ISSN 2477-1686

Vol. 8 No. 1 Jan 2022

Remaja Bukan, Dewasa Belum: Memahami dan Mengatasi Quarter-Life Crisis

 

Oleh

Maria Nugraheni Mardi Rahayu

Fakultas Psikologi, Universitas Kristen Satya Wacana

 

Masa transisi selalu membawa berbagai tantangan baru. Begitu juga ketika kita beranjak dari usia remaja memasuki usia dewasa, yang umumnya dialami di usia awal 20-an. Masa ini dikenal dengan istilah emerging adulthood, yang biasanya ditandai dengan beberapa karakteristik yang khas seperti mengeksplorasi identitas, mengalami berbagai perubahan dan ketidakstabilan dalam relasi dan karir, terfokus pada diri sendiri, merasa berada di masa peralihan, dan menghadapi berbagai kemungkinan tentang masa depan (Arnett, 2000). 

 

Di dalam masa ini, setiap orang pasti mengalami tantangan-tantangan baru. Tetapi bagi sebagian orang, masa transisi ini tidak selalu mudah untuk dihadapi. Sebagian dari kita mungkin pernah atau sedang merasakan kebingungan ketika dihadapkan pada keputusan-keputusan besar di hidup kita, merasa putus asa, memiliki penilaian diri yang negatif karena tidak “sesukses” teman sebaya kita, merasa terjebak dalam situasi yang sulit, mengalami kecemasan, merasa tertekan, atau khawatir akan relasi interpersonal yang sedang/akan dibangun. Perasaan-perasaan seperti ini kadang terus menghantui dan membuat hari-hari kita menjadi kurang nyaman untuk dijalani. Kondisi inilah yang kemudian kita kenal dengan istilah quarter-life crisis

 

Quarter-life crisis tidak selalu terasa sama bagi semua orang. Robinson (2017) menemukan bahwa setidaknya ada 2 bentuk quarter-life crisis, yaitu locked-out yang umumnya dialami individu usia 23-25 tahun dan locked-in yang umumnya dialami individu berusia 25-30 tahun. Quarter-life crisis bentuk locked-out biasanya ditandai dengan adanya perasaan tidak dapat memasuki komitmen relasi orang dewasa dan/atau karir, perasaan ketergantungan yang tidak diinginkan pada orang lain, serta perasaan terisolasi. Sementara pada bentuk locked-in biasanya ditandai dengan perasaan terjebak di karir atau relasi yang menimbulkan frustrasi serta pemisahan traumatis secara emosional dari komitmen.

 

Perlu disadari bahwa kondisi krisis ini sebenarnya tidak bersifat statis atau ajeg. Dalam penelitiannya, Robinson (2015) menemukan bahwa quarter-life crisis ini dapat menjadi sebuah proses untuk pendewasaan individu yang memasuki usia dewasa. Pada tipe locked-out umumnya individu mengawali dengan usaha aktif untuk mendapatkan pekerjaan atau relasi (fired up). Ketika mengalami beberapa kegagalan untuk mencapai tujuan atau mengatasi hambatan, di sinilah individu mengalami tahap locked-out. Jika kita saat ini sedang merasakan kondisi tersebut, kita dapat mengambil jeda sejenak untuk melakukan refleksi dan mencoba pendekatan baru (reflective pause). Selanjutnya, kita dapat mencoba pendekatan baru dalam menghadapi kegagalan atau mengatasi hambatan atau mengubah arah/skala tujuan jika diperlukan (re-scalling & resolution). Sementara kondisi locked-in biasanya diawali dengan adanya perasaan terjebak setidaknya di satu komitmen besar dalam kehidupan seperti relasi/pekerjaan/pendidikan (locked-in). Ketika mengalami perasaan ini, individu dapat berupaya untuk memecahkan status quo dan hal ini dapat menjadi waktu yang menantang dan emosional (separation & breaking out). Tahap berikutnya, kita dapat mencoba bereksperimen untuk mengeksplorasi pilihan lain yang tersedia untuk mengatasi kondisi krisis yang sedang dialami (trying new things). Jika ini berhasil, individu tidak lagi merasa di episode krisis dan mampu melihat apa yang sudah ia temukan tentang diri sendiri (resolution & sense of growth). Baik bentuk locked-out maupun locked-in dapat membuat seseorang mengalami pertumbuhan diri pasca-krisis (post-crisis growth). Artinya, ia dapat membuat kondisi krisis menjadi kesempatan untuk bertumbuh, berkembang dan menjadi individu yang lebih matang. Pertanyaan selanjutnya adalah bagaimana cara untuk mengatasi quarter-life crisis


