ISSN 2477-1686

Vol. 7 No. 17 Sep 2021

Hati-hati Terjebak Dalam Pikiran Sendiri

 

Oleh

Elvira Utami Ammar, Ririn Akbarini, Rizky Ariyani 

dan Laila Meiliyandrie Indah Wardani

Fakultas Psikologi, Universitas Mercu Buana

 

Berbagai peristiwa yang telah dan sedang kita alami atau bahkan yang belum terjadi pasti akan selalu menyita perhatian pikiran kita. Setiap individu akan mencoba memahaminya terlebih dahulu dalam ingatan, menimbang-nimbang, barulah memutuskan akan bertindak seperti apa. Cara berpikirnya pun tak selalu sama antara satu dengan yang lainnya, ada yang berpikir cepat hanya sepersekian detik saja, ada pula yang berpikirnya dengan banyak sekali pertimbangan. Memikirkan sesuatu secara terus-menerus bahkan juga masih memikirkan hal yang tidak terlalu penting bisa membuat kita overthinking.

 

Ada banyak hal yang selalu kita pikirkan mulai dari masalah karir, pendidikan, percintaan, keluarga, ataupun pertemanan. Kita mungkin pernah merasakan kepusingan dengan pikiran kita sendiri, memikirkan ini memikirkan itu sampai jadinya pusing sendiri, bingung harus berbuat apa, dan belum juga menemukan jalan keluar dari masalah. Pikiran-pikiran tersebut sering timbul dalam benak hingga dapat membuat diri kita dipenuhi rasa bimbang, cemas, khawatir, sedih juga amarah. Menurut Nareza (2020), proses berpikir yang berlebihan biasanya disebabkan oleh keresahan akan sesuatu, trauma yang belum terselesaikan, sedang menghadapi masalah besar, bahkan masalah yang awalnya sederhana bisa berubah menjadi masalah yang besar jika kita selalu berlebihan memikirkannya. Alih-alih mencari jalan keluar dari masalah malah menimbulkan masalah yang lainnya.

 

Pikiran, suasana hati serta tingkah laku dapat saling mempengaruhi satu sama lain. Dalam teori kognitif Aaron Beck, pikiran yang tidak baik akan menimbulkan suasana hati atau emosi yang tidak baik juga serta bisa memperlihatkan perilaku yang tidak adaptif (Susana, 2015)Emosi negative berasal dari interpretasi pikiran kita terhadap keadaan, namun kesalahan dalam penalaran mengarah pada asumsi yang salah atau Beck menyebutnya dengan istilah “distorsi kognitif”. Jika kesalahan berpikir ini dibiarkan saja bisa mempengaruhi kondisi emosi lalu termanifestasi dalam perilaku kita. 

 

Overthinking itu Jebakan

Saat overthinking biasanya pikiran-pikiran negative yang mendominasi sehingga bisa membuat seseorang merasa resah, khawatir serta ketakutan. Overthinker atau orang yang selalu memikirkan sesuatu secara berlebihan biasanya cenderung ragu dalam mengambil keputusan karena ia akan selalu bimbang antara perasaan benar atau salah atas apa yang dilakukannya. Bila ia meyakini bahwa telah melakukan kesalahan maka ia akan merasakan penyesalan yang mendalam sehingga kepercayaan dirinya juga bisa berkurang.

 

Menurut Coleman (2015), terlalu banyak menganalisis bisa membuat kelelahan berpikir sehingga keputusan yang dibuat menjadi lamban. Beberapa penelitian menyatakan bahwa anxiety menjadi salah satu penyebab overthinking, hal ini sering terjadi pada malam hari karena saat malam hari kondisi tubuh sudah lelah dan negative (Siwi, 2020) sehingga overthinking juga dapat menganggu kualitas tidur seseorang karena saat diri seharusnya beristirahat tetapi ia tak juga lepas dari pikirannya. Overthinking bila terjadi dalam waktu yang lama bisa berefek buruk bagi kesehatan fisik maupun mental.

