ISSN 2477-1686
Vol. 8 No. 4 Feb 2022
Apakah Benar Orang Indonesia Kebal Dari Dampak Kesehatan Asap Bermotor?
Oleh
Rocky
Fakultas Psikologi, Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya
Beberapa waktu lalu Indonesia sempat dihebohkan dengan putusan Majelis Hakim PN Jakarta Pusat. Putusan tersebut memvonis Presiden RI, Menteri Lingkungan Hidup dan kehutanan, Menteri Kesehatan, Menteri Dalam Negeri beserta Gubernur DKI Jakarta bersalah atas polusi udara di ibu Kota (Ihsanuddin, 2021). Sebetulnya, munculnya tuntutan ini tidak mengherankan mengingat Indonesia sendiri masuk 10 besar negara dengan kualitas udara terburuk (IQAir, 2020). Secara berturut-turut wilayah Tanggerang Selatan, Bekasi, dan DKI Jakarta merupakan tiga wilayah dengan kondisi udara terburuk di Indonesia. Ketiga wilayah ini memiliki kualitas udara yang buruk sehingga dapat membahayakan Kesehatan warganya.
Seberapa berdampakah polusi udara terhadap kesehatan seseorang? Polusi udara dianggap bertanggung jawab atas 6.4 juta kematian di seluruh dunia pada tahun 2015 (Landrigan, 2017). Angka tersebut tidak jauh berbeda jika dibandingkan dengan kematian yang diakibatkan rokok (7 juta), AIDS (1-2 juta), dan penyakit lain seperti TBC dan malaria (1 juta). Berdasarkan beberapa penelitian, polusi udara juga dapat meningkatkan resiko penyakit fisik seperti gagal jantung, stroke, dan darah tinggi (Bourdrel et al., 2017). Selain kesehatan fisik polusi udara juga berkontribusi terhadap penyakit mental karena dapat meningkatkan tekanan mental atau psychological distress (Sass et al., 2017).
Penyebab polusi udara di kota-kota besar Indonesia sebetulnya didominasi oleh perilaku warganya sendiri. Menurut Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN), hampir 70% polutan di kota berasal dari kegiatan transportasi (Pradana, 2021). Hal ini mungkin tidak mengagetkan mengingat pada masa-masa awal penerapan lock down di Jakarta, kualitas udara di Jakarta menjadi jauh lebih baik dibandingkan sebelumnya. Seandainya masyarakat mau mengubah perilaku berpergiannya, maka 70% masalah polusi di kota-kota besar mungkin dapat terselesaikan. Mengubah perilaku di sini berarti mau mengurangi perilaku berpergian, menggunakan transportasi umum, atau menggunakan transportasi dengan emisi karbon rendah. Walau begitu tentu kita sadar bahwa mengubah perilaku-perilaku tersebut tidak semudah yang diucapkan.
Perilaku ramah lingkungan khususnya pada masyarakat dengan sosial ekonomi menengah bawah, sangat dipengaruhi oleh faktor lingkungan (van der Werff & Steg, 2016). Faktor seperti pengalaman bencana alam akan sangat memengaruhi masyarakat, dimana masyarakat yang pernah mengalami bencana alam akan lebih peduli untuk menjaga alam. Misalkan di masyarakat Jakarta, persepsi resiko akan kerusakan alam mungkin akan tinggi, tetapi hanya terkait sampah karena pernah mengalami banjir. Bagaimana dengan udara? Mungkin tidak semua orang di Jakarta peduli, mengingat resiko dari kualitas udara yang buruk tidak terasa secara langsung. Polusi udara akan memengaruhi kesehatan jika terpapar secara terus menerus dalam waktu yang panjang, seperti resiko seorang perokok pasif. Fenomena ini disebut sebagai psychological distance, yaitu ketika jarak antara masalah lingkungan dan dampaknya sangat sulit dirasakan secara langsung.
