ISSN 2477-1686

Vol. 7 No. 20 Okt 2021

 Melompati Batasan Inferioritas Individu Berkebutuhan Khusus Dalam Konteks Individual Psychology

 

Oleh 

Maryanna Istiqomah Pratiwi, Lusia Widihartini, Nur Faizah 

& Laila Meiliyandrie Indah Wardani

Fakultas Psikologi, Universitas Mercubuana Jakarta

 

 

“Kebahagiaan terbesar kita tidak tergantung pada situasi hidup dimana kita berada, tapi selalu dari hasil dari kesadaran yang baik, kesehatan yang baik, pekerjaan, dan kebebasan dari semua tujuan.” 

- Thomas Jefferson-

 

Individu berkebutuhan khusus merupakan individu yang memiliki keterbatasan pada satu atau beberapa aspek fisik, intelektual-mental, sosial, ataupun emosional. Keterbatasan atau kejadian diluar kejadian normal populasi ini menyebabkan hambatan signifikan dalam perkembangan maupun pertumbuhan dibandingkan individu lain seusianya (Winarsih, et. al., 2013). 

 

Menurut Kelland (2020), hidup merupakan suatu proses panjang upaya manusia dalam mengejar superioritas dan mengalahkan inferioritasnya. Hidup sering terasa berat bagi individu normal dengan berbagai problematika kehidupan yang menyertainya. Problematika kehidupan orang normal adalah inferioritas yang melekat pada dirinya. Ketika inferioritas bahkan terasa berat bagi orang normal, menjadi menarik menilik inferioritas pada individu berkebutuhan khusus.

 

Inferioritas Pada Anak Berkebutuhan Khusus Menjadi Dilema Tersendiri

Bagi anak berkebutuhan khusus, misalnya pada kasus anak yang menyandang tunarungu, mereka akan mengalami rasa kehilangan kepercayaan dirinya sendiri. Anak tunarungu akan cenderung mengurungkan dirinya (menjauhkan diri) dari orang-orang sekitar. Banyak diantar mereka yang mengalami kondisi yang sama akan menarik dirinya dari lingkungannya. Tidak mau bergaul, cenderung menutup dirinya dan juga merasa minder akan kondisi yang mereka alami. Para anak tunarungu beranggapan bahwa dengan kekurangan dirinya, orang akan memandang berbeda atas kekurangan yang mereka miliki (Rohmatika, 2018).

 

Tunarungu merupakan suatu kondisi dimana seseorang memiliki kekurangan yaitu hilangnya kemampuan pendengaran, biasanya dikarenakan hilangnya fungsi dari alat pendengarannya(Winarsi, 2007; Rahman, 2017)Umumnya orang yang memiliki kondisi cacat tunarungu berbarengan dengan tunawicara. Biasanya kita sering melihat orang tunarungu selalu mengalami tunawicara pula. Bagikhalayak umum, mereka yang memiliki kekurangan dalam kemampuan pendengarannya digolongkan sebagai individu cacat (Rohmatika, 2018).

 

Selain tunarungu, kasus individu berkebutuhan khusus yaitu tunanetra juga menjadi sorotan. Sebagai seorang tunanetra sekaligus konselor, Sarah Supply dalam Draper (2007) mencari tahu tentang persepsi masyarakat kontemporer mengenai disabilitas. Beberapa ilmuwan psikologi seperti Shakespeare (1993) sudah membedakan antara gangguan fisik dan disabilitas. Keterbatasan fisik mengacu pada pembatasan yang diwujudkan dari keadaan fisik tertentu, sedangkan disabilitas adalah konsekuensi dari masyarakat yang mengkategorikan yang batasan fisik ke dalam posisi yang direndahkan dan diberdayakan secara sosial. 

 

Secara keseluruhan, masyarakat masih menggunakan perspektif kedokteran tradisional yang beranggapan negatif mengenai individu dengan keterbatasan. Misalnya anggapan bahwa penyandang cacat dipersepsikan sebagai sakit dan harus disembuhkan. Sayangnya, karena kecacatan kemungkinan besar tidak dapat diobati, penyandang disabilitas dipandang sebagai sebuah ketragisan hidup dan kurang dihargai dibandingkan mereka yang dapat pulih dari penyakit (Draper, 2007).