 

Orang yang selalu overthinking cenderung mengalami emosi yang tidak stabil, membuat dirinya kelelahan karena terkuras dengan pemikirannya sendiri, serta menurunnya performa kinerja sehingga menghambat aktivitas lainnya. Overthinking juga bisa menganggu kesehatan fisik seperti sakit kepala, gangguan pencernaan, darah tinggi sampai serangan jantung (Nareza, 2020)Jika overthinking dibiarkan maka akan menimbulkan stress hingga depresi yang menganggu kesehatan psikologis seseorang.

 

Keluar dari Jebakan Overthinking

Salah satu cara yang bisa kita lakukan agar lekas keluar dari jebakan overthinking adalah berkonsultasi dengan ahlinya seperti psikolog atau psikiater untuk mendapatkan penanganan yang sesuai dengan keadaan kita. Para ahli psikologi dapat membantu menangani seseorang yang overthinking melalui terapi kognitif perilaku atau yang biasa disingkat dengan sebutan CBT (Cognitive Behavioral Therapy). Bila dilihat dari pendekatan perilaku, seseorang bertindak itu dipengaruhi oleh perasaan dan pikiran, namun dalam kognitif berpandangan bahwa perilaku dibentuk oleh cara berpikir. Penggunaan CBT membantu seseorang untuk mengubah cara berpikirnya serta menemukan cara yang tepat untuk menyelesaikan masalahnya (Adriansyah, Rahayu, & Prastika, 2015)Oleh karena itu prosedur yang digunakan dalam CBT adalah gabungan dari teknik kognitif therapy dengan behavior therapy.

 

Awalnya teori ini dinamakan Cognitive Theory (CT) lalu terjadi perubahan karena adanya perkembangan menjadi Cognitive Behavior Therapy (CBT). Teknik pendekatan kognitif dan teknik pendekatan behavioral saling melakukan proses penyesuaian sehingga tahapan yang ada dalam kedua terapi tersebut tergabung dalam metode CBT (Matson & Ollendick dalam Idat, 2011:3). Kunci dari terapi ini adalah mengubah cara berpikir serta berperilaku yang awalnya negative menjadi lebih positif. Supaya overthinking tidak berlarut-larut maka yang harus dilakukan adalah dengan mengurai simpul pikiran serta emosi negative yang ada, karena orang yang memiliki emosi positif akan lebih kuat dalam menghadapi stress serta masalah lainnya dengan lebih baik (Petric, 2018)Menurut Aini (2019) saat CBT akan dimulai tahapan yang dilakukan adalah:

 

1.    Membuat hubungan kerjasama yang baik antara terapis dengan klien guna mendapatkan hasil yang terbaik.

2.    Menemukan penyebab utama yang mengakibatkan pikiran negatif.

3.    Mencari jalan keluar dari permasalahan tersebut setahap demi setahap dengan target yang telah ditentukan.

4. Menerapkan CBT kepada klien dengan membantunya memperbaiki sudut pandangnya dalam menghadapi masalah serta memfokuskan pikiran hanya pada masalah yang ada saat ini saja. Klien akan diajarkan sebuah metode untuk dapat mengelola suasana hatinya, cara berpikirnya, serta perilaku yang baru. Metode yang diberikan harus dipraktikkan juga dalam aktivitas sehari-hari, terutama saat merespons suatu masalah harus dengan positif serta tidak lagi membebani diri.

5.    Melakukan pengecekan perkembangan apakah metode yang digunakan sudah mengarah ke target perilaku yang diharapkan. 

6.    Menyelesaikan terapi bila sudah ada perubahan yang sesuai sehingga bisa terus diaplikasikan di dalam kehidupan klien.

