ISSN 2477-1686  

 Vol. 10 No. 20 Oktober 2024

Basis Tingkah Laku Manusia Indonesia: Nilai Nasional Kita

Oleh:

Eko A Meinarno

Fakultas Psikologi, Universitas Indonesia

 

Pengantar

Saat membicarakan Pancasila, besar kemungkinan yang muncul di kepala kita adalah tentang ideologi, dasar negara, peraturan negara, hukum, agama dan lain-lain (lihat Hatta, Djojoadisujo, Maramis, Sunario, & Pringgodigdo, 1975; Suwarno, 1993; Arinanto, 1997; Kusuma & Khairul, 2008). Dengan isi kognisi demikian, tidak mengherankan jika individu-individu (orang Indonesia) tidak dengan mudah menganggap Pancasila sebagai sesuatu yang ada di tengah kita, karena isu-isu tadi jauh dari keseharian hidup kita.  Penamaan Pancasila, dilontarkan oleh Soekarno pada tanggal 1 Juni 1945 (yang saat ini dikenang sebagai hari lahir Pancasila) (Sekneg RI, 1995; Arinanto, 1997). Saat menyampaikan gagasannya di depan hadirin rapat persiapan kemerdekaan Indonesia, ia menyatakan bahwa Pancasila itu merupakan apa yang keseharian kita lakukan. Hanya saja itu terpendam oleh waktu. Penyebutan sila, merujuk pada dasar dalam bahasa Sansekerta. Panca sendiri adalah lima, artinya Panca Sila adalah lima dasar. Kelima dasar ini menjadi patokan bertingkah laku pemerintah, negara, dan bangsa Indonesia. Hal ini diperkuat dengan masuknya Pancasila dalam undang-undang dasar (konstitusi) Indonesia sejak 18 Agustus 1945. Keberadaan Pancasila semakin jauh bagi individu ketika penerjemahan Pancasila bersifat tunggal dari pemerintah di masa pemerintahan Orde Baru (1967-1998). Selain itu, area pembahasannya melulu penekanannya pada masalah politik dan pembangunan nasional (Suwarno, 1993; Setiawan, 2010). Baru kemudian memasuki era reformasi, Pancasila diangkat sebagai bahan kajian yang relatif terbuka.

Pancasila (menjadi) Tingkah Laku; Tingkah Laku adalah Psikologi

Kegelisahan terhadap jauhnya Pancasila dari diri orang Indonesia secara nyata terlihat ketika tumbuh ideologi transnasional (https://www.ui.ac.id/cegah-ideologi-transnasional-ui-bekali-mahasiswa-baru-2022-dengan-nilai-toleransi-dan-karakter-kebangsaan/). Dampak yang nyata adalah tumbuhnya kecenderungan intoleransi, radikalisme, sampai pada gerakan teror. Situasi ini memprihatinkan bagi kita semua. Ideologi transnasional itu tumbuh di masyarakat kita seakan tidak ada penyaring (filter) lagi. Harapannya Pancasila menjadi penyaring atas kondisi ini, tapi menjadi sulit karena penerjemahan dalam bentuk tingkah lakunya yang kurang memadai.

Penerjemahan Pancasila ini menjadi tantangan juga. Untuk memulainya kita perlu bersepakat pada pemahaman bahwa sila itu dasar, seperti paparan Soekarno. Konsep dasar ini kemudian kita pindahkan dalam wadah ilmu yang paling dekat dengan tingkah laku, yakni psikologi. Dalam psikologi, tingkah laku dipengaruhi oleh kekuatan eksternal dan internal. Secara umum, tingkah laku yang dihasilkan karena adanya dorongan eksternal dapat dikatakan sebagai bentuk respon terhadap stimuli. Di lain pihak, tingkah laku hasil dari dalam diri umumnya adalah hasil dari faktor-faktor mental, yang salah satunya (paling fundamental) adalah nilai. Nilai adalah sebuah proses kognitif yang diinternalisasi sebagai panduan individu untuk menanamkan prinsip mengenai hal baik dan buruk (nilai moral), hal apa yang menjadi prioritas (kepentingan pribadi atau kelompok), serta bagaimana individu membuat makna dari sesuatu (seperti mempercayai atau menolak) (Mashoedi & Meinarno, 2024).