 

Bagaimana Inferioritas Pada ABK Dilihat dalam Individual Psychology?

Salah satu tokoh yang mengangkat tentang individual psychology adalah Adler. Adler juga memiliki pengalaman yang sama akan inferioritas yang ia miliki akibat kekurangan dalam dirinya. Menurut Adler(1917) dalam Rahman (2017), anak berkebutuhan khusus memiliki inferioritas yang disebabkan karena faktor fisik dan psikologis. Melihat faktor fisiknya, anak berkebutuhan khusus akan memiliki inferioritas akan kekurangan yang mereka miliki, sedangkan dari faktor psikologisnya, anak berkebutuhan khusus akan memiliki inferioritas yang bersumber dari perasaan tidak sempurna akan fisik yang mereka miliki. Menurut Adler (1917) dalam Rahman (2017), inferioritas bukan merupakan abnormalitas. Inferioritas merupakan bagian dari kesempurnaan yang tidak terpisahkan dalam kehidupan seorang manusia. 

 

Sedangkan suatu perasaan yang timbul dikarenakan adanya kekurangan dari sisi fisik dan sosial oleh Hall dan Gardener (1993) juga dikategorikan inferioritas. Banyak yang mengemukakan bahwa inferioritas adalah sikap yang merasa dirinya kurang. Dari perasaan inferioritas ini, faktor utama yang menjadi penyebabnya adalah kekurangan fisik dari diri sesorang. Orang dengan perasaan inferioritas khususnya bagi anak berkebutuhan khusus cenderung akan menarik dirinya dari orang lain. Akan lebih tertutup dengan orang lain. Anak sulit untuk bersosial dengan orang lain (Rohmatika, 2018).

 

Namun menurut Adler (1929) dalam Rahman (2017), kekurangan yang individu miliki, serta perasaan inferioritas yang ia rasakan dapat diatasi oleh dirinya sendiri. Adler yang menggunakan konsep konvensi dan over konvensi untuk mengatasi perasaan inferioritasnya. Dimana konsep konvensi merupakan cara mengatasi kekurangan yang dimiliki pada satu sisi, dengan melakukan perbaikan pada sisi lainnya. Adapun dalam konsep over konvensi, cara mengatasi kekurangan pada satu sisi adalah dengan memperbaiki sisi tersebut. Namun hal itu tidak semata-mata menghasilkan sesuatu yang sesuai dengan harapan. Manusia kadangkala mengalami kegagalan. Kondisi individu yang sudah dikuasi oleh perasaan inferioritas ini disebut juga dengan inferiority complex (Rahman, 2017).

 

Pada kacamata psikologi individual, perkembangan kepribadian dibentuk dari upaya seseorang mengatasi rasa inferioritasnya dan mencapai superioritas sepanjang hidupnya. Anak secara kreatif membentuk tujuan, bahkan jika tujuan akhirnya adalah representasi fiksi untuk mencapai superioritas. Menurut Adler (1914/1963) dalam Kelland, (2020), tidak mungkin untuk merasakan, berpikir, berkehendak atau bertindak tanpa suatu persepsi tujuan tertentu. Dengan demikan, baik dalam kesadaran maupun ketidaksadarannya, seluruh hidup orang tersebut menjadi terpusat pada rencana tertentu untuk mencapai tujuan akhir (apa pun itu). Setiap hidup seseorang menjadi unik karena perasaan inferioritas, gaya hidup kreatif dan tujuan akhir berbeda sesuai pengalaman mereka sendiri (Kelland, 2020).

 

Adler (1917) dalam Kelland (2020), bapak Psikologi Individual juga membicarakan mengenai inferioritas dan kompensasinya. Semua inferioritas akan dikompensasikan dengan satu dan lain hal. Konsekuensi dari inferioritas organ misalnya, akan menyebabkan sistem saraf beradaptasi dengan kelemahan fisik yang diakibatkan dari rendahnya perkembangan organ. Sebagai contoh, tunanetra akan mengembangkan kemampuan pendengaran yang lebih baik. Alasan di balik ini adalah kemungkinan bahwa otak dapat mengkompensasi kelemahan apapun, yaitu dengan memberi perhatian pada proses yang diperlukan untuk kompensasi (Kelland, 2020).

