ISSN 2477-1686
Vol. 10 No. 19 Oktober 2024
Tantangan Pendidikan Inklusi di Indonesia
Oleh:
Clara Moningka, Fathiah Nur Rahmi, dan Sri Wijayanti
Fakultas Psikologi, Universitas Pembangunan Jaya
Pendidikan merupakan faktor penting untuk menciptakan sumber daya manusia yang berkualitas. Saat ini, Indonesia memiliki gagasan Generasi Emas 2045 yaitu mempersiapkan generasi muda berkualitas, kompeten, dan memiliki daya saing tinggi. Ditjen IKP Kemenkominfo memaparkan bahwa pada 2045, bangs akita akan mendapatkan bonus demografi, yaitu 70 % jumlah penduduk adalah usia produktif (15-64 tahun). Sehubungan dengan hal ini seharusnya, kita sudah mengupayakan pendidikan yang berkualitas bagi semua kalangan. Pada kenyataannya pendidikan kita masih jauh dari kata ideal.
Saat ini kita mengupayakan pendidikan inklusi. Pendidikan inklusi berarti memberikan kesempatan kepada semua peserta didik yang berkebutuhan khusus, dalam arti tidak hanya yang disabilitas, namun memiliki potensi kecerdasani stimewa, bahkan semua golongan untuk mengikuti pendidikan atau pembelajaran dalam lingkungan pendidikan dengan peserta didik lainnya. Pendidikan inklusif menjamin semua anak memiliki akses pada pendidikan yang berkualitas mendapatkan dukungan, dihargai dan dapat berpartisipasi penuh di sekolah. (Unicef, n.d.).
Model pendidikan ini pada dasarnya bertujuan positif. Model ini mengusahakan kesempatan pendidikan bagi siapa saja dan berusaha untuk menanamkan nilai toleransi dalam kelas. Model pendidikan ini juga membantu menumbuhkan kemandirian dan pengembangan diri (Mariga et al., 2014). Pada kenyatannya penerapan model ini kerap tidak diikuti dengan fasilitas dan sumber daua manusia yang mumpuni. Inklusi yang dimaksud di Indonesia memang selalu dikaitkan dengan Anak Berkebutuhan Khusus (ABK). ABK sendiri merupakan bagian dari generasi emas yang kita cita-citakan. Saat ini kondisi pendidikan ABK cukup memprihatinkan. Bagi keluarga yang mampu, ABK bisa mendapatkan pendidikan yang mumpuni. Mereka bisa masuk ke sekolah khusus, atau bila memang masuk ke ke sekolah inklusi, mereka memiliki shadow teacher yang dapat membantu dalam proses pembelajaran. Sekolah juga memiliki SDM yang dapat dilatih. Bagi yang ekonominya menengah ke bawah, sulit mendapatkan fasilitas tersebut. Hasil wawancara dengan beberapa guru dari beberapa sekolah di Jakarta dan Tangerang menunjukkan bahwa banyak guru tidak memiliki keterampilan yang cukup dalam menghadapi ABK di kelas reguler. Berdasarkan data, sekitar 12% anak berkebutuhan khusus di Indonesia yang menerima pendidikan formal (Syarifah, 2023). Angka ini sangat jauh dibandingkan dengan kesempatan ABK di negara maju. Di negara maju seperti Amerika, lebih dari 70% ABK menempuh pendidikan formal dan dapat bergaul dengan teman sebaya. Berdasarkan wawancara dengan pengawas sekolah di Toronto, Kanada, semua sekolah di Kanada adalah inklusi dan kurikulum sudah disesuaikan dengan kebutuhan kelas tersebut (wawancara personal, 2024).
Data dari Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) terdapat 40.164 sekolah inklusi; menerima anak berkebutuhan khusus di Indonesia. Pendidikan inklusif seharusnya tidak hanya untuk anak berkebutuhan khusus, namun memberikan kesempatan pada anak tanpa membedakan gender, agama, ras atau budaya. Dengan sekolah inklusi yang tidak sedikit hanya 14,83% memiliki sumber daya yang dapat membimbing ABK (Habibah, 2024). Jelas terlihat bahwa kita mendorong pendidikan inklusi, namun tidak disertai angka tenaga ahli yang memadai. Hal ini menjadi kendala dalam penerapan model inklusi. Dengan keterbatasan tersebut, akhirnya wali kelas atau guru mata pelajaran dengan keterampilan yang kurang memadai dalam menghadapi ABK harus turun tangan. Pemerintah memang sudah mengadakan pelatihan untuk mendukung model pendidikan ini, tetapi sulit untuk menerapkan keterampilan tersebut dengan maksimal. Waktu yang terbatas, kesempatan praktek terbatas juga menyebabkan tenaga pendidik kurang siap. (Sari et al., 2022).
