ISSN 2477-1686

Vol. 7 No. 18 Sep 2021

Menyusuri Pekat Pandemi dengan Welas Asih

 

Oleh:

Dicky Sugianto

Fakultas Psikologi, Universitas Pelita Harapan

 

Pandemi COVID-19 telah berlangsung lebih dari satu setengah tahun. Distribusi vaksin COVID-19 sudah sampai hingga masyarakat umum, tetapi tanda-tanda bahwa laju pandemi melandai masih belum tampak. Pada Juni 2021, kasus infeksi COVID-19 yang terdeteksi melonjak drastis pada pulau Jawa dan Sumatra dan case fatality rate (rasio kasus kasus kematian terkonfirmasi dengan kasus terkonfirmasi positif) berkisar 2,7% yang lebih tinggi dari case fatality rate seluruh dunia (Reuters, 2021; Ritchie et al., 2021). Pandemi yang berlangsung berkepanjangan ini dapat membuat orang-orang mulai lelah dan enggan untuk melakukan protokol kesehatan alias mengalami pandemic fatigue (World Health Organization [WHO], 2020). Hal ini tentunya dapat menghambat penanganan pandemi.

 

Welas Asih dan Pandemi

Pandemi yang berkepanjangan tak ayal menimbulkan banyak penderitaan dalam kehidupan kita. Kita mungkin merasakan kesulitan tidak hanya dalam segi kesehatan, tetapi juga finansial, sosial, dan tentunya emosional. Pada saat-saat seperti ini, welas asih menjadi suatu yang penting dalam kehidupan kita. Welas asih (compassion) adalah suatu motivasi yang muncul dari “kepekaan atas penderitaan diri dan orang lain serta komitmen untuk berbuat sesuatu demi meringankan, mengatasi, dan mencegahnya” (Gilbert, 2014, hal. 14).

 

Pada masa pandemi kita banyak mengamati aksi welas asih oleh berbagai pihak. Banyak orang yang membagikan makanan gratis bagi orang-orang yang terdampak pandemi (Purwaningsih, 2021). Beberapa warganet juga tak hentinya mengingatkan mengenai pentingnya mempraktikkan protokol kesehatan demi bersolidaritas bersama para tenaga kesehatan dan orang-orang di garda depan. Hal ini muncul dalam berbagai cuitan, komik meme, dan bentuk komunikasi digital lainnya. Banyak orang peka terhadap penderitaan yang dialami sesama dan berkomitmen untuk meringankan penderitaan. Namun kini, ketika pandemi terasa tak kunjung berhenti, apakah kita masih dapat berwelas asih? Apa yang dapat kita lakukan ketika terus-menerus mengalami penderitaan hingga mungkin kita sendiri mengalami pandemic fatigue?

 

Wajah Welas Asih Kala Pandemi Berkepanjangan

Salah satu bentuk welas asih, yaitu welas diri (self-compassion), memampukan kita untuk duduk bersama dengan kesulitan, penderitaan, dan respons emosional yang timbul karenanya (Basharpoor et al., 2020). Kita mungkin merasa sumpek dan lelah dengan pandemi yang tak kunjung usai, tetapi kita memang perlu untuk selalu menjaga kesehatan satu dengan yang lain. Welas asih dapat membantu kita untuk tetap fokus menjaga kesehatan demi mencapai tujuan kesehatan (Gluschkoff et al., 2019; Phillips & Hine, 2019), dalam hal ini pencegahan penularan COVID-19, meskipun prosesnya terasa tidak menyenangkan. Perasaan tidak menyenangkan beserta konsekuensinya, baik secara fisik, emosional, maupun finansial dapat kita terima dengan tabah sambil terus berupaya yang terbaik untuk bertahan.

 

Salah satu protokol kesehatan yang mengganggu kesehatan jiwa adalah penjarakan fisik dan sosial (Marroquín et al., 2020). Welas asih dapat meresponi hal ini dengan melihat situasi pandemi secara jernih untuk mengatasi kejenuhan, rasa sumpek (cabin fever), perasaan terisolasi, dan kesepian yang timbul karena penjarakan fisik dan sosial. Pada masa ketika aturan isolasi mandiri sudah merenggang, kita dapat bertemu dengan teman-teman atau pergi ke tempat umum dengan penuh kewawasan pada protokol kesehatan untuk meminimalkan risiko (bandingkan WHO, 2020). Kita juga bisa pergi ke tempat-tempat asri dengan tetap mematuhi protokol kesehatan.