 

Kompensasi mengacu pada cara yang biasa dilakukan seseorang untuk mengatasi tantangan. Misalnya, jika seseorang mengalami patah lengan, mereka mempelajari cara dapat berfungsi dengan gips. Contoh lain jika seseorang kehilangan penglihatannya, mereka belajar menggunakan tongkat atau memanfaatkan anjing pengintai  (Kelland, 2020). Kompensasi juga dapat ditemukan di ranah yang lebih psikososial. Contohnya  seorang mahasiswa yang tidak dapat menemukan pacar yang cocok akan berfokus untuk menjadi siswa berprestasi. Seorang siswa yang tidak berhasil secara akademis memfokuskan upaya mereka untuk menjadi atlet bintang, atau anak tunggal yang ingin memiliki saudara laki-laki dan perempuan akan memiliki banyak anak sendiri (Kelland, 2020).

 

Individu yang tidak dapat mengatasi rasa inferioritasnya, atau merasa sulit dalam mengalahkan tantangan dalam hidupnya akan mengembangkan kompleks inferioritas. Meskipun rasa inferioritas universal di setiap manusia, namun tidak semua manusia diciptakan sama. Kita semua memiliki kelebihan dan kekurangan. Menurut Adler (1928) dalam Kelland (2020), kompleks inferioritas akan muncul ketika sesorang individu tidak dapat mengkompensasikan kekurangannya dan rasa inferioritas membuatnya kewalahan.

 

Seseorang dengan kompleks inferioritas akan merasa nyaman di situasi dimana dia memiliki pengalaman yang cukup untuk merasa yakin akan diri sendiri. Sebaliknya seseorang akan menghindari kompetisi yang mempelihatkan kelemahannya. Kompleks inferioritas umumnya akan terlihat secara alami, namun saat ada tekanan dan situasi sulit kompleks inferioritas dapat berbentuk alasan-alasan mengapa orang tersebut tidak dapat mengusahakan tindakan tertentu (Kelland, 2020).

 

Psikologi individual mengakui bahwa keterbatasan yang dialami individu berkebutuhan khusus akan memiliki dampak negatif, yaitu menjadi sumber inferioritasnya (Kelland, 2020). Namun, psikologi individual juga merekomendasikan mengubah cara berperilaku atau berpikir individu untuk memfasilitasi perbaikan atau rehabilitasi. Ini merupakan salah satu upaya kompensasi. Pengejaran keahlian (mastery) dalam suatu bidang tertentu akan membantu individu dalam mengatasi rasa inferioritasnya (Kelland, 2020).

 

Tidak jarang individu dengan kebutuhan khusus berhasil mencapai keahlian di bidang tertentu. Misalnya saja laporan dari Astuti (2019), seorang tunarungu bernama Silvia Anggraini berhasil mendapatkan penghargaan Make Up Diplome Kate Wacz dan penghargaan dari Cidesco USA. Dia bahkan diberi kesempatan melakukan presentasi dan pertunjukan solo untuk memamerkan keahlian meriasnya. Individu berkebutuhan khusus pun dapat mendapatkan tempat di dunia ini, serta berkontribusi bagi masyarakat.

 

Transformasi Inferioritas ke Superioritas: 

Versi terbaik seorang adalah ketika berguna bagi yang lain. Menurut Adler (1931) dalam Kelland (2020)seseorang mencapai superioritasnya ketika  mampu mengatasi inferiotasnya dan berguna bagi yang lain. Perasaan yang dapat ditumbuhkan adalah minat sosial atau memiliki interpersonal – empati pada orang lain.  Seseorang akan berbahagia ketika bisa membahagiakan orang lain, ia akan memperjuangkan bukan kehendak nya sendiri atau ego sendiri  tetapi untuk kepentingan umum, berguna bagi masyarakat luas. Kita sebagai makhluk sosial, memiliki hakekat bahwa kita hidup bagi  yang lain, dengan intensitas yang berbeda. Setiap pribadi berjuang untuk  ada dalam transformasi hidup tersebut (Keller, 2013).