Hal lain yang perlu mendapat perhatian adalah fasilitas, sarana prasarana di sekolah yang belum memadai. Hasil observasi di 4 sekolah di Jakarta dan Tangerang menunjukkan bahwa sekolah yang memang sudah mempersiapkan pendidikan ini dan memiliki sumber daya finansial yang memadai akan memiliki fasilitas memadai. Mereka memiliki fasilitas untuk terapi, ruang untuk menenangkan ABK, fasilitas dan aktivitas pembelajaran yang mumpuni. Tidak semua sekolah bisa memiliki fasilitas yang sama karena keterbatasan finansial. Di sisi lain ada sekolah yang hanya memasukkan ABK dalam kelas reguler tanpa persiapan apapun. Anak tersebut dibiarkan mengikuti. Anak-anak lain juga kerap tidak menyadari kondisi anak tersebut. Ada yang bersimpati, ada yang tidak peduli bahkan ada yang cenderung merundung. Hal ini selaras dengan hasil penelitian Rasidi & Nuuddin (2023) mengenai telaah pendidikan inklusi di Indonesia.
Perlu kepedulian semua pihak dan kolaborasi tenaga ahli untuk menciptakan sistem dan kebijakan yang mendukung pendidikan inklusi. Tidak hanya menerapkan, namun tidak memahami kondisi lapangan. Penelitian Moningka, dkk (2024) berkenaan dengan opini mengenai sekolah inklusi, dengan responden 305 orang di Indonesia mengungkapkan bahwa responden memang setuju bahwa perlu ada sekolah inklusi, namun dengan adanya model sekolah tersebut sekolah, guru dan murid lain juga cenderung akan terbebani bila tidak diikuti dengan keterampilan dan fasilitas yang memadai. Selain kebijakan, tenaga ahli, perlu adanya inovasi teknologi dalam proses pembelajaran untuk mendukung ABK. Memang perlu menerapkan sesuatu yang positif, dan memang kadang kita perlu “cepat” dalam menerapkan sesuatu, tetapi tanpa ada solusi terhadap permasalahan yang terjadi dan hanya sekedar menerapkan saja, sulit untuk mendapatkan hasil yang optimal untuk semua pihak.
Referensi:
Habibah, A. F. (2024). Kemendikbudristek: 40.164 sekolah miliki siswa berkebutuhan khusus. Antara. https://www.antaranews.com/berita/4038030/kemendikbudristek-40164-sekolah-miliki-siswa-berkebutuhan-khusus
Mariga, L., McConkey, R., & Myezwa, H. (2014). Inclusive education in low-income countries. Megadigital.
Moningka, C., Nur Rahmi, F., Wijayanti,S. (2024). Strategi Advokasi sosial dalam pelaksanaan pendidikan inklusif untuk kesiapan generasi emas 2045. Working paper.Universitas Pembangunan Jaya.
Rasidi, M.A., Nuruddin. (2023). A review of Indonesian inclusive education research in elementry school from 2015-2022 Walada: Journal of Primary Education Vol. 2, No. 1, April.
Sari, Z. P., Sarofah, R., & Fadli, Y. (2022). The implementation of inclusive education in Indonesia: Challenges and achievements. Jurnal Public Policy. https://doi.org/10.35308/jpp.v8i4.5420
Syarifah, F. (2023). Jumlah anak berkebutuhan khusus terus bertambah tapi hanya 12 persen yang sekolah formal. Liputan6. https://www.liputan6.com/disabilitas/read/5233102/jumlah-anak-berkebutuhan-khusus-terus-bertambah-tapi-hanya-12-persen-yang-sekolah-formal
Unicef. (n.d.). Inclusive education. Unicef. Retrieved August 30, 2024, from https://www.unicef.org/education/inclusive-education