Nilai ini yang kemudian kita jadikan acuan atau modal untuk mendesain Pancasila yang membumi, nyata, dan operasional, serta fit dengan kondisi saat ini (Santoso, 1979; Setiawan, 2010). Menurut penulis, Pancasila sebagaimana nilai harus operasional. Ketika menjadi nilai, Pancasila menjadi lebih operasional setidaknya untuk kajian psikologi.

Nilai dan Aspek Tingkah Laku

Riset-riset tentang nilai yang dikaitkan dengan berbagai aspek tingkah laku banyak diteliti (Jiga-Boy, Maio, Haddock, & Tapper, 2016). Henshel (1971) menunjukkan bahwa ketika nilai kejujuran anak tinggi, kecurangan (menyontek) menurun. Riset yang dilakukan oleh Woodruff dan Divesta (1948) menunjukkan kekuatan ekspresi sikap individu terhadap objek akan dipengaruhi oleh pentingnya nilai-nilai tersebut dalam kehidupan individu.

Pada tingkat tingkah laku Bardi dan Schwartz (2003) mengungkap ada beberapa nilai yang berhubungan dengan tingkah laku, dan hal itu spesifik. Lee, Bardi, Gerrans, Sneddon, Herk, Evers dan Schwartz (2021) juga mengungkap ketika ada nilai yang dianggap penting oleh individu maka individu akan kuat mengekspresikannya dalam tingkah laku.

Di Indonesia penelitian tentang nilai dan aspek-aspek tingkah laku juga dilakukan. Dalam konteks kesukubangsaan riset Hasugian (2023) tentang nilai tertentu khas Batak menunjukkan bahwa nilai memiliki kontribusi yang signifikan terhadap motivasi berprestasi siswa-siswi SMA bersuku bangsa Batak. Secara konseptual Pancasila yang dikategorikan sebagai nilai nasional telah dikaji oleh Meinarno (2017; 2019; 2021). Secara khusus terungkap hubungan yang negatif antara nilai-nilai nasional dan prasangka terhadap suku bangsa Tionghoa (Radista & Meinarno, 2022).

Pengenalan Indikator Tingkah Laku Berbasis Nilai Nasional

Penerjemahan Pancasila dengan perspektif psikologi telah dilakukan (Meinarno 2017, 2019; Meinarno & Susilowati, 2022). Sebagaimana banyak nilai dalam Pancasila, dan disepakati bersama oleh bangsa sejak merdeka maka dalam psikologi Pancasila disebut sebagai nilai nasional.

Hal yang menjadi pertanyaan adalah bagaimana wujud dari nilai nasional dalam keseharian? Untuk menjawab hal ini penulis mencoba untuk memberikan opsi mengenai tingkah laku yang beranjak dari nilai nasional. Pada tabel di bawah penulis menuliskan nilai-nilai nasional dalam konsep psikologi dilengkapi dengan definsi (kolom satu dan dua). Pada kolom ketiga, penulis mengajukan indikator tingkah laku dari masing-masing nilai nasional.

 

Nilai

Definisi

Indikator

Nilai Religio-toleransi

Percaya pada Tuhan dan menjalankan perintah-Nya sesuai keyakinan dan tidak memaksakan kepercayaan pada orang lain

·      Mampu menjalankan janji.

·      Mampu menerima perbedaan dengan sabar dan melihat dari sudut pandang orang lain dengan demikian tidak melulu melihat titik salah orang lain.

·      Mengintegrasikan tingkah laku dengan cinta kasih pada sesama, alam lingkungan, dan Tuhan.

·      Menjadikan agama inspirasi tingkah laku yang menjunjung kemaslahatan bersama.

 

Nilai Kemanusiaan

 

Mengakui persamaan hak dan kewajiban, sayang pada sesama, menjalin hubungan dengan bangsa lain berdasar sikap saling menghormati

 

·      Mampu menghormati orang di sekeliling diri (yang lebih tua, keluarga, tetangga, teman)

·      Menghormati aturan yang ada untuk menjalani hidup secara teratur.

·      Mampu sensitif terhadap perlakuan yang tidak adil di sekitar diri.

 

Nilai Patriotisme-persatuan

 

Mengutamakan kepentingan bangsa daripada diri/kelompok, cinta tanah air dan bangsa dan mengembangkan rasa persatuan bagi bangsa.

