ISSN 2477-1686

Vol. 7 No. 21 Nov 2021

Kecemasan Pandemi Membuat Masyarakat Melakukan Pertahanan Diri?

 

Oleh:

Annisa Fauziah Mukhlis, Naila Safira, Prihasti Chaerunissa, 

dan Laila Meiliyandrie Indah Wardani

Fakultas Psikologi, Universitas Mercu Buana 

 

 

Kehadiran Coronavirus Disease atau yang akrab disebut dengan COVID-19 di Indonesia pada awal tahun 2020 lalu cukup membuat masyarakat panik.  Kepanikan ini didasari oleh cepatnya penyebaran virus yang terus memakan korban. Ditambah berita-berita di berbagai media sosial maupun layar kaca, menyajikan jumlah korban yang terus diperbarui setiap harinya. Hingga pada akhirnya, pemerintah memberikan pengumuman diterapkannya pembatasan sosial. Pembatasan sosial atau  social distancing merupakan salah satu upaya untuk mencegah penularan virus (Farboodi, Jarosch, & Shimer, 2020). Terkait hal tersebut, hingga saat ini masyarakat masih harus bekerja secara jarak jauh dan mengerjakan tugasnya dari rumah. Masyarakat meminimalisir terjadinya kontak sosial secara langsung dan diam di rumah untuk mencegah penularan. Hal ini kemudian berdampak pada kondisi psikologis masyarakat.

 

Huremović (2019) dalam bukunya yang berjudul Psychiatry of pandemics menyatakan bahwa kepanikan saat pandemi bekerja seperti ‘zombie’ yang dapat menular dan menyebabkan kepanikan massal. Masyarakat dapat kehilangan kontrol akan kesadaran dan perilakunya karena didorong oleh hawa nafsu untuk dapat segera memenuhi kebutuhannya. Seperti saat pertama kali muncul Covid-19 di Indonesia, masyarakat berbondong-bondong menyerbu pasar swalayan untuk membeli masker dan obat obatan demi mengatasi rasa cemas akan terpapar virus. 

 

Kecemasan Masyarakat di Era Pandemi

Tidak berhenti sampai disitu, bahkan setelah satu tahun berlalu, kecemasan ini terus menghantui masyarakat. Jika dikaitkan dengan teori psikoanalisis yang dikemukakan oleh Sigmund Freud, kecemasan berasal dari ego manusia (sebuah bagian dari diri manusia yang kontak langsung dengan kenyataan dan berperan dalam membuat keputusan) (Feist, Feist, & Roberts, 2013). Saat cemas, ego mencoba untuk memahami adanya ancaman yang belum pernah diketahui sebelumnya (unknown danger). Kecemasan yang terjadi pada masyarakat  umumnya merupakan kecemasan neurotik dan realistik. Kecemasan jenis ini didasari oleh respon terhadap bahaya yang belum tentu nyata dan rasa takut yang tidak spesifik terhadap bahaya yang mungkin terjadi . 

 

Ketika kecemasan terjadi, manusia melakukan pertahanan diri dengan memunculkan perilaku yang telah melalui mekanisme defensif sehingga kecemasan dapat teratasi (defense mechanisms) (Feist, Feist, & Roberts, 2013). Salah satu mekanisme defensif yang  paling umum terjadi adalah regresi (regression). Keluhan masyarakat yang diekspresikan melalui rengekan dan kegelisahan misalnya, besar kemungkinan hal ini adalah suatu kecemasan yang diatasi melalui cara individu mengekspresikan ketakutan atau kecemasan di waktu kecil untuk kembali merasa aman. Mekanisme defensif yang paling umum lainnya adalah represi yang merupakan mekanisme paling sederhana,dan yang sering digunakan, seperti halnya ketika masyarakat cenderung menekan ketakutan yang mereka rasakan untuk dapat melakukan aktivitas mereka sehari-hari dengan lebih tenang.

 

Kemudian, kecemasan pada masyarakat juga dilatarbelakangi oleh pengalaman traumatik terkait Covid-19 (Blackman, 2020). Banyak dari masyarakat yang harus kehilangan keluarganya maupun orang tersayang karena virus ini. Akibatnya, banyak yang merasa cemas akan kematian. Cemas akan kematian didefinisikan sebagai pemikiran, ketakutan, dan emosi terkait rasa sakit dari proses kematian itu sendiri (Pandya & Kathuria, 2021). Mereka yang pernah merasakan kehilangan orang tersayang di era pandemi ini cenderung lebih beresiko mengalami kelelahan emosional (mental breakdown), takut akan kehilangan atau keterpisahan, bahkan paranoid. Hal inilah yang kemudian akan memberikan dampak bagi kesehatan fisik maupun mental masyarakat.

 

Dampak Kecemasan bagi Kehidupan di Era Pandemi

Ketakutan akan kehilangan orang tersayang dan kehilangan rasa kasih sayang merupakan sumber utama dari kecemasan pada manusia (Steele, 2020), apalagi di era pandemi ini. Rasa takut yang terus ditekan maupun diproses melalui mekanisme defensif tentu akan memberikan dampak bagi masyarakat dalam menjalani kehidupannya sehari-hari. Menurut Blackman (2020) beberapa dampak tersebut meliputi:

 

1)  Rasa paranoid. Kecemasan berlebihan hingga muncul ketakutan yang berlebihan terhadap virus ini menghambat masyarakat untuk dapat bekerja secara produktif.

