ISSN 2477-1686
Vol. 10 No. 20 Oktober 2024
Pengaruh Regulasi Diri, Pola Asuh, Keputusan Karir Pada Keputusan Gap Year Pada Remaja
Oleh:
Selly Feransa Umbaran
Fakultas Psikologi, Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya
Pada umumnya siswa dan siswa yang berhasil melewati jenjang pendidikan SMA (Sekolah Menengah Atas) atau SMK (Sekolah Menengah Kejuruan) memiliki pilihan untuk melanjutkan pendidikannya ke tingkat yang lebih tinggi, yaitu Sekolah Tinggi atau Universitas, atau mereka dapat memilih untuk langsung bekerja. Namun, seiring berjalannya waktu terdapat pilihan lain yang dapat menjadi alternatif bagi mereka, yakni lulusan SMA maupun SMK dapat memilih cuti atau jeda (Kompasiana, 2022).
Semakin banyak lulusan sekolah yang mengambil cuti dari studi atau pekerjaan formal setelah menyelesaikan SMA sering disebut sebagai “gap year”. Meskipun terdapat banyak pendapat mengenai manfaat atau bahkan sebaliknya mengenai keputusan cuti setelah menyelesaikan sekolah, namun sayangnya penelitian yang berupaya memahami gap year dari perspektif psikoedukasi tergolong masih minim. Definisi tradisional dari gap year mengacu pada jeda selama satu tahun yang diambil oleh kaum muda antara sekolah dan universitas untuk mengeksplorasi dunia dan peluang karir (Piddock 2004:1). Laporan penelitian yang disusun oleh Jones (2004b:24) mendefinisikan gap year sebagai jeda yang diambil oleh seorang siswa yang berlangsung dari 3 bulan hingga 24 bulan. Elemen kunci yang membedakan gap year dari liburan adalah hal itu siswa terlibat dalam sebuah perjalanan pengalaman baru, memperoleh kualifikasi tambahan atau bekerja (Melinda Coetzee, 2006).
Dalam jurnal Should students have a gap year? Motivation and performance factors relevant to time out after completing school (2010), Martin menganalisis niat gap year pada 2502 siswa Sekolah Menengah Atas dan profil akademik 338 mahasiswa terkait keputusan gap year. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa ketidakpastian pascasekolah dan motivasi akademik yang rendah memprediksi niat untuk mengambil gap year. Siswa yang mengikuti gap year justru menunjukkan motivasi akademik yang lebih tinggi setelahnya (Martin, A.J., 2010).
Salah satu manfaat utama gap year yang sering dikutip adalah peningkatan kedewasaan emosional dan intelektual. Pendukung gap year percaya bahwa jeda ini mempersiapkan siswa secara pribadi dan akademis untuk pendidikan tinggi. Beberapa perekrut universitas berpendapat bahwa siswa yang menjalani gap year lebih dewasa, termotivasi, dan percaya diri setelahnya. Gose (2005) dan Piddock (2004) melaporkan bahwa banyak siswa menganggap gap year membantu mereka dalam menentukan pilihan karier, diterima di universitas yang diinginkan, dan mematangkan diri (Gose, 2005; Piddock, 2004; Coetzee, 2006).
Masa remaja adalah titik kritis dalam pencapaian (Anderman, Gray, & Chang, 2013; Eccles & Roeser, 2013). Tekanan sosial dan akademis yang baru memaksa remaja mengambil peran yang berbeda. Peran baru yang harus dihadapi para remaja membuat mereka memiliki lebih banyak tanggung jawab. Prestasi menjadi hal yang cukup serius pada masa remaja, dan remaja mulai merasakan bahwa kehidupan yang nyata sedang berlangsung. Mereka bahkan mulai menganggap keberhasilan dan kegagalan saat ini sebagai prediksi masa depan mereka di masa dewasa. Ketika tuntutan terhadap remaja semakin meningkat mereka mungkin akan mulai mengalami konflik. Minat sosial remaja mungkin terbagi, dimana mereka perlu mengejar masalah akademis, atau menempatkan ambisi di satu bidang yang mana dapat menghambat pencapaiannya tujuan lain (Schwartz, Kelly, & Duong, 2013).
Teori perkembangan Erikson menyatakan bahwa remaja memasuki tahap perkembangan kelima yaitu Identity versus Identity Confusion. Pada masa ini, remaja dihadapkan pada penentuan identitas dirinya yang dinilai dari berbagai aspek dan kemana tujuan mereka dalam hidup. Erikson menekankan bahwa remaja menghadapi banyaknya pilihan dan pada titik tertentu mereka akan mencoba berbagai peran dan perilaku yang berbeda. Mereka mungkin argumentatif saat ini dan kooperatif berikutnya. Sampai pada akhirnya remaja secara bertahap menyadari bahwa mereka akan segera bertanggung jawab atas diri mereka sendiri dan mereka mencoba menentukan kehidupan seperti apa yang akan terjadi (John. W. Santrock, 2014).
