ISSN 2477-1686
Vol. 8 No. 6 Mar 2022
Peran Psikologi Kedirgantaraan Dalam Mengatasi Terjadinya Fatigue Pada Prajurit AU
Oleh:
Ahlunnaza Aji, Aullya Eka Pradina, Desi Rahmawati, & Hesty Yuliasari
Program Studi Psikologi, Universitas Jenderal Achmad Yani
Tentara Nasional Indonesia sebagai komponen utama dari pertahanan negara yang memiliki tugas pokok dalam menegakkan kedaulatan negara, mempertahankan kesatuan dan membangun suatu kesiapan dalam menghadapi ancaman yang ada. TNI Angkatan Udara sebagai bagian integral dari TNI dalam perannya di dunia militer diharapkan mampu untuk menghadapi segala bentuk ancaman, gangguan dan hambatan terhadap kedaulatan, keutuhan serta keselamatan bangsa Indonesia (Manurung, 2017). Oleh karena itu, dalam menjalankan perannya, prajurit tentara tentu harus menjaga kondisinya baik secara fisik maupun mental, karena tidak dapat dipungkiri bahwa risiko terjadinya kecelakaan dalam dunia penerbangan semakin banyak. Sehingga prajurit TNI AU harus bekerja dalam kondisi kesehatannya yang baik.
Psikologi kedirgantaraan atau dikenal dengan psikologi dirgantara berhubungan dengan aspek mental penerbang, dan pengetahuan yang dimiliki dapat diterapkan untuk membantu dalam memahami perilaku awak, penumpang, personil pemeliharan dan yang lainnya (Bor, 2004). Psikologi dirgantara dapat disebut juga sebagai ilmu psikologi yang diaplikasikan untuk memahami dunia penerbangan dalam ranah kemiliteran. Selain itu, King (1999) menyatakan bahwa psikologi dirgantara merupakan suatu aplikasi khusus dalam psikologi yang memiliki kaitannya dengan pekerjaan berbahaya dan penuh dengan tekanan yang mencakupi bidang penerbangan dan lingkungan ekstrem.
Lee (Prayana, 2015) menyatakan bahwa pekerjaan tentara adalah bidang pekerjaan yang paling menyebabkan stres. Dari 10 profesi 5 diantaranya penuh dengan tekanan yang berhubungan dengan bahaya fisik. Sebagai tentara Angkatan Udara yang salah satu tugasnya bekerja untuk menjamin terciptanya suatu kondisi yang aman dari ancaman di wilayah udara, sehingga kondisi kesehatan dan performanya menjadi suatu isu yang penting dalam keselamatan penerbangannya. Namun tidak sedikit dari prajurit yang mengalami fatigue atau yang biasa disebut dengan kelelahan. Hal tersebut sesuai dengan hasil pencatatan data yang dilakukan oleh Jackson (Rahmah, Savitri, & Irmarahayu, 2018) didapatkan bahwa 75% penerbangan jarak pendek mengalami kelelahan berat.
Kelelahan menjadi suatu faktor yang berkaitan dengan kesalahan manusia yang dapat menyebabkan penurunan kemampuan dalam melakukan tugas-tugas yang membutuhkan intelektual (Goker, 2018). Kemudian Susanti & Nurhayati (2014) menyatakan bahwa kelelahan juga menjadi faktor terbesar terjadinya human factor. Fatigue dapat diartikan sebagai suatu kondisi non-patologis yang dapat menurunkan kemampuannya secara mental dan juga fisik. Gejala kelelahan pada penerbangan menurut Federal Aviation Administration yaitu ditandai dengan adanya penurunan pada tingkat perhatian, kewaspadaan, respon diri yang lambat, pengambilan keputusan yang buruk, dan menurunnya motivasi (Rahmah, Savitri, & Irmarahayu, 2018). Kelelahan mempunyai dampak yang cukup besar apabila dibiarkan begitu saja,dan dampak yang terjadi pada kelelahan ini yaitu kelelahan klinis atau kronis. Adapun penyebab terjadinya kelelahan menurut Susanti & Nurhayati (2014) adalah:
1. Faktor fisiologis, merupakan kelelahan yang disebabkan oleh faktor lingkungan fisik seperti penerangan, kebisingan, panas dan suhu.
2. Faktor psikologis, terjadi karena adanya pengaruh di luar dirinya yang berwujud pada tingkah laku atau perbuatan dalam memenuhi kebutuhan hidup seperti suasana kerja, dan interaksi dengan sesama pekerja maupun dengan atasannya.
