ISSN 2477-1686
Vol. 8 No. 5 Mar 2022
Adakah Dampak Buruk Dari Memberikan Reinforcement Dan PunishmentKepada Anak?
Oleh:
Pamela Frissia & Krishervina Rani Lidiawati
Universitas Pelita Harapan
Proses belajar dapat dilakukan dengan berbagai cara termasuk dengan cara pemberian konsekuensi. Tidak dapat dipungkiri, baik orang tua maupun guru seringkali menerapkan metode reinforcement dan punishment dalam mendidik anak, khususnya dalam hal belajar. Reinforcement adalah konsekuensi yang dapat diberikan dengan tujuan untuk meningkatkan perilaku sedangkan punishment diberikan dengan tujuan menurunkan perilaku (Miltenberger, 2008). Reinforcement atau penguatan perilaku ini dapat dilakukan dengan cara memberikan sesuatu yang di inginkan atau mengambil hal yang tidak menyenangkan untuk individu tersebut. Misalnya, untuk meningkatkan perilaku belajar anak maka diberikan janji untuk dibelikan hadiah atau pun dapat di ambil kegiatan yang kurang anak sukai seperti seharusnya ia setiap hari menyapu namun pada masa ujian anak tersebut di bebaskan tidak perlu menyapu rumah karena sudah belajar.
Dalam pengukuran perubahan perilaku maka dapat dilakukan evaluasi dari dimensi perilaku. Adapun dimensi perilaku dapat diukur dari frekuensi, durasi, latensi dan intensitas (Miltenberger, 2008). Dimensi yang biasa digunakan untuk meningkatkan perilaku dilihat dari frekuensi atau durasi sebuah perilaku (Suralaga, 2021). Sementara, punishment dapat dijelaskan sebagai konsekuensi untuk mengurangi kemungkinan perilaku buruk anak berulang kembali di kemudian hari (Santrock, 2018). Penelitian yang dilaksanakan di SD Negeri Kaliwiru, Kecamatan Candisari, Kota Semarang menunjukkan bahwa pemberian reward and punishment berpengaruh terhadap tingkat kedisiplinan dan motivasi belajar siswa jika dilakukan dengan baik dan sesuai (Anggraini, 2019).
Tentu saja dalam pengaplikasiannya, baik reinforcement dan punishment diharapkan dapat mengubah perilaku anak menjadi lebih baik. Namun ternyata, reinforcement dan punishment tidak selalu memberikan dampak yang baik. Seperti pemberian reinforcement berupa reward yang terlalu sering dapat membuat anak jadi bergantung pada reward tersebut, sehingga anak baru merasa semangat dan termotivasi untuk belajar ketika diberikan reward. Ketika reward tersebut dihilangkan, motivasi belajar anak pun ikut hilang. Begitupun juga dengan punishment, dimana punishment ini sebenarnya digunakan untuk menghilangkan perilaku, bukan untuk membentuk perilaku. Oleh karena itu, kerapkali tujuan pemberian konsekuensi tidak sesuai dengan tujuan dan akibatnya perilaku yang diharapkan tidak muncul dan perilaku lain yang bersifat negatif malah berkembang (Hafiz, 2020).
Seperti contohnya, seorang anak bernama Z, yang suka mengutak-atik dan membongkar barang-barang orang tuanya di rumah. Ketika Z diberikan hukuman dengan cara dimarahi karena ia suka mengutak-atik dan membongkar barang-barang milik orang tuanya di rumah, perilaku mengutak-atik barang tersebut akan berkurang atau mungkin hilang. Namun, di sisi lain hal tersebut juga mengakibatkan hilangnya minat Z untuk mengutak-atik semua jenis barang. Z kemungkinan tidak akan terbentuk perilaku untuk megutak-atik barang yang benar-benar dirancang untuk dirakit, jika Z tidak diberikan barang atau mainan khusus untuk dirakit atau diikutsertakan les robotik.
Namun dalam kasus diatas, hal tersebut masih bisa dicegah agar tidak berdampak menjadi suatu hal yang buruk dengan cara memperhatikan jadwal pemberian konsekuensi. Sebagai contoh, dapat menggunakan variable ratio, yaitu penguatan positif yang diberikan setelah respon muncul beberapa kali, namun secara tidak tetap dan tidak dapat diprediksi. Jadi ketika anak telah menyelesaikan tugas dengan baik, guru atau orang tua tidak selalu memuji atau memberikannya hadiah setiap kali ia selesai mengerjakannya, namun bisa setelah menyelesaikan tugas pertama, ke-empat, kesembilan, dan kesebelas kalinya. Tidak ada jadwal atau waktu yang tetap sehingga anak pun tidak akan bergantung pada pemberian reward yang terlalu sering. Anak tidak akan tahu berapa kali ia harus mengerjakan tugas baru bisa mendapatkan reward, namun ia tahu bahwa dengan mengerjakan tugas, ada kesempatan baginya untuk mendapatkan reward.