Beberapa hal yang berperan signifikan dalam pencapaian prestasi yaitu diantaranya adalah pengaturan tujuan, penetapan sasaran, perencanaan, dan self- regulation. Hal ini terjadi ketika individu menetapkan tujuan yang spesifik, proksimal, dan menantang (Anderman, Gray, & Chang, 2013; Schunk, 2012). Tujuan yang mudah dicapai menghasilkan sedikit tantangan, sementara tujuan yang terlalu tinggi berpotensi menghasilkan kegagalan yang berulang dan menurunkan efikasi diri individu. Oleh karena itu, tujuan pribadi yang berkorelasi dengan masa depan yang diinginkan menjadi kunci motivasi dalam mengatasi tantangan hidup (Ford & Smith, 2007; Wigfield & Cambria, 2010). Tujuan pribadi bisa menjadi kuncinya aspek motivasi individu untuk mengatasi dan menghadapi tantangan hidup dan peluang (Maehr & Zusho, 2009). Dalam mencapai tujuan tidaklah cukup hanya menetapkan tujuan semata, melainkan penting juga untuk merencanakan cara dalam mencapai tujuan tersebut (Winne, 2011).
Orang tua pun memegang peranan penting dalam mengambil berbagai keputusan yang diambil oleh para remaja, begitu pula dalam menentukan niat mengambil keputusan gap year. Sebagian besar siswa cenderung tidak mengambil gap year selama masa pra- universitas jika orang tua mereka memiliki harapan yang tinggi bahwa mereka perlu segera melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi (Hango, 2011). Sebaliknya, orang tua yang mendukung anak dalam mengambil gap year lebih cenderung memberikan dukungan finansial dan emosional. Sikap orang tua sangat menentukan apakah anak akan mengambil keputusan untuk beristirahat sementara dari studi (Crawford & Cribb, 2012; Jones, 2004; Yip Foon Yee & Ah Chan, 2018).
Pengambilan keputusan karir adalah suatu proses yang dilakukan individu dengan menyadari kebutuhannya, mampu mengambil resiko, dan mampu membuat keputusan yang tepat dengan proses yang tepat dan paling sesuai dengan tujuan individu. Evelyn Sandra dan Heni Mularsih (2021) mengidentifikasi terdapat tiga dimensi utama yang berpengaruh dalam pengambilan keputusan karir, yaitu kurangnya kesiapan, kekurangan informasi, dan ketidakkonsistenan informasi tentang dirinya maupun tentang karir.
Perguruan tinggi dapat menjadi lingkungan yang berisiko bagi perkembangan kondisi kesehatan mental. Banyak siswa di lingkungan pasca sekolah menengah mungkin mengalami gejala kondisi kesehatan mental. American Psychological Association (APA) menyebut situasi tersebut sebagai “krisis yang berkembang”. Pada tahun 2010, dalam survei American College Health Association ditemukan lebih dari 45%siswa mengalami perasaan putus asa. Pada tahun yang sama, survei dilakukan terhadap konselor perguruan tinggi dan mereka menyatakan sebanyak 44% siswa memiliki masalah psikologis yang parah, dimana pada tahun 2000 hanya 16% siswa yang memiliki masalah psikologi yang parah (GoodTherapy.org, 2016). Gap year telah terbukti mengurangi kemungkinan berkembangnya gejala-gejala yang paling umum terjadi di kalangan mahasiswa, seperti depresi, penyalahgunaan alkohol, gangguan makan, dan kecemasan. Lebih dari 15 tahun yang lalu, Harvard menerapkan kebijakan yang merekomendasikan agar mahasiswa sarjana mengambil cuti satu tahun setelah sekolah menengah atas, khususnya untuk mencegah kelelahan psikologis. Sejak itu, bukti kuat mengenai manfaat gap year semakin bertambah (GoodTherapy.org, 2016).
Referensi :
Chen, Z. (2023). Taking a pre-university gap year is beneficial to students’ professional development. Proceedings of the International Conference on Humanities and Social Science Research, 765, 1079-1084.
Coetzee, M. (2006). Investigating the impact of the gap year on career decision-making
(Master’s thesis, University of Pretoria).
Coetzee, M., & Bester, S. (2009). The possible value of a gap year: A case study. South African Journal of Higher Education, 23(3), 608-623.
Devina, C., Savitri, J., & Pandin, D. A. M. (2017). Pengaruh Parent Autonomy Support terhadap School Engagement pada Siswa Kelas IV-VI SD “X” di Kota Bandung. Humanitas: Jurnal Psikologi Indonesia, 1(1), 11-20.
Grolnick, W. S. (2009). The role of parents in facilitating autonomous self-regulation for education. Theory and Research in Education, 7(2), 164-173.
GoodTherapy. (2016, May 17). The gap year: Mental health benefits of taking time off. GoodTherapy. https://www.goodtherapy.org/blog/the-gap-year-mental-health- benefits-of-taking-time-off-0517167
Klover, D. M. (1983). The career decision (Master’s thesis, Portland State University). Rohmatiah, S. (2022, August 17). Tak lolos SBMPTN, yakin akan gap year? Kompasiana.
https://www.kompasiana.com/srirohmatiah/62fc33afa1aeea3006761a14/tak-lolos-sbmptn-yakin-akan-gap-year
Sandra, E., & Mularsih, H. (2021). The role of self-efficacy in career decision making among graduated students from vocational high schools in Jakarta. Advances inSocial Science, Education and Humanities Research, 570, 1064-1068. https://doi.org/10.2991/assehr.k.210805.167
Santrock, J. W. (2014). Life-span development (15th ed.). McGraw-Hill Education.
Tenser, L. I. (2015). Stepping off the conveyor belt: Gap year effects on the first-year college experience (Doctoral dissertation, Boston College).
Yee, Y. F., & Chan, A. A. A. H. (2018). A conceptual paper on factors that affect intention of gap year. INTI Journal, 1(33), 1-10.