ISSN 2477-1686
Vol. 8 No. 4 Feb 2022
Pendidikan Karakter Dan Isu Moralitas Terkait Kejahatan Seksual Pada Anak
Oleh:
Shanty Sudarji & Sherly
Program Studi Psikologi, Universitas Bunda Mulia
Kejahatan seksual pada anak semakin marak terjadi dan ramai diberitakan di berbagai media sosial. Salah satu kasus yang menghebohkan masyarakat adalah terungkapnya kejahatan seksual yang dilakukan oleh seorang santri kepada 13 santriwati usia anak di Bandung, Jawa Barat. Kejahatan seksual tersebut diketahui telah dilakukan sejak tahun 2016, dan telah ada 9 bayi yang lahir akibat dari kejahatan seksual tersebut (Kompas.com, Merdeka.com, 2021). Kasus lain yang juga viral di media sosial adalah dugaan perbudakan seksual pada anak yang juga terjadi di wilayah Bandung, kasus dugaan pemerkosaan anak oleh ayah kandung yang terjadi di Luwu Timur, dan juga kasus perkosaan dua orang anak yang dilakukan oleh keluarga dan tetangganya sendiri di Padang yang terungkap pada bulan November 2021 lalu (BBC.com, 2021). Kejahatan seksual yang dilakukan terhadap anak dapat muncul dalam berbagai bentuk, misalnya sodomi, percabulan, pemerkosaan, dan juga termasuk incest didalamnya (Noviana, 2015). Kejahatan seksual ini merupakan pelanggaran moral dan hukum, serta dapat menyakiti secara fisik dan psikologis karena dapat meninggalkan trauma yang mendalam bagi korban. Sayangnya juga kejahatan seksual ini masih sedikit yang terungkap dikarenakan lebih banyak korban yang memilih untuk diam atau takut untuk melapor karena berbagai faktor seperti kebingungan akan apa yang terjadi pada dirinya, takut dikucilkan atau didiskriminasi, dan takut oleh ancaman yang diberikan oleh pelaku (Lintang, 2020).
Usia anak merupakan usia yang rentan mendapatkan perlakuan yang salah dari orang dewasa, karena pada usia anak, mereka belum paham dan belum menyadari bahwa haknya telah dirampas pada saat mereka dijadikan korban kejahatan seksual oleh orang dewasa, apalagi jika pelaku adalah orang yang dekat dengan mereka yang dapat memanipulasi mereka dengan mudah. Selain itu, apabila bujuk rayu tidak berhasil digunakan, pelaku juga dapat dengan mudahnya memaksakan kehendaknya kepada anak-anak. Pelaku kejahatan seksual pada anak sering dilabel dengan kata pedofil atau predator anak (Sulisrudatin, 2016). Pemberian hukuman kepada pedofil terlihat belum maksimal di Indonesia, selain itu pemberian hukuman ini dinilai tidak dapat menggantikan atau menyembuhkan luka psikologis dari korban anak yang akan ditanggungnya seumur hidup. Polemik muncul saat hukuman mati dan kebiri kimia dijatuhkan kepada pelaku kejahatan seksual santriwati di Bandung, beberapa pihak menyatakan bahwa hukuman ini berlebihan dan tidak sesuai dengan hak asasi manusia, di sisi lain pihak yang mendukung mengatakan bahwa hukuman ini sudah sesuai dengan UU Nomor 17 Tahun 2016 tentang Perlindungan Anak (Kompas.com, 2022).
Penelitian Sulisrudatin (2016) mengemukakan bahwa dengan semakin maraknya kasus pedofilia ditengah-tengah masyarakat, menunjukan terjadinya degradasi moral yang dapat terjadi dikarenakan kurangnya pondasi yang dimiliki oleh individu baik dari segi sosial, segi agama, dan juga dari segi budaya. Pendidikan karakter di Indonesia dianggap penting sebagai salah satu tonggak pencegahan kejahatan seksual pada anak. Pendidikan karakter diharapkan menjadi suatu gerakan nasional yang dapat menciptakan sekolah-sekolah yang dapat membina dan menghasilkan individu yang beretika, bertanggungjawab, dan juga peduli kepada sesama, dalam hal ini bukan hanya diajarkan mana yang benar dan mana yang salah namun lebih dari itu pendidikan karakter juga merupakan sebuah usaha untuk menanamkan dan memupuk kebiasaan-kebiasaan baik sehingga siswa mampu bersikap dan bertindak sesuai nilai-nilai moral dan juga kepribadiannya (Cahyono, Suhono, & Khumairo, 2018). Pencegahan dan penanganan kejahatan seksual tidak dapat dilakukan oleh satu pihak saja, perlu kerjasama dari berbagai pihak agar kasus-kasus serupa tidak terjadi. Pendidikan karakter dapat dimulai dari skala mikro yakni keluarga, dan juga sekolah, sampai dengan skala makro yakni pemerintah yang harus menerapkan sistem hukum dan perlindungan yang memadai bagi anak.