 

Menurut Beck (2011), konseling kognitif didefinisikan sebagai sebuah metode yang dibuat dengan cara memperbaiki pola pikiran negative dan perilaku yang tidak seharusnya guna mencari jalan keluar dari masalah yang ada pada saat ini. Tujuan dari terapi kognitif adalah mengganti pikiran yang belum teramati serta negative menjadi pemikiran yang seharusnya. Konseling kognitif lebih memusatkan pada kesalahan dalam cara berpikir seperti keyakinan akan sesuatu yang tidak benar atau belum tentu kebenarannya, merasa bahwa diri sendiri tidak berharga dan personalisasi (Gladding, 2012). Beck (2011) juga mengatakan bahwa “proses aktif melibatkan data inspektif dan introspektif” adalah persepsi dan pengalaman. Jadi pikiran yang disfungsional akan menyebabkan perilaku yang tidak seharusnya dilakukan. Kalau persepsi tidak diubah maka tidak akan ada kemajuan yang signifikan dari perilakunya. Namun kalau apa yang diyakini bisa berubah maka perilakunya pun akan ikut berubah. Bisa dibilang konseling kognitif ini berpendapat bahwa bagaimana cara pandang seseorang dengan dunianya mempengaruhi perasaan dan perilakunya.

 

Langkah selanjutnya yang perlu kita ingat adalah jangan membebani diri dengan pikiran yang tak perlu, tidak usahlah terlalu mengingat-ingat apa yang sudah berlalu terutama apalagi mengasumsikan sendiri hal-hal yang belum pasti terjadi. Kekhawatiran akan sesuatu adalah hal yang wajar namun jangan sampai kita berlebihan memikirkannya karena bisa berdampak negative. Jika pikiran kita disfungsional maka perasaan dan perilaku kita akan maladptif. Oleh karena itu cobalah untuk mengatur diri agar tak terlalu lama saat memikirkan sesuatu dan segeralah mengambil keputusan. Overthinking hanya membuang energi dan waktu saja, tidak akan dapat menyelesaikan masalah yang ada. Lebih baik mengalihkan fokus kita ke hal-hal yang lebih bermanfaat namun jika masih dirasa berat maka konsultasikan masalah kita ke psikolog agar bisa segera mendapatkan penanganan yang tepat.

 

Referensi:

 

Adriansyah, M. A., Rahayu, D., & Prastika, N. D. (2015). Pengaruh Berpikir Positif, Cognitive Behavior Theraphy (CBT), Mengelola Hidup dan Merencanakan Masa Depan Terhadap Penurunan Kecemasan Karir Pada Mahasiswa Universitas Mulawarman. Jurnal Psikoislamika.

 

Aini, D. K. (2019). Penerapan Cognitive Behaviour Therapy dalam Mengembangkan Kepribadian Remaja di Panti Asuhan. Jurnal Ilmu Dakwah, 70-90.

 

Beck, J. S. (2011). Cognitive Behavior Therapy, Second Edition. New York: Guilford Press.

 

Coleman, P. (2015). Diambil kembali dari paul-coleman: https://www.paul-coleman.com/well-done-thank-you-for-ordering-quit-overthinking/

 

Gladding, S. (2012). Konseling Profesi Yang Menyeluruh. Jakarta: PT Indeks.

 

Muqodas, I. (2011). Cognitive-Behavior Therapy: Solusi Pendekatan Praktek Konseling.

 

Nareza, M. (2020, Juni). Hidup Sehat. Diambil kembali dari Alodokter: https://www.alodokter.com/hati-hati-dampak-overthinking-bisa-berakibat-fatal

 

Petric, D. (2018). Emotional knots and overthinking.

 

Siwi, L. S. (2020, Agustus 30). Diambil kembali dari Kumparan: https://kumparan.com/hipontianak/kerap-kali-muncul-di-malam-hari-ternyata-ini-penyebab-overthinking-1u6O8P4jDBh/full

 

Susana, T. (2015). Program Bantu Diri Terapi Kognitif Perilaku Harapan Bagi Penderita Depresi. Jurnal Psikologi, 78-98.