 

·      Mampu memegang teguh apa yang diyakini.

·      Mampu menjalankan apa yang telah teguh diyakini.

·      Mampu berpendirian teguh dalam berbagai situasi dan kondisi.

 

 

Nilai Demokrasi

 

Pengambilan keputusan berdasar musyawarah untuk kepentingan bersama dengan tidak memaksakan kehendak kepada orang lain, dapat dipertanggungjawabkan dan melaksanakan keputusan yang diambil.

 

·      Mampu menunjukkan kinerja dengan kualitas terbaik

·      Mampu menunjukkan layak dipercaya, dan tidak menyalahkan hal-hal di sekitar diri, sehingga diri dapat dipercaya.

·      Mampu menunjukkan tingkah laku diri yang selaras, dari pikiran, bicara, dan tindakan kepada diri dan orang lain.

 

Nilai Keadilan sosial

 

Menjaga keseimbangan hak-kewajiban sosial dengan mawas diri (dalam bentuk kualitas luhur manusia) dan pengembangan diri yang bertujuan untuk memajukan kehidupan sosial.

 

·      Mampu berbagi, hangat, dan membuat orang lain merasa diterima oleh diri.

·      Mampu menerima apa yang sepatutnya diterima, termasuk ganjaran dan hukumannya.

·      Mampu melayani orang lain dengan kebutuhannya. 

·      Mampu melihat bahwa pusat segalanya bukan pada diri, membantu dan tidak menghakimi orang lain.

·      Mampu untuk menahan kepongahan diri, dan tahu memosisikan hal yang patut dan tidak patut khususnya kepada orang lain.

 

Penulisan delapan belas indikator ini akan lebih memudahkan untuk melihat wujud nilai nasional. Wujud inilah yang kelak memungkinkan untuk dapat diajarkan dan dijalankan oleh masyarakat, ketimbang mengikuti penataran-penataran gaya Orde Baru. Kerangka kerja inilah yang selanjutnya berkembang menjadi penerapan Pancasila (nilai nasional) dalam kehidupan sehari-hari pada tingkat individu.

Dalam konteks nasional, indikator yang terlihat akan dapat menjadi hal yang diperbandingkan. Mengapa perlu dilakukan uji dari indikator-indikator tadi? Hal ini untuk memungkinkan individu mengalami dan menemukenali sendiri atas obyek atau situasi yang sejalan dengan nilai yang ia wujudkan. Shalom H Schwatz, ilmuwan tentang nilai menegaskan bahwa ketika individu berhadapan dengan sebuah gejala, maka responnya adalah tingkah laku dirinya (Schwartz, 2017). Respon ini tidak semata refleks, tapi didasari atas apa saja yang selama ini ia yakini dan alami. Semakin nilai itu ada dalam benaknya, dan secara konsisten ia terwujud dalam tingkah laku maka respon-respon berikutnya berpeluang selaras dengan nilai yang dianutnya. Misalnya saat individu berhadapan dengan ideologi transnasional, individu dengan bekal nilai nasional yang dianut dan indikator nilai nasional yang ia pahami akan disandingkan. Setelah disandingkan peluang berikutnya adalaah dipikirkan. Dalam hal ini individu melakukan upaya berpikir kritis dalam melihat ideologi transnasional, tidak mentah-mentah diterima.

Penutup

Tingkah laku manusia dilatari nilai yang dianut individu. Bagi individu Indonesia nilai nasional adalah rujukan dasar yang disepakati secara umum. Nilai nasional berfungsi sebagai kerangka acuan yang jelas dalam berperilaku dan berinteraksi dengan orang lain akan berdampak pada perkembangan kepribadian individu yang sehat secara mental. Perwujudan nilai nasional berkontribusi terhadap penguatan kohesi sosial dan solidaritas antarwarga, yang pada gilirannya dapat mengurangi konflik dan meningkatkan kerja sama sosial. Dengan demikian, diperlukan kajian dan riset-riset untuk membuka wawasan tentang kontribusi nilai nasional terhadap tingkah laku diri terhadap diri, lingkungan keluarga, sampai masyarakat luas.