Salah satu cara untuk mengatasi quarter-life crisis adalah mencoba hal baru. Robinson (2017) menjelaskan bahwa ada beberapa manfaat dari mencoba hal baru. Pertama, mencoba hal baru dapat membantu kita untuk mendapatkan gagasan baru (insight) mengenai apa yang tidak kita ketahui atau miliki sebelumnya. Kedua, kita dapat menjadi lebih mengenali diri sendiri. Ketiga, hal baru dapat memperluas perspektif kita tentang kehidupan dan mengembangkan kepercayaan diri kita dalam proses tersebut. Keempat, hal ini dapat menambah pengalaman positif yang mendalam dan mengalir. Kelima, mencoba hal baru rupanya juga dapat membuka jalan bagi kita untuk menyelesaikan krisis, karena hal ini dapat memberikan ide tentang cara memajukan hidup yang seimbang dan memuaskan. 

 

Bagaimana cara untuk mencoba hal baru? Terkadang kita tahu bahwa kita harus melakukan sesuatu, tetapi tidak tahu harus memulai dari mana. Lebih lanjut, Robinson (2017) menjelaskan bahwa terdapat beberapa strategi yang dapat kita lakukan untuk mencoba hal baru. Untuk mencoba hal baru, kita dapat memulai dengan melakukan brainstorming, yaitu dengan membuat daftar tentang hal-hal yang kita anggap belum memuaskan di hidup kita. Lalu, kita dapat memilih 1-2 hal yang dapat kita ubah dan mencari cara untuk mengubahnya. Cara lain yang bisa kita lakukan adalah dengan mencari tahu apa yang dilakukan orang lain dalam menghadapi krisis yang mereka alami. Hal ini dapat dilakukan dengan cara membaca buku atau mengikuti webinar dengan tema-tema tentang krisis yang sedang kita hadapi. Jika kita merasa belum dapat menyelesaikan krisis dengan diri diri sendiri, menceritakan masalah kita kepada orang lain yang kita percaya juga dapat membantu untuk mendapatkan perspektif baru. Kalau kita membutuhkan bantuan orang yang profesional, melakukan konsultasi dengan konselor atau psikolog yang dapat kita jangkau bisa menjadi solusi yang dapat dicoba. Hal lain yang menarik untuk dicoba adalah dengan melibatkan diri dalam kegiatan-kegiatan sukarelawan (volunteering). Terlibat dalam kegiatan sukarelawan dan menghayati pengalaman tersebut dapat membantu kita menemukan makna baru dalam kehidupan. Selanjutnya, yang penting untuk diingat adalah bahwa kita tidak harus memaksakan diri untuk mencoba hal-hal baru yang spektakuler, dramatis, atau “besar”. Kita bisa memulai langkah kecil dan mencoba hal-hal baru yang sederhana, sebelum kemudian kita membuat pilihan/keputusan yang sangat besar. 

 

Quarter-life crisis merupakan hal yang umum dialami oleh individu di usia 20-an. Jika kita sedang mengalami krisis ini, yang penting untuk diingat adalah bahwa kita berkomitmen untuk berupaya mengatasi setiap masalah, tantangan dan krisis yang kita alami dan menjadikannya kesempatan untuk mendorong pertumbuhan positif di kehidupan kita. Dengan demikian, kita akan berkembang menjadi individu yang semakin matang dan terus bertumbuh. 

 

 

Referensi:

 

Arnett, J. J. (2000). Emerging adulthood: A theory of development from the late teens through the twenties. American Psychologist, 55(5), 469-480. DOI: 10.1037//0003-066X.55.5.469.

 

Robinson, O. C. (in press). A longitudinal mixed-methods case study of quarter-life crisis during the post-university transition: Locked-out and locked in forms in combination. Emerging Adulthood. DOI: 10.1177/2167696818764144

 

Robinson, O. C. (2015). Emerging adulthood, early adulthood and quarter-life crisis: updating Erikson for the twenty-first century. In. R. Zukauskiene (Ed.) Emerging adulthood in a European context (pp. 17-30). New York: Routledge.

 

Robinson, O. C. (2017). How to turn your quarter-life crisis into quarter-life catalyst. First Direct Undercovered Press Releases and University of Greenwich (pp. 6-10).