Vol. 9 No. 24 Desember 2023
Suara Hening: Fenomena Kasus Bunuh Diri di Kalangan Mahasiswa Indonesia
Oleh:
Ervina Septu Hayani & Setiawati Intan Savitri
Fakultas Psikologi, Universitas Mercu Buana
Sepanjang tahun 2023 Indonesia digemparkan dengan maraknya pemberitaan mengenai kasus bunuh diri dikalangan mahasiswa (Yunani, 2023). Kasus pertama pada Rabu, 8 Maret 2023 mahasiswa Universitas Indonesia ditemukan tewas dengan cara loncat dari lantai 18 di sebuah apartemen daerah kebayoran baru, kasus kedua pada tanggal 11 Agustus 2023 Mahasiswa UNDIP ditemukan tewas gantung diri di lapangan tembak Temblang Semarang, kasus ketiga pada tanggal 2 Oktober 2023 mahasiswi UMY ditemukan tewas jatuh dari lantai empat asrama putri UMY, di bulan yang sama terdapat 2 kasus bunuh diri yang dilakukan mahasiswa yakni. Kasus keempat bunuh diri pada mahasiswa Universitas Negeri Semarang terjadi pada Selasa 10 Oktober 2023 di Mall Paragon Semarang dengan cara loncat dari lantai 4 mal ,dan kasus kelima Selasa, 31 Oktober 2023 kasus bunuh diri pada mahasiswa Fakultas Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) di Universitas Katolik Widya Mandira ditemukan tewas gantung diri di kamar kost nya.
Menurut World Health Organization (WHO) pertanggal 28 Agustus 2023, terdapat lebih dari 700.000 orang meninggal karena kasus bunuh diri setiap tahunnya, menjadikan bunuh diri sebagai penyebab kematian nomor empat tertinggi pada kelompok usia 15-29 tahun. American Psychiatric Association (APA) mengartikan perilaku bunuh diri sebagai bentuk tindakan individu dengan cara membunuh dirinya sendiri hal ini sering terjadi diakibatkan adanya tekanan, depresi atau penyakit mental lainnya (Idham, 2019).
Di Indonesia sendiri berdasarkan Databoks (Muhammad, 2023), pertanggal 18 Oktober 2023 jumlah kasus bunuhi diri di Indonesia mencapai 971 kasus, angka tersebut telah melampaui kasus bunuh diri di tahun 2022 berjumlah 900 kasus. Penelitian yang dilakukan Azmul Fuady Idham dan timnya yang dimuat di jurnal psikologi Intuisi pada 29 November 2019 menunjukkan hasil yang mengkhawatirkan. Sebanyak 36 mahasiswa dari total 62 peserta yang sebagain besar merupakan mahasiswa asal Surabaya berusia 20 hingga 25 tahun, 58,1% mengaku pernah mempertimbangkan untuk bunuh diri dan upaya untuk bunuh diri.
Bunuh diri di kalangan mahasiswa merupakan suatu fenomena yang mengejutkan dan sekaligus memilukan. Saat kita memasuki dunia perkuliahan, kita sering kali terpesona akan visi masa depan yang cerah, peluang pendidikan, dan pertemuan dengan teman-teman baru. Namun, di tengah kegembiraan itu, ada realitas yang kurang terang yakni fenomena bunuh diri yang menyelimuti beberapa sudut kehidupan mahasiswa. Fenomena ini menggambarkan kepedihan yang tersembunyi di balik senyuman dan pencapaian akademis.
Berdasarkan fakta ini menunjukkan bahwa Indonesia berada dalam darurat kesehatan mental. Ketika dihadapkan pada permasalahan hidup yang rumit, manusia memilih jalan pintas yaitu bunuh diri. Bunuh diri seolah-olah wujud dari rasa putus ada dalam menyelesaikan permasalahan atau mencari jalan keluar dari permasalahan yang ada. Meningkatnya angka bunuh diri menunjukkan bahwa hidup tidak lagi bermakna.