Pandangan akan berbagai resiko terkait pencemaran udara juga dipengaruhi oleh berbagai fenomena psikologis. Salah satu fenomena psikologis yang mudah ditemukan adalah unrealistic optimism. Fenomena ini menjelaskan bahwa orang pada umumnya percaya bahwa dirinya akan mendapatkan sesuatu yang baik dan terhindar dari yang buruk (van der Werff & Steg, 2016). Jadi tidak mengherankan bila salah satu rekan atau keluarga kita akan menyepelekan isu polusi udara, dengan berbagai alasan seperti: “kalau di lingkungan rumah kita rasanya lebih bersih dari jalan protokol Jakarta”. Atau “Kita kan orang Indonesia kuat secara fisik, polusi tidak akan berpengaruh ke kesehatan kita.” Tentunya merasa kebal akan dampak polusi tidak realistis dan tidak memiliki dasar ilmiah apapun.
Mengingat polusi udara terjadi karena akumulasi dari perilaku banyak orang, kita tentu tidak bisa mengatasi masalah ini secara individual. Pemerintah sudah mulai bergerak dengan memberikan batas emisi kendaraan (Nanda, 2021). Kebijakan ini akan diterapkan pada bulan Januari 2022 dan tentunya membantu mengurangi polusi udara. Selain pemerintah tentu kita secara individu bisa berkontribusi untuk memperbaiki kualitas udara.
Kita juga bisa mengajak rekan kerja atau keluarga untuk beralih menggunakan transportasi umum, agar menjadi contoh untuk orang-orang disekitar kita. Tentunya untuk meyakinkan orang-orang terdekat kita tidak akan mudah karena terdapat fenomena psychological distance dan unrealistic optimism tadi. Untuk mengatasi fenomena tadi kita harus siap untuk memberikan informasi yang personal dan relevan. Apakah informasi tersebut terkait kesehatan pribadinya, “naik motor setiap hari di Jakarta bisa mengurangi usia kita 1 menit setiap bulan loh, asapnya beracun“ atau untuk orang terdekat, “kalau naik kendaraan umum ramai-ramai bisa mengurangi pencemaran udara bagi pejalan kaki, sehingga lebih sehat kalau anak kita bermain di luar rumah.“
Referensi:
Bourdrel, T., Bind, M. A., Béjot, Y., Morel, O., & Argacha, J. F. (2017). Cardiovascular effects of air pollution. Archives of Cardiovascular Diseases, 110(11), 634–642. https://doi.org/10.1016/j.acvd.2017.05.003
Ihsanuddin. (2021, September 16). Divonis Bersalah Soal Polusi Udara Jakarta, Jokowi dan Anies Diharapkan Tak Banding. Kompas.Com. https://megapolitan.kompas.com/read/2021/09/16/17174081/divonis-bersalah-soal-polusi-udara-jakarta-jokowi-dan-anies-diharapkan?page=all
IQAir. (2020). World’s most polluted cities 2020 (PM2.5). Iqair. https://www.iqair.com/world-most-polluted-cities?continent=59af929e3e70001c1bd78e50&country=&state=&page=1&perPage=50&cities=
Landrigan, P. J. (2017). Air pollution and health. The Lancet Public Health, 2(1), e4–e5. https://doi.org/10.1016/S2468-2667(16)30023-8
Nanda, A. M. (2021). Catat, Ini Ketentuan Ambang Batas Emisi Gas Buang Kendaraan. Kompas.Com. https://www.kompas.com/wiken/read/2021/11/06/104000081/catat-ini-ketentuan-ambang-batas-emisi-gas-buang-kendaraan
Pradana, W. (2021). Saat Pandemi, Kualitas Udara Membaik tapi Suhu Bumi Malah Makin Panas. Pandangan Jogja.
Sass, V., Kravitz-Wirtz, N., Karceski, S. M., Hajat, A., Crowder, K., & Takeuchi, D. (2017). The effects of air pollution on individual psychological distress. Health and Place, 48, 72–79. https://doi.org/10.1016/j.healthplace.2017.09.006
van der Werff, E., & Steg, L. (2016). The psychology of participation and interest in smart energy systems: Comparing the value-belief-norm theory and the value-identity-personal norm model. Energy Research and Social Science, 22, 107–114. https://doi.org/10.1016/j.erss.2016.08.022