ISSN 2477-1686
Vol. 7 No. 24 Des 2021
Psikologi Forensik dalam Ilmu Hukum
Oleh
Oktavia Mu’affi & Putri Pusvitasari
Program Studi Psikologi, Universitas Jenderal Achmad Yani Yogyakarta
Psikologi secara umum dapat didefinisikan sebagai ilmu tentang perilaku manusia. Psikologi berusaha memahami bagaimana manusia berpikir (think), merasa (feel) dan bertindak (act). Kata forensik (forensic)dalam ilmu (sains) maupun pada praktik selalu dikaitkan dengan segala hal pencarian alat bukti kejahatan yang ujungnya akan digunakan dalam proses di pengadilan (Muluk, 2013). Psikologi forensik adalah bagian dari sains forensik (forensic science) yang semakin berperan penting dalam proses penegakan hokum (Muluk, 2013). Namun di Indonesia peran dari ilmu ini belum begitu signifikan. Psikologi forensik berusaha mengungkap bukti-bukti yang berkaitan dengan mengapa seseorang melakukan kejahatan dari perspektif ilmu perilaku.
Interaksi antara bidang ilmu Psikologi dan hukum pada saat ini tidak dapat di ragukan lagi, yang mana semakin meluas dan berkembang dari waktu kewatu. Disinilah ilmu Psikologi yang merupakan suatu ruang lingkup keilmuan yang berintegrasi antara bidang kejiwaan dan bidang hukum di perlukan . Kaspardis (Agung, 2016) membagi tiga bentuk pengintegrasian psikologi dalam hukum, yaitu psychology in law, psychology and law, dan psychology of law. Karena adanya keterkaitan antara psikologi dan hukum. Para psikologi sering diminta bantuannya sebagai saksi ahli dan konsultan ruang sidang.
Aspek penting dari psikologi forensik adalah kemampuannya untuk mengetes di pengadilan, reformulasi, penemuan psikologi kedalam bahasa legal dalam pengadilan, dan menyediakan informasi kepada personel legal sehingga dapat di mengerti (Sulmustakim, 2021). Ahli psikologi forensik harus dapat menerjemahkan informasi psikologi kedalam kerangka legal. Kontribusi psikologi dalam bidang forensik sebenarnya mencakup area kajian yang sangat luas, mulai membuat kajian tentang profil para pelaku kejahatan (offender profilling), mengungkap dasar neuropsikologik, genetik, dan proses perkembangan pelaku, saksi mata (eyewitness), mendeteksi kebohongan, menguji kewarasan mental, soal penyalahgunaan obat dan zat adiktif, kekerasan seksual, kekerasan domestik, soal perwalian anak, dan juga soal rehabilitasi psikologis di penjara (Muluk,2013).
Beberapa cabang psikologi yang berperan dalam sistem dan proses hukum seperti psikologi kognitif, perkembangan, sosial dan klinis. Pada tataran keilmuwan, piskologi berperan dalam proses pengembangan hukum berdasarkan riset-riset psikologi. Sementara pada tataran aplikatif, psikologi berperan dalam intervensi psikologis yang dapat membantu proses hukum (Agung,2016).
Di negara Indonesia peran psikologi dalam hukum sudah mulai terlihat semenjak hadirnya Asosiasi Himpunan Psikologi Forensik pada tahun 2007. Peran psikologi forensik menurut Irmawati (Agung, 2016) dibutuhkan untuk membantu mengungkapkan kasus-kasus kriminal yang menimpa masyarakat. Psikolog forensik dapat membantu aparat penegak Cabang Psikologi hukum memberi gambaran utuh kepribadian pada pelaku dan korban. Menurut Probowati, 2010 (Agung, 2016) peran psikologi forensik meliputi tahap penyelidikan, penyidikan, persidangan dan pemenjaraan. Berbeda halnya dengan Rahardjo, 2006 (Agung, 2013) menurutnya para ilmuwan psikologi belum mengambil peran utama dalam proses hukum. Selama ini ilmuwan psikologi banyak digunakan sebagai saksi ahli dan untuk pemeriksaan kondisi kejiwaan tersangka atau terdakwa.
Referensi:
Agung, I. M. (2016). Kontribusi Psikologi dalam Penegakan Hukum di Indonesia. Sumber: https://vano2000. files. wordpress. com/2012/06/kontribuasi-psikologi-dalam-penegakan-hukum-di-indonesia. pdf, diakses pada tanggal, 15.
Muluk, H. (2013). Kajian dan Aplikasi Forensik dalam Perspektif Psikologi. Jurnal Sosioteknologi, 12(29), 388-391.
Sulmustakim, A. (2021). Kedudukan Psikologi Forensik dalam Penanganan Pelaku Tindak Pidana Pembunuhan Dengan Kekerasan terhadap Anak. Journal of Law (Jurnal Ilmu Hukum), 1(2), 86-98.