantinya akan termanifestasi pula dalam hubungannya dengan orang lain serta berbagai keputusan yang ia buat sebagai orang dewasa. Keyakinannya akan keunggulannya sendiri juga diperkuat oleh statusnya sebagai The Chosen One. Sayangnya, alih-alih menggunakannya sebagai motivasi untuk memperbaiki diri, ia mulai menafsirkan status tersebut sebagai hak bawaan pribadinya untuk menjadi sosok yang berkuasa. Dalam teorinya, Adler juga menggambarkan aspek fictionalism, yaitu gagasan bahwa orang-orang menciptakan keyakinan pribadi tentang dunia yang belum tentu sesuai dengan fakta objektif namun dapat menentukan perilaku mereka. Penafsiran Anakin tentang menjadi The Chosen One menjadi konstruk fictionalism yang mendistorsi persepsinya tentang kendali. Alih-alih melihatnya sebagai tanggung jawab, ia melihatnya sebagai justifikasi bahwa ia seharusnya memiliki kuasa atas orang lain (Adler, 1966).

Sepanjang film The Phantom Menace, kita melihat tanda-tanda awal ketidakpeduliannya terhadap perspektif, situasi, dan hak orang lain. Walau Anakin menunjukkan sisi kemanusiaan di momen-momen tertentu, keinginannya untuk membuktikan dirinya sering kali mengalahkan kemampuannya untuk memperhatikan social interest. Dalam teori Adler, kesuksesan sejati datang dari kontribusi terhadap kesejahteraan kelompok (social interest), dibandingkan mencari keunggulan atas orang lain (Adler, 1982; Feist et al., 2021). Sifat ini akan menjadi jauh lebih berbahaya dalam kehidupan masa dewasanya, terutama ketika kebutuhannya akan kendali membuat ia memandang relasi, cinta, dan bahkan kematian, sebagai hal-hal yang seharusnya dapat ia kuasai.

Kesimpulan: Awal dari Kejatuhan dalam Kegelapan

Melalui sudut pandang teori Adler, The Phantom Menace secara tersirat menggambarkan luka psikologis mendalam yang pada akhirnya akan mendorong Anakin ke sisi gelap. Pengalaman awalnya dengan ketidakberdayaan, perpisahan, dan ekspektasi lingkungan yang membebani menimbulkan rasa rendah diri yang kuat, yang ia kompensasikan melalui usahanya untuk meraih superiority. Kebutuhannya akan kendali, yang diperkuat oleh penafsirannya yang terdistorsi akan takdir hidupnya untuk berkuasa, mencegahnya mengembangkan interaksi sosial yang sehat. Hal tersebut menghambat perjalanannya untuk menjadi seorang ksatria Jedi yang hidup dalam keseimbangan.

Walau The Phantom Menace menggambarkan sosok Anakin sebagai anak kecil yang tak bersalah dan berhati baik, film ini juga menampilkan awal dari kejatuhannya ke sisi gelap dari The Force. Masalahnya dalam membentuk rasa keterikatan dengan orang lain, ketakutannya akan kehilangan, masalah regulasi emosi, serta obsesinya akan kendali, menjadi hal-hal yang membentuk berbagai keputusan serta pilihan yang ia buat, dan pada akhirnya menggiring transformasinya menjadi Darth Vader. Kisah Anakin tidak hanya menggambarkan takdir dari The Chosen One, tetapi juga pergulatan psikologis dari status tersebut. Pergulatan yang akhirnya membawa Anakin pada kegelapan dan kehancuran.

Referensi

Adler, A. (1966). The psychology of power. In Journal of Individual Psychology (Vol. 22, Issue 2, pp. 166–172). University of Texas at Austin.

 

Adler, A. (1982). The fundamental views of Individual Psychology. Individual Psychology, 38(1), 3.

 

Feist, G., Roberts, T.-A., & Feist, J. (2021). Theories of Personality (10th ed.). McGraw-Hill.

 

Lucas, G. (1999). Star Wars Episode I: The Phantom Menace. 20th Century Fox.