 

2)  Emosi yang tidak terkontrol. Selama pandemi ini, banyak pasien Covid-19 maupun masyarakat yang kurang mampu menahan emosinya. Beberapa masyarakat memilih berteriak frustrasi, marah tanpa sebab yang jelas, dan menunjukkan perilaku kompulsif sebagai respon atas rasa cemas berlebih. Tidak sedikit pula masyarakat yang kemudian melakukan tindakan agresif sebagai cara penyelesaian dalam menghadapi fase hidupnya yang penuh kecemasan.

 

3)  Gangguan tidur dan mimpi buruk. Rasa cemas tentu akan mempengaruhi pola tidur seseorang. Hal ini dikarenakan tubuh akan selalu berada dalam tahap alert akan bahaya atau ancaman yang tidak terprediksi. Teori Freud mengatakan fenomena gangguan tidur dan mimpi buruk yang dirasakan individu merefleksikan pengalaman traumatis maupun tidak meningkat dari kehidupan individu.     

 

Berbagai perilaku masyarakat ini dilatarbelakangi oleh satu penyebab yang sama, yaitu rasa cemas sehingga perlu strategi yang berperan dalam membantu masyarakat mengurangi rasa cemasnya.  

   

Menghadapi Kecemasan dari Sudut Pandang Psikoanalisis. 

Ketika tubuh individu dilanda kecemasan, bisa jadi ini adalah bentuk respon tubuh untuk berkomunikasi bahwa ada suatu hal yang belum terselesaikan dalam diri individu. 

Psikoanalisis merupakan suatu aliran yang sangat berpengaruh bagi perkembangan terapi psikologi termasuk dalam upayanya mengatasi kecemasan. Peran psikoanalisis dalam terapi meliputi membantu individu menyadari adanya ancaman di ketidaksadaran (Kapoor, 2014). Bagi psikoanalisis, penting untuk memahami sebuah ketakutan dan proses bagaimana diri individu memahami ketakutan itu sehingga individu lebih siap akan tantangan yang ada. Melalui pemikiran, pandangan, dan persepsi akan ketakutan yang lebih terorganisir, ketakutan lebih dapat diatasi (Steele, 2020).  

 

Hal lain yang dapat dilakukan menurut teori ini adalah dengan membantu individu untuk mengeluarkan dorongan yang ditekan (repressed desires) (Kapoor, 2014). Simptom neurotik yang ‘dikeluarkan’ baik itu secara verbal melalui konseling maupun melakukan aktivitas yang membawa kenikmatan bagi individu (pleasure). Konseling dengan pendekatan psikoanalisis cenderung berfokus pada ketidaksadaran individu (Feist, Feist, & Roberts, 2013), dengan begitu dorongan (id) yang ditekan ke dalam ketidaksadaran (unconscious) dapat dibawa keluar dan perasaan individu pun akan menjadi lebih baik. 

 

Dari hal yang telah dipaparkan, dapat diambil sebuah kesimpulan bahwa kondisi pendemi saat ini menyebabkan kecemasan bagi masyarakat dan kondisi ini juga dapat menyebabkan individu berperilaku secara berbeda untuk menunjukkan kecemasannya. Teori psikoanalisis percaya bahwa penting untuk menyadari apa yang ada dalam ketidaksadaran dan mengeluarkan dorongan yang ada dalam ketidaksadaran tersebut.  

 

Sebagai contoh kasus Masyarakat dapat kehilangan kontrol akan kesadaran dan perilakunya karena didorong oleh hawa nafsu untuk dapat segera memenuhi kebutuhannya. Seperti saat pertama kali muncul Covid-19 di Indonesia, masyarakat berbondong-bondong menyerbu pasar swalayan untuk membeli masker dan obat obatan demi mengatasi rasa cemas akan terpapar virus. 

 

Contoh dari kecemasan yang dialami yaitu seperti salah satu kerabat kami yang becerita tentang dirinya membeli masker dan hand sanitizer secara besar besaran karena cemas namun ia tersadar jika perbuatan memborongnya ini tidak baik karena banyak masyarakat yang kehabisan masker dan hand sanitizer, setelah ia menyadari itu akhirnya tetanga saya ini menyumbangkan/membagikann masker dan handsanitizernya secara gratis kepada masyarakat yang tidak mampu.

 

The act of birth is the first experience of anxiety, and thus the source and prototype of the affect of anxiety.” – Sigmund Freud

 

 

Referensi:

 

Blackman, J. S. (2020). A psychoanalytic view of reactions to the coronavirus pandemic in China. The American Journal of Psychoanalysis80, 119-132.

 

Farboodi, M., Jarosch, G., & Shimer, R. (2020). Internal and external effects of social distancing in a pandemic(No. w27059). National Bureau of Economic Research.

 

Feist, J., Feist, G. J., & Roberts, T.-A. (2013). Theories of personality. New York: McGraw-Hill.

 

Huremović, D. (2019). Psychiatry of pandemics: a mental health response to infection outbreak. Springer.

 

Kapoor, I. (2014). Psychoanalysis and development: Contributions, examples, limits. Third World Quarterly, 35(7), 1120-1143.

 

Pandya, A. K., & Kathuria, T. (2021). Death Anxiety, Religiosity and Culture: Implications for Therapeutic Process and Future Research. Religions, 12(1), 61.

 

Steele, H. (2020). COVID-19, fear and the future: An attachment perspective. Clinical Neuropsychiatry, 17(2), 97-99.