 

Proses bagaimana pribadi mengatasi inferiority atau perasaan rendah yang ada dalam dirinya, dan mengejar superiority menuju kebahagiaan dan kesuksesan. Untuk  mereka yang memiliki kondisi fisik normal atau semua organ tubuh berfungsi baik, mengatasi  inferiotas adalah hal yang biasa. Namun bagi  seorang penyandang cacat fisik,  tentu saja perkembangan ini menjadi sangat istimewa. Hasrat untuk berguna bagi orang lain  dapat dilakukan dengan cara yang sehat. Bagaimana caranya? Kita hanya dapat memandang dengan kagum bagaimana mereka yang cacat fisik dapat mewujutkan superitasnya dan berguna bagi yang lain.

 

Keunikan dari setiap pribadi dengan berbagai kelemahannya , memungkinkan setiap pribadi juga memiliki cara yang unik dalam prosesnya. Bahkan tidak setiap orang bisa merumuskan proses yang mereka jalani. Kita dapat melihat contoh nyata perjalanan mencapai superioritas dari Hellen Keller. Istimewa sekali Hellen Keller dapat merumuskan bagaimana langkah demi langkah transformasi pertumbuhan kepribadiannya berjalan. Mulai dari perubahan pemahaman dia terhadap apa yang di terimanya ( tulisan  simbol ditangan ), menggegam dan merasakannya, kemudian tahu dan paham bahwa benda tersebut namanya adalah ini, dan seterusnya. 

 

 "Saya berdiri diam, seluruh perhatian saya tertuju pada gerakan jari-jarinya. Tiba-tiba saya merasakan kesadaran berkabut seperti sesuatu yang terlupakan - sensasi berpikir kembali; dan entah bagaimana misteri bahasa terungkap kepadaku. Aku kemudian tahu bahwa air berarti sesuatu yang luar biasa sejuk yang mengalir di tanganku. Kata yang hidup membangunkan jiwaku, memberinya terang, harapan, membebaskannya! " (Keller, 2013).

 

Bagaimana  dengan anda?

Transformasi gaya hidup seperti apa yang telah dan akan terjadi dalam hidup anda. Setiap orang mempunyai daya untuk bebas membuat jalan hidupnya. Manusia bebas  menentukan sendiri dan dengan kreatif menciptakan jalan hidupnya. Maka pribadi tersebut yang bertanggung jawab, dan mengkontrol hidupnya, dan mencapai tujuan  hidupnya.

 

 

Referensi:

 

Astuti, I. (2019, September 29). Siswa Berkebutuhan Khusus Berprestasi Di AS. Retrieved March 23, 2021, from https://mediaindonesia.com/humaniora/262304/siswa-berkebutuhan-khusus-berprestasi-di-as

 

Draper, J. (2007). Setting our house in order. British Columbia Medical Journal, 359–362.

 

Kelland, M. D. (2020, August 17). Adler’s Individual Psychology. Retrieved March 20, 2021, from https://socialsci.libretexts.org/@go/page/12196 

 

Keller, H. (2013). Story Of My Life. New York: Dover Publication

 

Rahman, A. A. (2017). Sejarah Psikologi Dari Klasik Hingga Modern. Depok: Rajawali Pers.

 

Rohmatika, V. S. (2018). Inferioritas (Rendah Diri) Pada Tunarungu. Jurnal Universitas Ahmad Dahlan.

 

Shakespeare, T. (1993). Disabled people’s self organisation:A new social movement? Disability, Handicap and Society (8):249–264.

 

Winarsih, S., Hendra, J., Idris, F. H., & Adnan, E. (2013). Panduan penanganan anak berkebutuhan khusus bagi pendamping. Kementerian Pemberdayaan Perempuan Dan Perlindungan           Anak RI, 1–17. https://www.kemenpppa.go.id/lib/uploads/list/b3401-panduan-penanganan-abk-bagi-pendamping-_orang-tua-keluarga-dan-masyarakat.pdf

 

Winarsi, H. (2007). Antioksidan Alami Dan Radikal Bebas. Yogyakarta: Kanisius.