Kelelahan yang terjadi pada pilot militer harus segera ditangani supaya hal tersebut tidak terjadi dalam jangka waktu yang panjang. Oleh karenanya, psikologi kedirgantaraan berperan penting dalam mendukung keselamatan penerbangan militer seperti mengendalikan, menganalisis sebab akibatnya, serta meminimalisir terjadinya fatigue. Upaya yang dapat dilakukan prajurit untuk mengantisipasi adanya kelelahan yakni dengan menggunakan waktu istirahatnya di sela-sela operasi walaupun dengan waktu tidur yang minimal, tetapi setidaknya dapat memelihara performancenya yang efektif, memanfaatkan olahraga sebagai relaksasi, mengendalikan emosi atau keadaan psikologisnya yang baik, dan meningkatkan strategi koping. Angus, Heselgrave, Pigeu, & Jamieson (Mustopo, 2011) menyatakan bahwa beristirahat atau breaks, maupun beristirahat namun tidak tidur dipercaya cukup bermanfaat bagi individu yang sedang melaksanakan tugas terbang terus menerus.
Psikologi kedirgantaraan sejatinya dapat berperan untuk mendukung keselamatan awak penerbang di dalam dunia penerbangan termasuk memantau, mengendalikan, dan menyelidiki sebab akibat terjadinya fatigue tersebut. Pencegahan kecelakaan dalam penerbangan juga harus selalu diupayakan sebelum suatu kecelakaan itu akan terjadi karena pada dasarnya kecelakaan penerbangan tersebut dapat dideteksi jauh sebelum kecelakaan terjadi dengan memperhatikan berbagai komponen yang ada, dalam hal ini adalah prajurit sebagai seorang manusia. Dengan begitu tentunya tidak menutup kemungkinan akan muncul salah satu faktor dari kelelahan yakni faktor fisiologis yang dapat disebabkan oleh lingkungannya secara fisik seperti kebisingan, panas, dan suhu. Kemudian faktor psikologis juga dapat mempengaruhi kelelahan pada para penerbang karena adanya kebutuhan untuk memenuhi hidupnya seperti suasasana kerja dan interaksi antar pekerja. Psikologi kedirgantaraan mencoba untuk meminimalisir gangguan kelelahan ini melalui pemahaman mengenai kapabilitas pemahaman prajurit, serta pengaplikasian pemahaman tersebut. Hal terpenting yang bisa dilakukan oleh psikologi kedirgantaraan adalah untuk mengatasi terjadinya fatigue (kelelahan) berdasarkan faktor fisiologis adalah dengan meningkatkan faktor kualitas lingkungan fisik untuk mengatasi fatigue karena faktor psikologis dapat dilakukan dengan memberi pengaruh positif di luar diri prajurit yang berwujud pada tingkah laku atau perbuatan dalam memenuhi kebutuhan hidup seperti suasana kerja, dan interaksi dengan sesama pekerja maupun dengan atasannya.
Referensi:
Bor, R. (2004). Anxiety at 35.000 Feet: An Introduction to Clinical Aerospace Psychology. Routledge: United States.
Goker, Z. (2018). Kelelahan dalam Penerbangan: Gambaran Umum Pengukuran dan Penanggulangan. Journal of Aviation, 2 (2), 185-194.
King, R. E. (1999). Aerospace Clinical Psychology. Routledge: United States.
Mustopo, W. I. (2011). Keselamatan Penerbangan dan Aspek Psikologis “Fatigue”. Jurnal Pisikobuana, 3(2).
Manurang, Y. S. (2017). Pengaruh Gaya Kepemimpinan, Budaya Kerja, dan Pendidikan Kualifikasi Khusus terhadap Kinerja Perwira Komando Pemeliharaan Material TNI AU. Jurnal Prodi Strategi Pertahanan Udara, 3 (1), 93-124.
Prayana, K. (2015). Psychological Well-Being pada Tentara Nasional Indonesia Angkatan Darat (TNI AD) Makorem 083 Baladhika Jaya Malang. Skripsi (Diterbitkan) : Fakultas Psikologi, Universitas Muhammadiyah Malang. https://eprints.umm.ac.id/34269/1/jiptummpp-gdl-kurniapray-43096-1-isi.pdf. diakses pada tanggal 10 Maret 2022.
Rahmah, N. F., Savitri, P. M. & Irmarahayu, A. (2018). Jam Terbang dalam Tujuh Hari, Jenis Penerbangan dan Risiko Acute Fatigue Syndrome. Jurnal Perhubungan Udara, 44 (1), 17-30.
Susanti & Nurhayati, Y. (2014). Tingkat Kelelahan Pilot Indonesia dalam Menerbangkan Pesawat Komersial Rute Pendek. Jurnal Perhubungan Udara, 40 (4), 251-266.