Bukan hanya jadwal pemberian konsekuensi yang diperhatikan namun keunikan individu perlu untuk diperhatikan. Kita perlu memperhatikan jenis konsekuensi yang diberikan dan keunikan anak. Bisa saja anak A tidak mendapatkan dampak negatif dari reward dan punishment, namun belum tentu dengan anak B, yang bisa saja mendapatkan dampak negatif tersebut. Kegiatan yang di sukai atau tidak disukai pun berbeda-beda satu anak dengan anak yang lainnya. Terkadang kita dapat membentuk perilaku dengan premack principle yaitu membentuk perilaku dengan secara bersamaan perilaku yang sering muncul dan perilaku yang jarang muncul dijadikan syarat munculnya perilaku. Misalnya, jika kamu sudah belajar maka kamu boleh main (Miltenberger, 2008).
Disisi lain, konsekuensi punishment kerapkali memiliki dampak psikologis pada anak dan sebaiknya memakai jenis negative punishment yaitu mengambil hal yang menyenangkan dari anak seperti memotong uang jajan, mengambil waktu bermainnya. Punishment tidak selalu harus menambahkan hal yang tidak menyenangkan seperti teguran, hukuman yang ditambahkan. Melakukan punishment dengan bijak, tepat dan tidak berlebihan pun menjadi salah satu cara agar punishment tidak berdampak buruk. Jika terpaksa mendidik dengan memberikan punishment, akan lebih baik jika diberikan secara verbal dulu yaitu dengan memberikan peringatan lalu motivasi dan persuasi untuk perbuatan baik kemudian (Sabartiningsih, 2018). Di sisi lain, ada beberapa orang tua yang menggunakan punishment non-verbal seperti dengan melibatkan pukulan. Namun dilansir dari orami.co.id (Puteri, 2019), adanya hasil penelitian yang menunjukkan bahwa memukul anak dapat berdampak pada psikologisnya.
Proses belajar melalui konsekuensi ini akan berguna dan berdampak secara positif jika menggunakan metode-metode yang sesuai dengan kondisi anak. Namun perlu diingat bahwa pemberian konsekuensibelum tentu akan berhasil 100% ketika mendidik anak, sehingga orang tua dan guru perlu belajar “memanusiakan manusia”. Karena sebagai manusia berpikir dan melakukan proses belajar tidak hanya karena konsekuensi yang diberikan orang lain. Manusia dapat belajar karena kemauan dari dalam diri sendiri dan adanya tujuan dalam hidup. Mari didik anak-anak untuk berpikir kritis dan belajar meregulasi diri secara mandiri sehingga melakukan tugas atau kegiatan untuk menemukan makna dibalik sebuah tugas.
Referensi:
Anggraini, S., Siswanto, J., & Sukamto. (2019). Analisis Dampak Pemberian Reward And Punishment Bagi Siswa SD Negeri Kaliwiru Semarang, 7(3). Retrieved November 1, 2021.
Hafiz, S. E. (2020). Jangan Katakan “Jangan!”, Benarkah? Retrieved November 1, 2021, from http://buletin.k-pin.org/index.php/arsip-artikel/523-jangan-katakan-jangan-benarkah
Miltenberger, R. G. (2008). Behaviour Modification: Principles and Procedures. (4th ed.). USA: Thomson Wardsworth
Puteri, A. (2019, June 24). Dampak Memukul Anak Pada kondisi mentalnya Saat Dewasa. Orami. Retrieved November 1, 2021, from https://www.orami.co.id/magazine/dampak-memukul-anak-pada-kondisimentalnya-saat-dewasa/.
Sabartiningsih, M., Muzakki, J. A., & Durtam, D. (2018). Implementasi Pemberian reward dan Punishment dalam membentuk Karakter Disiplin Anak usia dini. AWLADY: Jurnal Pendidikan Anak, 4(1). https://doi.org/10.24235/awlady.v4i1.2468
Santrock, J. W. (2018). Educational Psychology, 6Th Edition. McGraw-Hill.
Suralaga, F. (2021). Psikologi Pendidikan: Implikasi Dalam Pembelajaran (1st ed.). Rajawali Press.