Dilansir website hellosehat.com (Permana, 2022) ada berbagai macam faktor seseorang ingin bunuh diri diantaranya adalah: (1) gangguan mental seperti depresi, skizofrenia, PTSD, antisosial, NPD, BPD, dan gangguan bipolar, (2) adanya trauma seperti kekerasan fisik dan verbal, kekerasan seksual dan kehilangan orang tersayang, (3) adanya masalah sosial seperti bullying, (4) mengkonsumsi obat-obatan dan alkohol, (5) penyakit yang tidak kunjung sembuh, (6) orientasi seksual berbeda, (7) memiliki penyakit tertentu/berbeda dari orang lain, (8) perilaku impulsif, dan (9) adanya faktor keturunan.
Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan teknologi (Kemendikbudristek) menghimbau seluruh kampus di Indonesia untuk menyediakan kampus yang Sehat, Aman, dan Nyaman. Menyikapi meningkatknya kasus bunuh diri mahasiswa. Hal ini bertujuan agar mahasiswa dapat belajar secara optimal dengan sehat fisik, mental, psikologis, sosial dan ekonomi.”Saya sangat prihatin dengan mahasiswa bunuh diri. Kampus itu harus kita hadirkan kampus yang SAN, yaitu sehat, aman, nyaman. Sehat jasmani, sehat rohani, sehat psikologi, sehat emosional, sehat finansial, sehat sosial, itu penting.” Ujar Plt Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi, Riset, dan Teknologi (Diktiristek), Nizam pada saat diwawancari oleh Republika.co.id di Jakarta (Amanda, 2023).
Urie Bronfenbrenner (1917-2005) teori Ekologi yang dikemukakan oleh Bronfenbrenner seorang psikolog dari Amerika. Menjelaskan proses interaksi dari beberapa sistem lingkungan yang mempengaruhi perkembangan manusia: mikrosistem, mesositem, eksositem, makrosistem, dan kronosistem. Melalui teori ini kita dapat memahami proses dan latar belakang perkembangan manusia, dengan penekanan pada faktor lingkungan. Teori ekologi erat kaitannya dengan tindakan mempengaruhi bunuh diri yang akan dianalisis melalui lima sistem teori ekologi Bronfenbrenner (Gamayanti, 2014) sebagai berikut:
1. Mikrosistem (Microsystem), memilih pengaruh paling dekat dan langsung terhadap kehidupan seseorang terutama pada usaha bunuh diri, seperti:
a. Riwayat keluarga: latar belakang keluarga yang bermasalah dan yang memiliki riwayat usaha bunuh diri akan beresiko memunculkan tindakan yang sama pada mahasiswa.
b. Keluarga bermasalah: adanya faktor kurangnya komunikasi anak-orangtua, hubungan orangtua-anak, dan konflik keluarga. Paling banyak faktor mempengaruhi usaha bunuh diri hal ini dapat menciptakan stres dan tekanan tambahan pada mahasiswa.
c. Peer: teman sebaya usaha bunuh diri ada pada faktor teman sebaya seperti, putus cinta, kurang dukungan dari teman/sahabat, konflik dengan teman, dan permasalahan di lingkungan kampus. Interaksi yang kurang sehat akan memberikan efek buruk pada kondisi emosional mahasiswa.
d. Sekolah: adanya tekanan tuntutan akademik, masalah interaksi sosial, dan pemilihan karir dapat menjadi beban berat mahasiswa. Faktor-faktor ini berkontribusi pada risiko bunuh diri.
2. Mesosistem (Mesosystem), merupakan interkasi saling berhubungan dengan dua atau lebih mikrosistem seperti. Rumah dengan tetangga, rumah dengan sekolah. Hal ini mengenai bagaimana individu dapat berinteraksi dalam berbagai situasi yang berbeda. Contoh, konflik dengan keluarga akan berdampak pada hubungan di sekolah, seperti menurunnya nilai akademis dan masalah interaksi sosial bersama teman. Hal ini dapat berisiko meningkatkan bunuh diri.