Daftar Pustaka

Arinanto, S. (1997). Proses perumusan dasar negara Pancasila: Studi tentang kedudukan Pancasila sebagai dasar negara dan tentang polemik mengenai hari lahir dan Penggali Pancasila dalam perspektof sejarah dan hukum tata negara. Tesis strata dua Program Studi Ilmu Hukum Universitas Indonesia. Tidak dipublikasikan.

Bardi, A., & Schwartz, S. (2003). Values and Behavior: Strength and Structure of Relations. Personality and Social Psychology Bulletin, 29, 1207-1220. https://doi.org/10.1177/0146167203254602.

Hasugian, SW. (2023). Hagabeon Sebagai Salah Satu Nilai Hidup yang Meningkatkan Motivasi Berprestasi Siswa. Buletin KPIN Vol. 9 No. 08. https://buletin.k-pin.org/index.php/arsip-artikel/1268-hagabeon-sebagai-salah-satu-nilai-hidup-yang-meningkatkan-motivasi-berprestasi-siswa

Hatta, M., Djojoadisujo, AS., Maramis, AA., Sunario., Pringgodigdo, AG. (1975). Uraian Pancasila: Dilengkapi dengan dokumen lahirnya Pancasila 1 Juni 1945. Mutiara. Jakarta.

Henshel, A. (1971). The relationship between values and behavior: a developmental hypothesis. Child development, 42 6, 1997-2007. https://doi.org/10.1111/J.1467-8624.1971.TB03787.X.

https://www.ui.ac.id/cegah-ideologi-transnasional-ui-bekali-mahasiswa-baru-2022-dengan-nilai-toleransi-dan-karakter-kebangsaan/. Diunduh medio Juli 2024.

Jiga-Boy, G. M., Maio, G. R., Haddock, G., & Tapper, K. (2016). Values and behavior. Handbook of Value, 243-262.

Kusuma, E., Khairul, (2008). Detik-detik menjelang bubarnya konstituante. Dalam Pancasila dan Islam: Perdebatan antar parpol dalam penyusunan dasar negara di dewan konstituante. TIFA dan PSP UGM. Yogyakarta.

Lee, J., Bardi, A., Gerrans, P., Sneddon, J., Herk, H., Evers, U., & Schwartz, S. (2021). Are value–behavior relations stronger than previously thought? It depends on value importance. European Journal of Personality, 36, 133-148. https://doi.org/10.1177/08902070211002965.

Mashoedi, SF., Meinarno, EA. (2024). Kepatutan Diri Dimulai dari Nilai Pribadi. Buletin KPIN Vol. 10 No. 03.  https://buletin.k-pin.org/index.php/arsip-artikel/1461-kokepatutan-diri-dimulai-dari-nilai-pribadi

Meinarno EA. (2017). Peran identitas etnis, identitas agama, dan identitas nasional yang dimediasi nilai nasional terhadap Bhinneka Tunggal Ika. Disertasi strata tiga program doktoral Fakultas Psikologi Universitas Persada Indonesia YAI. Tidak dipublikasikan.

Meinarno, EA. (2021). Pancasila: The Indonesian's source of behavior. In Empowering Civil Society in the Industrial Revolution 4.0 (pp. 174-177). Routledge.

Radista, F., & Meinarno, E. A. (2022). Hubungan antara nilai-nilai nasional dan prasangka terhadap etnis minoritas Tionghoa. Jurnal Psikologi Perseptual, 7(2). 236-247.

Santoso, SI. (1979). Latar belakang dari seluruh pendidikan. Dalam Pembinaan watak tugas utama pendidikan. UI Press. Jakarta.

Schwartz, SH. (2017). The refined theory of basic values. Dalam Values dan Behavior: Taking a cross cultural perspective. Springer.

Sekretariat Negara Republik Indonesia. (1995). Risalah sidang Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia. Jakarta.

Setiawan, B. (2010). Negara tanpa imajinasi. Dalam Rindu Pancasila. Penerbit Buku Kompas. Jakarta.

Suwarno, PJ. (1993). Pancasila budaya bangsa Indonesia: Penelitian Pancasila dengan pendekatan historis, filosofis & sosio-yuridis kenegaraan.

Woodruff, A., & Divesta, F. (1948). The Relationship Between Values, Concepts, and Attitudes. Educational and Psychological Measurement, 8, 645-659. https://doi.org/10.1177/001316444800800409