Hadi, Handayani & Rahmawati (2015) mengemukakan bahwa faktor pola asuh orang tua turut memberikan pengaruh pada pelaku tindak kejahatan seksual pada anak. Pola asuh yang tidak konsisten dapat membuat anak merasa bingung untuk menginternalisasi nilai-nilai dari pengasuhnya. Menerima kekerasan sejak kecil akan membuat anak memendam perasaan jengkel dan marah. Sementara pola pengasuhan yang memanjakan akan membuat anak kurang memiliki kecakapan dan kontrol diri yang dapat memunculkan konsep diri negatif dalam diri anak. Konsep diri yang negatif inilah yang dapat berpotensi memunculkan perilaku maladaptif dalam bentuk kejahatan seksual. Putri (2021) menambahkan bahwa perilaku pedofilia dapat disebabkan karena kurangnya kasih sayang ataupun perhatian dari orang tua semasa kecilnya. Keluarga adalah sumber utama untuk peletakan dasar karakter dan pembentukan kepribadian anak. Selain dari pola asuh, terdapat juga faktor sosiokultural, berkaitan dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang semakin pesat, globalisasi, internet dan sosial media yang di dalamnya dimuat berbagai macam jenis informasi yang dapat diakses dengan bebas oleh semua kalangan. Pendidikan karakter yang diperkuat di sekolah juga diperlukan untuk mencapai manusia yang memiliki integritas serta nilai-nilai moral yang kuat sehingga mereka dapat memiliki rasa hormat dan peduli pada sesama, maka dalam hal ini selain aspek kognitif maka harus juga diperhatikan pengembangan aspek afektif dan moralitas dari setiap peserta didik (Laksana, 2015). Oleh karena itu, perlu dilakukan pembenahan dari berbagai aspek, termasuk sistem pendidikan dan sistem hukum yang jelas dan tegas agar dapat mencegah dan meminimalkan angka kejadian kejahatan seksual pada anak di Indonesia, tidak lupa juga pemberian psikoedukasi bagi masyarakat luas terutama dalam hal pengasuhan anak.
Referensi:
BBC.com (2021). Remaja 14 tahun diperkosa dan dijadikan budak seks di Bandung, kekerasan seksual pada anak yang terus berulang beri sinyal 'darurat'. Diakses dari https://www.bbc.com/indonesia/trensosial-59815560
Cahyono, H., Suhono., Khumairo, A. (2018). Pendidikan Karakter bagi Pelaku Pedofilia (Sebuah Strategi dalam Mengatasi Masalah Amoral). Jurnal Managemen, Kepemimpinan, dan Supervisi Pendidikan Vol. 03, No. 1.
Hadi, G. A. P., Handayani, P. K., Rahmanawati, F. Y. (2015). Gambaran Pola Asuh Pelaku Kekerasan Seksual Pada Anak Ditinjau Dari Perspektif Pelaku. Diakses dari: http://repository.unmuhjember.ac.id/2057/1/NASKAH%20PUBLIKASI%202.pdf
Kompas.com (2021). Ada 9 Bayi yang Dilahirkan Santriwati Korban Pemerkosaan Guru Pesantren di Bandung. Diakses dari https://regional.kompas.com/read/2021/12/09/191129878/ada-9-bayi-yang-dilahirkan-santriwati-korban-pemerkosaan-guru-pesantren-di?page=all.
Kompas.com (2022). Polemik Tuntutan Hukuman Mati Herry Wirawan, Pemerkosa 13 Santriwati. Diakses dari https://www.kompas.com/wiken/read/2022/01/15/074500581/polemik-tuntutan-hukuman-mati-herry-wirawan-pemerkosa-13-santriwati?page=all
Laksana, S.D. (2015). Urgensi Pendidikan Karakter Bangsa di Sekolah. Diakses dari http://journal.umpo.ac.id/index.php/muaddib/article/view/67/61
Lintang (2020). Merajalelanya Pedofil Karena Lemahnya Hukum dan Perlindungan. Diakses dari https://osf.io/preprints/inarxiv/7q39x/
Merdeka.com (2021). Modus Guru Perkosa 12 Santri di Bandung hingga Hamil dan Melahirkan. Diakses dari https://www.merdeka.com/peristiwa/begini-modus-guru-pesantren-di-bandung-perkosa-santriwati-hingga-hamil-dan-melahirkan.html
Noviana (2015). Kekerasan Seksual Terhadap Anak: Dampak dan Penanganannya. Child Sexual abuse: Impact and Handling. Diakses dari https://ejournal.kemsos.go.id/index.php/Sosioinforma/article/view/87/55
Putri, A. H. (2021). Lemahnya Perlindungan Hukum Bagi Korban Pelecehan Seksual di Indonesia. Jurnal Hukum Pelita, Vol. 2, No. 2. 14-29. Jakarta: Fakultas Fakultas Hukum Universitas Bhayangkara Jakarta Raya.
Sulisrudatin, N. (2016). Analisis Tindak Pidana Pencabulan Oleh Pelaku Pedofil. Jurnal Ilmiah Hukum Dirgantara, Vol. 6, No. 2. Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Suryadarma