3. Ekosistem (Exosystem), kondisi lingkungan yang mempengaruhi perkembangan anak secara tidak langsung. Contoh pada ekosistem hal yang mempengaruhi individu melakukan bunuh diri adalah media massa, karena peristiwa bunuh diri ditayangkan di media massa memberikan dampak besar terhadap tindakan bunuh diri. Media koran, televisi, cerita fiksi, signifikan dalam meningkatkan jumlah bunuh diri. Dalam kasus bunuh diri dikalangan mahasiswa kurangnya dukungan masyarakat, kurangnya sumber daya terhadap dukungan kesehatan mental.
4. Makrosistem (Macrosystem), sistem berkaitan dengan pola budaya di mana seseorang hidup. Budaya ini terdiri dari pola tingkah laku, nilai-nilai yang dianut, gaya hidup, beliefs, ekonomi dan sistem sosial. Misal, adanya tekanan dari lingkungan untuk mencapai standar akademik atau harapan yang tidak realistis dapat memainkan peran dalam menciptakan tekanan bagi mahasiswa, stigma terhadap isu kesehatan mental di masyarakat dapat mempengaruhi pengakuan dan pencarian bantuan bagi mahasiswa.
5. Kronosistem (Chronosystem), merupakan pola kejadian di lingkungan sepanjang kehidupan individu, pengaruh dari kondisi sosiohistoris dan pengalaman hidup. Mulai dari lahir sampai individu berada fase tua. Perubahan individu yang terjadi dalam setiap fase kehidupannya ikut mengalami perubahan seperti perubahan berperilaku. Misalnya, kegagalan akademik, putus cinta, dan kehilangan pekerjaan bisa menjadi peristiwa kronosistem dan meningkatkan resiko bunuh diri.
Kesimpulan dari artikel ini bahwa maraknya kasus bunuh diri di kalangan mahasiswa Indonesia merupakan fenomena yang mengkhawatirkan. Data menunjukkan bahwa jumlah kasus bunuh diri terus meningkat, dan faktor-faktor seperti gangguan mental, trauma, masalah sosial dan faktor lingkungan dapat mempengaruhi keputusan seseorang untuk bunuh diri. Oleh karena itu, penting bagi kampus untuk menyediakan lingkungan yang sehat, aman dan nyaman. Teori ekologi Bronfenbrenner juga dapat digunakan untuk memahami faktor-faktor yang mempengaruhi tindakan seseorang bunuh diri.
Referensi:
Amanda, G. (2023, 17 October). Marak Kasus Bunuh Diri, Kemendikbudristek Minta Kampus Jadi Tempat yang Aman dan Nyaman. Retrieved From. https://news.republika.co.id/berita/s2o0zu423/marak-kasus-bunuh-diri-kemendikbudristek-minta-kampus-jadi-tempat-yang-aman-dan-nyaman
Gamayanti, W. (2014). Usaha bunuh diri berdasarkan teori ekologi Bronfenbrenner. Psympathic: Jurnal Ilmiah Psikologi, 1(2), 204-230.
Idham, A. F., Sumantri, M. A., & Rahayu, P. (2019). Ide dan upaya bunuh diri pada mahasiswa. Intuisi: Jurnal Psikologi Ilmiah, 11(3), 177-183.
Muhamad, N. (2023). Ada 971 Kasus Bunuh Diri Sampai Oktober 2023, Terbanyak di Jawa Tengah. Retrieved from. https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2023/10/18/ada-971-kasus-bunuh-diri-sampai-oktober-2023-terbanyak-di-jawa-tengah
Permana, B. G. (2022, 22 November). Yuk, Kenali Berbagai Penyebab Orang Ingin Bunuh Diri. Retrieved From. https://hellosehat.com/mental/cegah-bunuh-diri/penyebab-ingin-bunuh-diri/?source=bookmark,25027&source=first_login
WHO. (2023, 28 Agustus). Suicide. Retrieved from. https://www.who.int/news-room/fact-sheets/detail/suicide
Yunani, H. P. (2023). Makin Marak Terjadi, Ini bunu Bunuh Diri Mahasiswa Sepanjang 2023. Retrieved from. https://harian.disway.id/read/740333/makin-marak-terjadi-ini-5-kasus-bunuh-dri-mahasiswa-sepanjang-2023/15