 

Kita pun dapat berhenti sejenak dan mengingat bahwa kita telah bertahan dalam pandemi hingga saat ini. Ada banyak kehilangan yang kita alami dan hari-hari yang berjalan terasa sesak. Kebijakan dan informasi terkini seputar pandemi dengan wawas kita terima dan tetap bertanggung jawab menjalani hidup. Bukankah ini menunjukkan bahwa kita memiliki kemampuan untuk menjalaninya, meski kadang sulit merasakannya?

 

Pandemi COVID-19 entah akan berakhir seperti apa, tetapi kita dapat ikut berkontribusi, sekecil apapun, untuk kehidupan. Kita juga tak lupa bagaimana pandemi mengajarkan kita untuk berwelas asih, kepada sesama dan diri, serta menerima welas asih dari orang lain. Kita sebagai umat manusia sekali lagi diingatkan mengenai keterbatasan kita dan interdependensi kita untuk bertahan hidup yang melahirkan welas asih.

 

Berjalan dalam Ketidakpastian

Penanganan pandemi COVID-19 membutuhkan usaha bersama dari setiap komponen masyarakat. Ketika para pemegang kekuasaan sedang berusaha merencanakan kebijakan dan langkah penanganan, kita sebagai bagian kecil dari masyarakat pun dapat turut berperan. Kita bisa mulai dari apa yang paling dapat kita kendalikan, yaitu respons dan perilaku kita sendiri. Setiap dari kita bersama-sama dalam kesulitan semasa pandemi dan dengan gotong royong kita akan dapat melewatinya meskipun entah bagaimana ujungnya.

 

           

Referensi:

 

Basharpoor, S., Mowlaie, M., & Sarafrazi, L. (2020). The relationships of distress tolerance, self-compassion to posttraumatic growth, the mediating role of cognitive fusion. Journal of Aggression, Maltreatment & Trauma. https://doi.org 10.1080/10926771.2019.1711279

 

Gilbert, P. (2014). The origins and nature of compassion focused therapy. British Journal of Clinical Psychology53(1), 6-41. https://doi.org:10.1111/bjc.12043

 

Gluschkoff, K., Pulkki-Råback, L., Elovainio, M., Saarinen, A., Tammelin, T., Hirvensalo, M., ... & Hintsanen, M. (2019). Is it good to be good? Dispositional compassion and health behaviors. Annals of Behavioral Medicine53(7), 665-673. https://doi.org/10.1093/abm/kay075

 

Marroquín, B., Vine, V., & Morgan, R. (2020). Mental health during the COVID-19 pandemic: Effects of stay-at-home policies, social distancing behavior, and social resources. Psychiatry Research293. https://doi.org/10.1016/j.psychres.2020.113419

 

Phillips, W. J., & Hine, D. W. (2019). Self-compassion, physical health, and health behaviour: a meta-analysis. Health Psychology Review, 15(1), 113-139. https://doi.org/10.1080/17437199.2019.1705872

 

Purwaningsih, A. (2021, May 15). Melawan virus Corona dengan “virus kebaikan.” Deutchse Welle. https://www.dw.com/id/melawan-virus-corona-dengan-virus-kebaikan/a-57486828

 

Reuters. (2021, June 11). Indonesia’s coronavirus spike has health experts worried the worst is yet to come. CNN World. https://edition.cnn.com/2021/06/11/asia/coronavirus-variants-indonesia-clusters-intl-hnk/index.html

 

Ritchie, H., Ortiz-Ospina, E., Beltekian, D., Mathieu, E., Hasell, J., & Roser, M. (2021). Mortality risk of COVID-19. Our World in Data. https://ourworldindata.org/mortality-risk-covid

 

World Health Organization. (2020). Pandemic fatigue: Reinvigorating the public to prevent COVID-19. World Health Organization Regional Office for Europe. https://apps.who.int/iris/bitstream/handle/10665/335820/WHO-EURO-2020-1160-40906-55390-eng.pdf