ISSN 2477-1686

Vol. 7 No. 22 Nov 2021

Mengulik Kondisi Psikologis dari Saksi/Korban Tindak Pidana Kekerasan pada Anak

 

Oleh

Diah Kurniawati & Putri Pusvitasari

Fakultas Ekonomi dan Sosial, Universitas Jenderal Achmad Yani Yogyakarta

 

Masih banyak ditemukannya tindak pidana kekerasan pada anak di lingkungan sekitar, baik secara fisik, emosional, maupun seksual. Berdasarkan hasil laporan pada Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (SIMPONI PPA) hingga 3 Juni 2021 terdapat sebanyak 3.122 kasus kekerasan pada anak (Tribunnews, 2021). Deputi Bidang Perlindungan Anak Kementrian PPPA Nahar menyatakan bahwa pengelolaan kasus kekerasan terhadap anak masih menjadi catatan bagi Kementrian PPPA. Nahar juga menjelaskan bahwa kasus kekerasan dapat dilihat dari dampak, manfaat, dan kondisi kesehatan dari korban (Tribunnews, 2021).

 

Proses peradilan pidana sangat bergantung pada hasil investigasi pada saksi, karena polisi, jaksa, maupun hakim tidak melihat kejadian perkara secara langsung. Namun, banyak penelitian yang membuktikan bahwa kesaksian yang diberikan saksi banyak mengandung bias. Karena saksi merupakan manusia biasa yang pastinya memiliki banyak kekurangan, maka banyak juga hal yang dapat mempengaruhi ketidaksesuaian antara kesaksian yang diberikan oleh saksi dengan fakta yang sebenarnya. Adanya bias juga yang terjadi dalam penyidikan dan cara penggalian informasi dari kesaksian yang dilakukan oleh penyidik.

 

Menurut Ancok (Rahayu, 2008) berpendapat bahwa ketidaksesuaian tersebut dapat bersumber pada keterbatasan kognisi saksi dalam mengolah, mengingat, maupun merekam informasi. Disini peran memori sangat penting dalam mengingat kejadian dan menyampaikan informasi. Terdapat suatu proses bagaimana informasi masuk ke dalam memori atau yang sering disebut dengan encoding. 

 

Menurut Brigham, Milne & Bull (Rahayu, 2008) tidak semua informasi dapat tersimpan dalam ingatan dan biasanya informasi yang sesuai dengan skema pikir akan tersimpan secara tepat. Namun, terdapat faktor yang mempengaruhi encoding salah satunya yaitu tingkat stress dari saksi/korban. Beberapa penelitian menyatakan bahwa stress dapat mempengaruhi ingatan saksi. Selain itu, kejadian yang dapat menimbulkan stress dapat meningkatkan ingatan saksi, karena peristiwa traumatik dari saksi/korban dapat memfokuskan perhatian pada kejadian yang dialami.

 

Selain encoding, terdapat proses pemanggilan kembali informasi yang masuk ke dalam memori atau yang sering disebut dengan retrieval. Retrieval juga memiliki beberapa faktor salah satunya adalah kondisi emosi. Menurut Yerkes-Dodson (Rahayu, 2008) menyatakan bahwa saksi dalam kondisi emosi takut, marah, atau cemas akan mengalami penurunan pada ingatan dalam pemberian kesaksian.

 

Terdapat simtom yang mungkin akan terjadi pada anak, dimana anak sebagai saksi/korban yaitu ketika anak mengalami trauma. Menurut Leeds (Kusumowardhani, 2015) anak yang mengalami trauma akan menolak untuk berbicara mengenai traumanya karena akan membuat anak mengingat kembali peristiwa traumatik yang dapat beresiko munculnya memori negatif, pikiran negatif, emosi yang meluap, maupun sensasi fisik yang tidak nyaman dimana seolah-olah anak mengalami kembali peristiwa tersebut.

 

Anak dibawah umur yang mengalami peristiwa berat seperti ini akan merasa kebingungan dalam memahami dan mempersepsikan hubungan sosial, sehingga hal ini dapat mengganggu proses perkembangan psikososialnya. Respon orang sekitar dan lingkungannya juga dapat mengganggu kestabilan emosi anak, dimana dapat membuat anak akan mengalami ketakutan, kecemasan, maupun rasa tidak percaya diri. Terlebih lagi jika terdapat media massa yang meliput tanpa memperhatikan kondisi psikologis anak (Kusumowardhani, 2015).

 

Pengalaman kekerasan yang terjadi pada anak dapat menimbulkan traumatik dalam kehidupannya. Menurut (Kurniasari, 2019) hal ini dapat membuat anak menjadi pribadi yang labil, cenderung mengalami stress, depresi, kecemasan, dan pengendalian emosi yang buruk, seperti mudah marah atau menangis, menjadi agresif, bahkan mudah menyerang. Selain itu, relasi sosial anak menjadi terhambat, seperti kurang mampu beradaptasi dengan lingkungan, menarik diri dari pergaulan, bahkan menghindari untuk berinteraksi dengan orang lain.

 

Berdasarkan uraian di atas, baik saksi maupun korban tindak kekerasan pada anak memiliki keterbatasan kognisi saat menyatakan kesaksiannya, seperti keterbatasan dalam mengingat dan memberikan informasi. Selain itu, munculnya beberapa kondisi psikologis yang dialami saksi/korban tindak pidana kekerasan, seperti kecemasan, stress, depresi, ketakutan, menyebabkan rasa tidak percaya diri, mengalami pengendalian emosi yang buruk, terhambatnya relasi sosial seperti kesulitan dalam beradaptasi dengan lingkungan, menarik diri dari pergaulan, dan menghindari interaksi dengan orang lain. 

 

 

Referensi:

 

Kurniasari, A. (2019). Dampak Kekerasan pada Kepribadian Anak. Sosio informa, 5(1), 15-24.

 

Kusumowardhani, R. (2015). Perspektif Psikoviktimologi dalam Pendampingan dan Perlindungan Anak Korban Kekerasan Seksual. EGALITA, 10(2), 1-14.

 

Rahayu, Y. P. (2008). Peran Psikologi dalam Investigasi Kasus Tindak Pidana. Indonesian Journal of Legal and Forensic Sciences, 1(1), 26-31.

 

Tribunnews. (2021, Juni 5). Terima Laporan 3.122 Kasus Kekerasan Anak, Kemen PPPA Pastikan Penanganan Secara Utuh. Diambil kembali dari Tribunnews.com: https://www.tribunnews.com/nasional/2021/06/05/terima-laporan-3122-kasus-kekerasan-anak-kemen-pppa-pastikan-penanganan-secara-utuh